Ilustrasi: Refleksi dan Perenungan Makna Spiritual
Dalam lautan hikmah Al-Qur'an, terdapat ayat-ayat yang memanggil kita untuk merenung, mengintrospeksi diri, dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Salah satu ayat yang sarat makna dan relevan sepanjang masa adalah Surah An Nisa ayat 148. Ayat ini, meskipun ringkas, menyimpan pesan mendalam mengenai adab berbicara, keadilan, dan keutamaan meminta ampunan serta taubat. Memahami dan mengamalkan kandungannya dapat menjadi kompas moral yang membimbing langkah kita dalam kehidupan.
لَا يُحِبُّ ٱللَّهُ ٱلْجَهْرَ بِٱلسُّوٓءِ مِنَ ٱلْقَوْلِ إِلَّا مَن ظُلِمَ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
Allah tidak menyukai penyebutan buruk (fitnah) dari perkataan buruk kecuali oleh orang yang dizalimi. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ayat ini secara eksplisit menyatakan bahwa Allah SWT tidak menyukai perkataan yang buruk, terutama dalam bentuk "penyebutan buruk" atau "fitnah". Fitnah adalah tuduhan palsu, gosip, atau pembicaraan negatif yang dapat merusak nama baik seseorang dan menimbulkan kebencian. Secara umum, Islam mengajarkan umatnya untuk menjaga lisan, menghindari ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba), dan segala bentuk perkataan yang menyakiti atau merendahkan orang lain.
Namun, ayat ini memberikan pengecualian. Pengecualian tersebut adalah bagi "orang yang dizalimi". Ini berarti, ketika seseorang telah mengalami ketidakadilan, penindasan, atau perlakuan buruk yang nyata, ia dibolehkan untuk menyuarakan kezaliman yang dialaminya. Tujuannya bukan untuk menyebarkan kebencian atau membalas dendam secara sembarangan, melainkan untuk membela diri, mencari keadilan, atau memberitahukan kepada pihak yang berwenang mengenai kesalahan yang telah terjadi. Penting untuk dicatat bahwa bahkan dalam kondisi dizalimi, semangat ayat ini adalah untuk mencari keadilan, bukan untuk melakukan kezaliman balasan yang tidak proporsional.
Di akhir ayat, Allah menegaskan bahwa Dia adalah "Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". Penegasan ini memberikan dua makna penting. Pertama, Allah mendengar segala perkataan, baik yang baik maupun yang buruk, yang terucap dari lisan manusia. Kedua, Allah mengetahui segala sesuatu, termasuk niat di balik perkataan seseorang. Oleh karena itu, kita tidak bisa bersembunyi dari pengawasan-Nya. Perkataan yang diucapkan, sekecil apapun, akan dicatat dan dimintai pertanggungjawaban. Pengetahuan Allah yang meliputi segalanya ini seharusnya menjadi motivasi bagi kita untuk senantiasa menjaga lisan dan berperilaku adil.
Di era digital saat ini, di mana informasi menyebar begitu cepat melalui media sosial dan platform komunikasi lainnya, Surah An Nisa ayat 148 menjadi semakin relevan. Isu-isu seperti ujaran kebencian, hoaks, cyberbullying, dan fitnah marak terjadi. Ayat ini mengingatkan kita akan pentingnya:
Surah An Nisa ayat 148 mengajarkan kita untuk senantiasa mengontrol ucapan kita. Kita harus berusaha keras untuk tidak menjadi sumber perkataan buruk yang dapat merugikan orang lain. Di saat yang sama, kita juga diajarkan untuk berani membela diri dan menegakkan keadilan ketika kita menjadi korban kezaliman, namun tetap dalam koridor adab dan hukum yang berlaku. Keutamaan meminta ampunan dan taubat kepada Allah atas segala kekhilafan, termasuk dalam perkataan, adalah jalan untuk meraih ketenangan jiwa dan ridha Ilahi.
Dengan merenungkan An Nisa ayat 148, diharapkan kita dapat menjadi individu yang lebih bijak dalam berkomunikasi, lebih adil dalam bersikap, dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah melalui perkataan dan perbuatan yang baik.