Al-Qur'an adalah kitab petunjuk yang komprehensif, mencakup aspek spiritual, hukum, etika, dan bahkan fenomena alam yang menjadi bukti keesaan Allah SWT. Salah satu ayat yang seringkali menjadi perenungan mendalam mengenai siklus kehidupan dan sumber rezeki adalah Surat An-Nahl ayat 67. Ayat ini secara khusus menyoroti keajaiban air yang berasal dari langit dan dampaknya terhadap kehidupan di bumi.
Meskipun ayat 67 secara eksplisit menyebutkan kurma dan anggur, ayat sebelumnya (An-Nahl: 65) berbicara tentang hujan yang menurunkan air dari langit untuk menghidupkan bumi setelah kematiannya. Kedua ayat ini (65 dan 67) sering dikaitkan karena keduanya membahas sumber kehidupan: air (hujan) dan produk bumi yang dihasilkan berkat air tersebut (buah-buahan).
Ayat 67 menegaskan bahwa dari buah-buahan seperti kurma dan anggur, manusia memperoleh manfaat ganda. Manfaat pertama adalah minuman yang dalam konteks turunnya ayat, merujuk pada sari buah atau air fermentasi yang belum mencapai tingkat memabukkan (khamr). Manfaat kedua adalah rezeki yang baik (*rizqan hasanan*), yakni buah itu sendiri yang dikonsumsi sebagai makanan bergizi.
Inti dari penegasan di akhir ayat, "Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berpikir", adalah undangan kepada manusia untuk menggunakan akal (tafakkur). Transformasi dari air di tanah yang diserap oleh akar pohon, menjadi buah yang manis dan bergizi, adalah proses kimiawi dan biologis yang luar biasa, yang pasti memiliki Pencipta yang Maha Kuasa.
Bagi mereka yang hanya melihat tanpa merenung, kurma hanyalah buah. Namun, bagi orang yang berpikir, kurma adalah bukti nyata dari sistem ekologi yang terencana sempurna oleh Allah SWT. Bagaimana air hujan yang sederhana dapat diolah oleh tanaman menjadi karbohidrat, gula, vitamin, dan mineral? Inilah yang dimaksud dengan tanda kebesaran.
Perluasan pemahaman mengenai ayat ini juga menyentuh aspek hukum. Penyebutan "minuman yang memabukkan" (*sukran*) dalam konteks awal turunnya ayat seringkali menjadi landasan bagi para ulama untuk memahami evolusi hukum tentang minuman keras dalam Islam. Pada awalnya, yang dimaksud mungkin adalah sari buah yang difermentasi ringan, tetapi kemudian dilarang secara mutlak ketika fermentasi mencapai tingkat yang memabukkan (*khamr*).
Oleh karena itu, An-Nahl 67 mengajarkan prinsip *maslahat* (kebaikan) dan pencegahan *mafsadat* (kerusakan). Jika suatu produk alamiah dapat menghasilkan kebaikan (nutrisi) sekaligus potensi kerusakan (kemabukan), maka seorang mukmin harus jeli memisahkan mana yang halal dan mana yang haram berdasarkan petunjuk syariat lebih lanjut.
Jika kita tarik benang merahnya kembali ke air—sumber segala kehidupan—An-Nahl 67 mengingatkan bahwa setiap rezeki yang kita nikmati di bumi ini berakar pada anugerah air dari langit. Tanpa air, pohon kurma tidak akan tumbuh, anggur tidak akan berbuah, dan rantai rezeki akan terputus.
Ayat ini mengajak kita untuk bersyukur. Rasa manis dari kurma, kesegaran dari anggur, atau bahkan minuman fermentasi yang halal dari sarinya (sebelum diharamkan), semuanya adalah manifestasi dari rahmat Allah yang diturunkan melalui siklus alam. Seorang hamba yang bersyukur adalah mereka yang tidak hanya menikmati hasilnya, tetapi juga merenungkan proses penciptaannya.
Dengan demikian, An-Nahl 67 bukan sekadar deskripsi pertanian kuno, melainkan sebuah pengingat abadi bahwa di setiap hasil bumi yang kita nikmati, tersembunyi rahasia dan keagungan Sang Pencipta, yang hanya dapat diakses oleh hati yang mau membuka diri untuk berpikir dan merenung.