Surah An Nahl, yang berarti lebah, adalah surah yang sarat dengan tanda-tanda kebesaran Allah SWT, mulai dari penciptaan alam semesta hingga contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari, seperti madu lebah. Ayat 114 ini memiliki posisi strategis dalam rangkaian ayat-ayat yang membahas tentang rezeki dan keimanan. Ayat ini sering kali dilihat sebagai penutup atau penegasan setelah Allah SWT memberikan banyak contoh tentang nikmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya.
Secara kontekstual, perintah dalam QS An Nahl 114 ini datang setelah penyebutan berbagai nikmat, termasuk kisah-kisah para nabi terdahulu yang diuji dengan kenikmatan dan kemudian diwajibkan untuk bersyukur. Ayat ini secara langsung memerintahkan manusia untuk menikmati karunia Allah dengan cara yang benar dan diiringi dengan kesadaran penuh akan sumber karunia tersebut.
Ayat ini memuat dua perintah fundamental yang saling terkait erat dalam kehidupan seorang Muslim: makan dari rezeki yang halal dan baik (thayyib) dan bersyukur atas nikmat tersebut.
Perintah "makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik (thayyib)" bukan sekadar anjuran diet, melainkan sebuah prinsip etika dalam mencari nafkah dan mengonsumsi.
Halal berarti segala sesuatu yang diizinkan oleh syariat Islam, baik dari segi cara memperolehnya (misalnya, tidak melalui riba, mencuri, atau menipu) maupun dari jenis bendanya (misalnya, bukan bangkai atau khamr). Sementara thayyib (baik) merujuk pada kualitas makanan tersebut, yaitu bersih, sehat, bernutrisi, dan tidak membahayakan fisik maupun spiritual pemakannya. Islam mengajarkan bahwa makanan yang kita konsumsi akan memengaruhi akhlak dan kualitas ibadah kita. Makanan yang haram atau buruk dapat menghalangi terkabulnya doa.
Setelah menikmati anugerah tersebut, Allah SWT mengingatkan, "dan bersyukurlah atas nikmat Allah." Syukur adalah pengakuan hati, ucapan lisan, dan perbuatan nyata atas segala pemberian-Nya. Syukur bukan hanya ucapan 'Alhamdulillah' sesekali, melainkan sikap hidup yang terus-menerus menyadari bahwa segala yang kita miliki—mulai dari udara yang kita hirup, makanan di meja makan, hingga kemampuan untuk melihat dan bergerak—semuanya berasal dari ketetapan dan kemurahan Ilahi.
Syukur yang sejati akan mendorong seorang hamba untuk menggunakan nikmat tersebut pada jalan ketaatan. Misalnya, rezeki yang halal akan digunakan untuk membantu sesama, bukan untuk kesombongan atau kemaksiatan.
Bagian akhir dari QS An Nahl 114 memberikan syarat penentu atas pelaksanaan syukur tersebut: "jika kamu benar-benar hanya menyembah-Nya (إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ)."
Ayat ini menegaskan bahwa syukur yang diterima di sisi Allah SWT harus berlandaskan pada fondasi Tauhid (mengesakan Allah). Bersyukur kepada Allah sambil menyekutukan-Nya dengan yang lain adalah bentuk kekufuran, bukan kesyukuran. Jika seseorang mengaku bersyukur namun dalam praktiknya ia tunduk pada hawa nafsu, mengikuti ajaran sesat, atau menyembah selain Allah, maka syukur tersebut menjadi sia-sia di mata-Nya.
Oleh karena itu, perintah untuk makan halal dan bersyukur adalah konsekuensi logis dari status kita sebagai hamba yang mentauhidkan Allah. Dengan mematuhi kedua hal ini, kita membuktikan kebenaran klaim ibadah kita hanya kepada-Nya. Ayat ini mengajak umat Islam untuk hidup dalam kesadaran penuh bahwa rezeki adalah amanah, dan cara kita mengelola amanah tersebut adalah cerminan dari kualitas keimanan kita.