Partisanisme adalah fenomena sosial dan politik yang telah ada sepanjang sejarah peradaban manusia, namun dalam beberapa dekade terakhir, ia tampak kian menguat dan menjadi ciri khas yang mengkhawatirkan dari banyak masyarakat di seluruh dunia. Intinya, partisanisme adalah kecenderungan kuat untuk mendukung secara loyal dan tak tergoyahkan satu kelompok, ideologi, atau partai politik tertentu, seringkali hingga mengabaikan fakta, kebenaran, atau kepentingan bersama. Ini bukan sekadar preferensi politik; ini adalah identifikasi diri yang mendalam dengan "kami" versus "mereka," yang seringkali berujung pada polarisasi ekstrem dan disfungsi sosial.
Fenomena ini melampaui batas-batas negara dan budaya, meresap ke dalam diskusi publik, keputusan politik, bahkan hubungan personal. Dalam bentuk yang paling parah, partisanisme dapat mengikis kepercayaan institusional, menghambat penyelesaian masalah kolektif, dan mengancam kohesi sosial. Memahami akar penyebab, manifestasi, dan dampak dari partisanisme menjadi krusial untuk menghadapi tantangan yang ditimbulkannya terhadap demokrasi, stabilitas, dan kemajuan.
Definisi dan Batasan Partisanisme
Untuk memahami partisanisme secara menyeluruh, penting untuk membedakannya dari konsep-konsep serupa namun tidak identik. Partai politik adalah organisasi yang mewakili sekelompok orang dengan pandangan politik yang serupa, dan identifikasi partai adalah kecenderungan individu untuk merasa dekat dengan salah satu partai ini. Ini adalah aspek normal dari sistem demokrasi, di mana warga negara mengekspresikan preferensi mereka melalui afiliasi politik.
Namun, partisanisme melangkah lebih jauh. Ini adalah tingkat identifikasi yang intens dan emosional, di mana loyalitas terhadap partai atau kelompok menjadi identitas primer, bahkan seringkali melampaui identitas nasional atau kemanusiaan. Ciri utamanya adalah:
- Loyalitas Buta: Dukungan terhadap kelompok sendiri tanpa mempertanyakan tindakan atau kebijakan mereka, bahkan ketika tindakan tersebut jelas-jelas merugikan atau tidak etis.
- Permusuhan Terhadap "Lain": Memandang kelompok lawan bukan hanya sebagai pesaing politik, tetapi sebagai musuh yang harus dikalahkan atau bahkan dihancurkan, seringkali dengan demonisasi dan dehumanisasi.
- Kognitif Disonan: Menolak informasi yang bertentangan dengan pandangan kelompoknya dan hanya menerima informasi yang menguatkan bias yang ada (konfirmasi bias).
- Polarisasi Afektif: Tidak hanya berbeda pandangan politik, tetapi juga merasakan kebencian atau ketidaksukaan yang kuat terhadap anggota kelompok lawan secara personal.
Dalam konteks partisanisme, perbedaan ideologi atau kebijakan seringkali menjadi sekunder dibandingkan dengan identitas kelompok. "Siapa yang mengatakan" menjadi lebih penting daripada "apa yang dikatakan." Ini menciptakan lingkungan di mana kompromi menjadi sulit, dialog yang konstruktif terhambat, dan keputusan dibuat berdasarkan kesetiaan kelompok daripada pertimbangan rasional atau kebaikan bersama.
Akar Penyebab Partisanisme yang Menguat
Muncul dan menguatnya partisanisme adalah hasil dari interaksi kompleks berbagai faktor sosial, politik, ekonomi, dan teknologi. Tidak ada satu penyebab tunggal, melainkan jalinan saling terkait yang menciptakan kondisi subur bagi polarisasi.
1. Identitas dan Psikologi Kelompok
Manusia adalah makhluk sosial yang secara alami mencari afiliasi dan identitas. Teori identitas sosial menjelaskan bagaimana individu mengkategorikan diri mereka ke dalam kelompok (in-group) dan mengidentifikasi kelompok lain sebagai out-group. Partisanisme memanfaatkan naluri ini. Ketika identitas politik menjadi dominan, individu cenderung:
- Meninggikan In-Group: Merasa bangga dengan kelompoknya dan mengatributkan sifat-sifat positif.
- Merendahkan Out-Group: Mengatributkan sifat-sifat negatif kepada kelompok lawan, seringkali stereotip dan generalisasi.
- Efek Konfirmasi: Lebih percaya pada informasi yang mendukung kelompoknya dan mengabaikan informasi yang merugikan.
- Kebutuhan untuk Milik: Rasa memiliki dan keamanan yang diberikan oleh kelompok yang kuat bisa menjadi daya tarik yang besar, terutama di saat ketidakpastian ekonomi atau sosial.
Psikologi kelompok ini diperparah oleh kepemimpinan yang sengaja mengeksploitasi perbedaan dan memupuk rasa takut atau kebencian terhadap kelompok lain untuk mengonsolidasikan kekuasaan.
2. Peran Media Massa dan Media Sosial
Media telah lama memainkan peran dalam membentuk opini publik, namun era digital telah mengubah lanskap ini secara fundamental. Fenomena-fenomena berikut berkontribusi signifikan terhadap partisanisme:
- Fragmentasi Media: Daripada memiliki beberapa saluran berita arus utama yang mencoba menyajikan liputan yang relatif netral, kini ada ribuan sumber berita yang melayani ceruk ideologis tertentu. Orang cenderung mencari sumber yang menguatkan pandangan mereka.
- Gema Kamar (Echo Chambers) dan Gelembung Filter (Filter Bubbles): Algoritma media sosial dan mesin pencari dirancang untuk menunjukkan kepada pengguna konten yang paling mungkin mereka sukai atau setujui. Ini menciptakan "gelembung" informasi di mana individu jarang terpapar pada pandangan yang berbeda, menguatkan bias mereka dan memperburuk polarisasi.
- Berita Palsu (Fake News) dan Disinformasi: Penyebaran informasi yang salah atau sengaja menyesatkan seringkali dirancang untuk memicu emosi, memecah belah, dan memupuk kebencian terhadap kelompok lawan. Partisan yang kuat lebih rentan mempercayai dan menyebarkan berita palsu yang mendukung narasi kelompok mereka.
- Sensasionalisme dan Polarisasi untuk Klik: Banyak media, baik tradisional maupun digital, cenderung memprioritaskan berita yang sensasional atau konflikual karena menarik perhatian dan menghasilkan klik atau audiens. Ini berarti perbedaan pendapat dan perselisihan sering dibesar-besarkan, sementara upaya kolaborasi atau kompromi kurang mendapat sorotan.
Media sosial, khususnya, mempercepat penyebaran informasi (baik benar maupun salah) dan memungkinkan individu untuk berinteraksi hanya dengan orang-orang yang memiliki pandangan serupa, memperkuat ikatan partisan dan memperdalam perpecahan.
3. Ketimpangan Ekonomi dan Sosial
Ketimpangan yang semakin lebar antara kaya dan miskin, antara daerah perkotaan dan pedesaan, atau antara kelompok etnis tertentu, dapat memicu rasa tidak adil dan kebencian. Ketika individu merasa ditinggalkan atau dirugikan oleh sistem, mereka lebih rentan untuk mencari jawaban dan perlindungan dalam kelompok-kelompok yang menawarkan identitas dan musuh bersama. Para pemimpin yang populis seringkali mengeksploitasi ketidakpuasan ini dengan menyalahkan "yang lain" – baik itu elit, imigran, atau kelompok politik lawan – sebagai penyebab masalah.
- Kesenjangan Kesejahteraan: Ketika sebagian besar kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir orang, hal itu dapat memicu rasa frustrasi dan kemarahan di antara mereka yang merasa ditinggalkan.
- Perubahan Ekonomi Global: Otomatisasi, outsourcing, dan globalisasi dapat menyebabkan hilangnya pekerjaan dan ketidakpastian ekonomi di sektor-sektor tertentu, menciptakan lahan subur bagi narasi populis yang menyalahkan kekuatan eksternal atau kelompok tertentu.
- Kesenjangan Pendidikan: Perbedaan akses dan kualitas pendidikan dapat memperlebar jurang pemahaman dan perspektif, membuat komunikasi antar kelompok semakin sulit.
4. Reformasi Sistem Politik dan Electoral
Beberapa sistem politik secara tidak sengaja dapat memperparah partisanisme:
- Gerrymandering: Praktik manipulasi batas daerah pemilihan untuk memberikan keuntungan bagi satu partai politik, yang dapat menciptakan kursi yang "aman" dan mengurangi insentif bagi politisi untuk berkompromi atau melayani konstituen di luar basis dukungan mereka.
- Sistem Pemilu Primer: Dalam banyak sistem, calon internal partai dipilih melalui pemilihan pendahuluan (primer). Ini sering mendorong calon untuk menarik basis pemilih yang paling ideologis dan ekstrem dalam partai mereka, yang kemudian diterjemahkan ke dalam politisi yang kurang bersedia untuk bekerja sama dengan lawan politik di panggung nasional.
- Sistem Dua Partai yang Kaku: Di negara-negara dengan dominasi dua partai besar, seringkali ada tekanan untuk memilih salah satu pihak, yang memperkuat dikotomi "kami" vs. "mereka" dan mempersulit munculnya alternatif politik yang lebih moderat atau inklusif.
- Pendanaan Kampanye: Tergantung pada sumber pendanaan kampanye, politisi mungkin lebih responsif terhadap kepentingan donor besar atau kelompok kepentingan daripada kepentingan publik yang lebih luas, memperdalam perpecahan ideologis.
5. Perubahan Demografi dan Budaya
Perubahan demografi yang cepat (misalnya, imigrasi, pergeseran usia penduduk) atau perubahan nilai-nilai budaya dapat menimbulkan kecemasan dan resistensi di antara segmen masyarakat tertentu. Ini dapat memicu konflik identitas dan memperkuat ikatan partisan sebagai cara untuk mempertahankan apa yang dirasakan sebagai tradisi atau norma. Misalnya, perdebatan tentang isu-isu sosial seperti hak-hak minoritas, agama, atau perubahan iklim seringkali menjadi medan pertempuran partisan yang intens.
6. Lemahnya Lembaga Penengah
Lembaga-lembaga yang secara tradisional berfungsi sebagai penengah atau perekat sosial, seperti serikat pekerja, organisasi keagamaan lintas-iman, atau perkumpulan sipil, mungkin melemah atau menjadi partisan itu sendiri. Ketika tidak ada jembatan yang kuat untuk menghubungkan kelompok-kelompok yang berbeda, kesenjangan akan semakin lebar.
Dampak Buruk Partisanisme Terhadap Masyarakat
Dampak partisanisme jauh melampaui arena politik formal. Ia meresap ke dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat, membawa konsekuensi yang merusak dan mengancam fondasi demokrasi serta kohesi sosial.
1. Kelumpuhan Pemerintahan dan Disfungsi Politik
Salah satu dampak paling nyata adalah ketidakmampuan pemerintah untuk berfungsi secara efektif. Ketika setiap kebijakan dilihat melalui lensa partisan, bahkan isu-isu yang seharusnya menjadi kepentingan bersama pun menjadi medan pertempuran. Hal ini mengarah pada:
- Gridlock Legislatif: Partai-partai saling memblokir inisiatif lawan, bahkan jika inisiatif tersebut memiliki potensi manfaat publik, hanya untuk mencetak poin politik atau membuat lawan terlihat tidak efektif.
- Kurangnya Kompromi: Kemampuan untuk menemukan jalan tengah dan bekerja sama demi solusi yang pragmatis menjadi sangat berkurang. Kompromi sering dianggap sebagai pengkhianatan terhadap basis pendukung.
- Kebijakan yang Tidak Konsisten: Perubahan kebijakan yang drastis setiap kali ada pergantian pemerintahan atau mayoritas legislatif, yang menghambat perencanaan jangka panjang dan stabilitas.
- Prioritas Partisan di Atas Prioritas Nasional: Keputusan lebih sering didasarkan pada keuntungan elektoral partai daripada pada analisis kebutuhan riil negara atau warga negaranya.
2. Erosi Kepercayaan Institusional
Ketika lembaga-lembaga seperti pengadilan, badan regulasi, atau bahkan media dianggap bias dan dimanipulasi oleh salah satu pihak, kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga tersebut runtuh. Hal ini sangat berbahaya bagi demokrasi:
- Peradilan yang Dipolitisasi: Keputusan pengadilan seringkali diserang atau didukung berdasarkan afiliasi politik hakim, bukan berdasarkan merit hukum.
- Ilmu Pengetahuan yang Dipertanyakan: Bahkan konsensus ilmiah (misalnya, tentang perubahan iklim atau efektivitas vaksin) dapat ditolak jika bertentangan dengan narasi partisan.
- Media yang Tidak Dipercaya: Setiap sumber berita dianggap sebagai corong propaganda musuh, membuat warga kesulitan membedakan fakta dari fiksi.
Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan pada pilar-pilar utama ini, dasar-dasar masyarakat sipil menjadi rapuh.
3. Fragmentasi Sosial dan Polarisasi Afektif
Partisanisme tidak hanya memecah belah politik, tetapi juga masyarakat secara fundamental. Polarisasi afektif, yaitu perasaan negatif yang kuat terhadap anggota kelompok lawan, menjadi semakin umum. Ini bisa terwujud dalam:
- Hubungan Antarpribadi yang Tegang: Persahabatan, keluarga, dan bahkan komunitas lokal dapat terpecah karena perbedaan politik yang mendalam. Orang-orang memilih untuk berinteraksi hanya dengan mereka yang sepaham.
- Silo Komunikasi: Komunitas fisik dan digital menjadi semakin homogen secara politik, memperkuat pandangan dan prasangka yang ada.
- Demonisasi Lawan: Kelompok lawan tidak hanya dilihat sebagai lawan, tetapi sebagai musuh moral, tidak patriotik, atau bahkan ancaman terhadap eksistensi. Ini menghilangkan empati dan mempersulit dialog.
- Peningkatan Kebencian dan Intoleransi: Retorika partisan yang agresif dapat memicu kebencian terhadap kelompok minoritas atau kelompok yang memiliki identifikasi politik tertentu, yang terkadang berujung pada kekerasan.
4. Tantangan Terhadap Demokrasi
Partisanisme ekstrem dapat mengancam integritas proses demokrasi itu sendiri:
- Delegitimasi Pemilu: Hasil pemilu yang tidak menguntungkan seringkali dicurigai sebagai curang atau tidak sah, mengikis kepercayaan pada proses demokratis.
- Kekerasan Politik: Retorika yang memecah belah dan demonisasi dapat mendorong individu atau kelompok untuk menggunakan kekerasan demi tujuan politik mereka.
- Otoritarianisme: Dalam suasana yang sangat terpolarisasi, masyarakat mungkin lebih rentan terhadap pemimpin otoriter yang berjanji untuk "menyelesaikan" masalah dengan mengorbankan norma-norma demokrasi atau hak-hak minoritas.
- Melemahnya Hak Minoritas: Ketika loyalitas kelompok mendominasi, hak dan kepentingan kelompok minoritas seringkali diabaikan atau bahkan diserang.
5. Hambatan dalam Menghadapi Krisis Global
Ketika isu-isu penting seperti perubahan iklim, pandemi global, atau ancaman keamanan siber menjadi partisan, kemampuan kolektif untuk merespons secara efektif menjadi terhambat. Sains diabaikan, upaya internasional terpecah, dan tindakan yang diperlukan tertunda atau tidak memadai.
Singkatnya, partisanisme bukan sekadar ketidaksepakatan biasa. Ia adalah penyakit yang menggerogoti dasar-dasar masyarakat yang sehat, meracuni diskusi publik, memecah belah komunitas, dan membahayakan masa depan bersama.
Mitigasi dan Jalan Keluar dari Partisanisme
Meskipun tantangan yang ditimbulkan oleh partisanisme sangat besar, tidak berarti tidak ada harapan. Berbagai strategi dan upaya dapat dilakukan di berbagai tingkatan untuk mengurangi polarisasi dan membangun kembali jembatan di antara kelompok-kelompok yang berbeda.
1. Meningkatkan Literasi Media dan Pemikiran Kritis
Di era informasi yang berlebihan dan disinformasi, kemampuan untuk menyaring, mengevaluasi, dan memahami sumber informasi adalah keterampilan fundamental. Ini mencakup:
- Pendidikan Literasi Media: Mengajarkan individu, sejak usia dini, bagaimana mengidentifikasi bias, memeriksa fakta, memahami algoritma media sosial, dan menyadari taktik penyebaran berita palsu.
- Mendorong Konsumsi Berita yang Beragam: Menganjurkan individu untuk secara aktif mencari informasi dari berbagai sumber berita, termasuk yang mungkin memiliki pandangan berbeda, untuk mendapatkan perspektif yang lebih seimbang.
- Mengajarkan Konfirmasi Bias: Memberikan pemahaman tentang bagaimana otak cenderung mencari dan menerima informasi yang menguatkan keyakinan yang sudah ada, serta pentingnya secara sadar melawan bias ini.
- Mempromosikan Verifikasi Fakta: Mendukung organisasi pemeriksa fakta independen dan mengajarkan masyarakat untuk menggunakan alat dan teknik verifikasi fakta.
2. Mendorong Dialog Lintas Kelompok dan Empati
Mengurangi jarak antara kelompok yang berlawanan membutuhkan lebih dari sekadar perubahan informasi; itu membutuhkan perubahan dalam cara orang berinteraksi dan memahami satu sama lain:
- Inisiatif Dialog Terstruktur: Menciptakan ruang aman di mana orang-orang dari latar belakang politik yang berbeda dapat bertemu dan berdiskusi secara konstruktif, dengan fasilitator yang terlatih. Tujuannya bukan untuk mengubah pikiran, tetapi untuk memahami perspektif dan pengalaman orang lain.
- Program Pertukaran: Mengadakan program pertukaran di tingkat komunitas, antar universitas, atau antar wilayah yang beragam secara politik untuk membangun koneksi pribadi.
- Narasi Bersama: Mencari dan menonjolkan kisah-kisah sukses kolaborasi, kompromi, atau kesamaan nilai-nilai yang melampaui garis partisan.
- Fokus pada Kemanusiaan Bersama: Mengingatkan bahwa di balik label politik, setiap individu memiliki kekhawatiran, harapan, dan martabat yang sama.
3. Reformasi Sistem Politik dan Electoral
Perubahan struktural dalam sistem politik dapat membantu mengurangi insentif untuk partisanisme ekstrem:
- Membatasi Gerrymandering: Menerapkan komisi independen untuk menentukan batas daerah pemilihan, menghilangkan bias politik dalam proses tersebut.
- Reformasi Pemilu Primer: Mempertimbangkan sistem pemilu primer terbuka atau sistem peringkat (ranked-choice voting) yang dapat mendorong calon untuk menarik spektrum pemilih yang lebih luas dan moderat.
- Pendanaan Kampanye yang Transparan: Menerapkan aturan yang lebih ketat mengenai pendanaan kampanye untuk mengurangi pengaruh kepentingan khusus dan membuat politisi lebih akuntabel kepada publik yang lebih luas.
- Promosi Sistem Multi-Partai yang Sehat: Mendorong munculnya partai-partai baru atau koalisi yang dapat menawarkan alternatif di luar dikotomi dua partai yang kaku.
4. Kepemimpinan Etis dan Bertanggung Jawab
Para pemimpin politik memiliki peran krusial dalam membentuk iklim politik. Pemimpin yang bertanggung jawab harus:
- Menolak Retorika Divisif: Menghindari demonisasi lawan politik dan penggunaan bahasa yang memecah belah.
- Mempromosikan Kompromi dan Kolaborasi: Secara aktif mencari jalan tengah dan memuji upaya kompromi, bahkan ketika tidak sepenuhnya sejalan dengan pandangan mereka.
- Fokus pada Kebijakan, Bukan Hanya Identitas: Mengarahkan diskusi kembali ke substansi kebijakan dan dampaknya pada warga negara, daripada pada identitas atau loyalitas kelompok.
- Menjunjung Tinggi Norma-norma Demokrasi: Menghormati hasil pemilu, mengakui kekalahan dengan martabat, dan melindungi institusi demokrasi dari serangan partisan.
5. Memperkuat Masyarakat Sipil dan Lembaga Penengah
Masyarakat sipil yang kuat dan mandiri dapat menjadi penyeimbang terhadap kekuatan partisan. Ini termasuk:
- Mendukung Organisasi Non-Pemerintah: Organisasi yang bekerja pada isu-isu lintas partai (misalnya, lingkungan, pendidikan, kesehatan) dapat menunjukkan bahwa kerja sama dimungkinkan dan diperlukan.
- Meningkatkan Keterlibatan Komunitas: Mendorong partisipasi dalam kegiatan lokal yang membangun ikatan sosial dan rasa memiliki bersama, terlepas dari afiliasi politik.
- Peran Media Publik: Mendukung media yang didanai publik yang memiliki mandat untuk melayani kepentingan umum dan menyajikan berita yang tidak bias.
- Pendidikan Kewarganegaraan: Memperkuat pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai demokrasi, toleransi, dan tanggung jawab sipil.
6. Mengatasi Ketimpangan Ekonomi dan Sosial
Meskipun bukan solusi langsung untuk partisanisme, mengurangi ketimpangan dapat menghilangkan salah satu pemicu utama polarisasi. Kebijakan yang adil dalam distribusi kekayaan, akses terhadap pendidikan berkualitas, layanan kesehatan, dan kesempatan kerja dapat mengurangi rasa frustrasi dan kemarahan yang sering dieksploitasi oleh retorika partisan.
- Kebijakan Ekonomi Inklusif: Menerapkan kebijakan yang mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang merata dan mengurangi kesenjangan pendapatan.
- Investasi pada Pendidikan dan Pelatihan: Memberikan kesempatan yang sama bagi semua untuk mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan di pasar kerja modern.
- Jaring Pengaman Sosial: Memastikan adanya sistem dukungan bagi mereka yang rentan terhadap guncangan ekonomi.
7. Tanggung Jawab Platform Digital
Platform media sosial memiliki peran besar dalam memperburuk partisanisme, dan karena itu memiliki tanggung jawab untuk menjadi bagian dari solusi:
- Mengubah Algoritma: Mendesain ulang algoritma untuk tidak hanya memprioritaskan keterlibatan emosional atau sensasionalisme, tetapi juga untuk mempromosikan informasi yang kredibel dan paparan terhadap beragam perspektif.
- Moderasi Konten yang Lebih Baik: Menanggulangi penyebaran disinformasi, ujaran kebencian, dan konten yang memicu kekerasan dengan lebih efektif dan konsisten.
- Labelisasi Sumber: Memberikan konteks pada postingan yang berasal dari sumber berita tertentu, atau yang telah diverifikasi fakta.
- Transparansi: Lebih transparan tentang cara kerja algoritma dan bagaimana konten dimoderasi.
Studi Kasus Global: Berbagai Manifestasi Partisanisme
Partisanisme bukan fenomena yang homogen; ia bermanifestasi secara berbeda di berbagai belahan dunia, meskipun akar penyebabnya seringkali memiliki kesamaan.
Amerika Serikat
Amerika Serikat sering disebut sebagai contoh utama polarisasi partisan modern. Perpecahan antara Demokrat dan Republik telah semakin dalam secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir, bukan hanya dalam kebijakan tetapi juga dalam identitas dan gaya hidup. Faktor-faktor pendorong meliputi:
- Gerrymandering dan Primari: Seperti yang telah dibahas, ini menciptakan distrik yang semakin aman dan mendorong politisi ke ekstrem.
- Media Terpolarisasi: Jaringan berita kabel seperti Fox News dan MSNBC, serta media online, melayani basis ideologis yang berbeda, menciptakan gema kamar.
- Pergeseran Demografi dan Budaya: Isu-isu seperti imigrasi, hak LGBTQ+, dan senjata api telah menjadi medan pertempuran budaya yang sangat partisan.
- Urban-Rural Divide: Kesenjangan nilai dan ekonomi antara wilayah perkotaan yang lebih liberal dan pedesaan yang lebih konservatif.
- Peran Uang dalam Politik: Dana kampanye yang besar dari kelompok kepentingan dan individu kaya dapat memperkuat posisi ekstrem.
Dampaknya terlihat dalam kebuntuan legislatif, penurunan kepercayaan publik terhadap pemerintah, dan polarisasi afektif yang tinggi, di mana banyak warga Amerika menganggap lawan politik mereka sebagai ancaman bagi negara.
Eropa
Di Eropa, partisanisme seringkali berpusat pada isu-isu seperti Uni Eropa, imigrasi, dan identitas nasional. Munculnya partai-partai populis sayap kanan dan kiri telah memperburuk perpecahan.
- Brexit di Inggris: Contoh paling nyata dari polarisasi ekstrem yang dipicu oleh isu keanggotaan Uni Eropa. Perpecahan antara "Remain" dan "Leave" melampaui garis partai tradisional dan memecah belah keluarga serta komunitas. Media tabloid memainkan peran besar dalam memperkuat retorika partisan.
- Bangkitnya Populisme: Di negara-negara seperti Prancis (Marine Le Pen), Jerman (AfD), dan Italia (Liga, Gerakan Bintang Lima), partai-partai anti-kemapanan dan anti-imigrasi telah memperoleh daya tarik, menantang konsensus politik yang ada dan memperdalam perpecahan antara globalis/nasionalis, pro-UE/anti-UE.
- Krisis Pengungsi: Gelombang pengungsi dan migran ke Eropa telah menjadi pemicu utama polarisasi, memicu perdebatan sengit tentang identitas nasional, keamanan, dan nilai-nilai.
Asia dan Afrika
Di banyak negara di Asia dan Afrika, partisanisme seringkali berjalin dengan identitas etnis, agama, atau regional, yang dapat memiliki konsekuensi yang jauh lebih serius, termasuk konflik kekerasan.
- India: Politik India sering dicirikan oleh garis-garis partisan yang kuat berdasarkan agama (Hindu nasionalisme vs. sekularisme) dan kasta. Media sosial memainkan peran signifikan dalam memperkuat perpecahan ini.
- Filipina: Polarisasi yang kuat antara pendukung dan penentang pemimpin populis seperti Rodrigo Duterte. Narasi "kami" melawan "mereka" sangat dominan, dengan media sosial menjadi medan pertempuran utama untuk memenangkan hati dan pikiran.
- Nigeria: Partisanisme seringkali berakar pada garis etnis dan agama, dengan politisi yang mengeksploitasi identitas-identitas ini untuk mendapatkan dukungan, yang kadang-kadang mengarah pada kekerasan komunal.
Studi kasus ini menunjukkan bahwa meskipun konteks spesifik berbeda, pola dasar dari partisanisme – identifikasi kelompok yang kuat, demonisasi lawan, dan penyalahgunaan informasi – tetap konsisten di seluruh dunia.
Peran Individu dalam Mengatasi Partisanisme
Perubahan besar seringkali dimulai dari tindakan individu. Setiap warga negara memiliki peran dalam melawan arus partisanisme yang merusak:
- Praktikkan Kerendahan Hati Intelektual: Sadari bahwa pandangan Anda mungkin tidak lengkap atau bahkan salah. Bersedia untuk mempertimbangkan perspektif yang berbeda.
- Prioritaskan Fakta, Bukan Fiksi: Kembangkan kebiasaan memeriksa fakta dan mempertanyakan informasi yang terlalu bagus untuk menjadi kenyataan atau yang sangat sesuai dengan bias Anda.
- Terlibat dalam Diskusi yang Menghargai: Alih-alih berdebat untuk "menang," berdialoglah untuk memahami. Fokus pada mendengarkan daripada hanya menunggu giliran berbicara.
- Mencari Titik Temu: Sadari bahwa di balik perbedaan politik, ada banyak nilai dan tujuan yang mungkin Anda bagikan dengan orang lain. Misalnya, keinginan untuk pendidikan yang lebih baik, komunitas yang aman, atau ekonomi yang stabil.
- Dukung Media yang Bertanggung Jawab: Langganan atau dukung outlet berita yang dikenal karena jurnalisme investigatif, pelaporan yang seimbang, dan komitmen terhadap kebenaran.
- Menolak Retorika Kebencian: Tolak untuk menyebarkan atau memperkuat narasi yang merendahkan, demonisasi, atau dehumanisasi kelompok lain.
- Berpartisipasi dalam Proses Demokrasi: Pemilu, debat publik, dan advokasi adalah cara-cara penting untuk menyuarakan pendapat secara konstruktif dan bertanggung jawab.
- Membangun Hubungan Lintas Batas: Secara sengaja mencari hubungan dengan orang-orang yang memiliki latar belakang atau pandangan politik yang berbeda. Interaksi personal adalah salah satu cara paling efektif untuk memecah stereotip.
- Jaga Kesehatan Mental: Jeda dari siklus berita yang intens dan drama media sosial. Paparan terus-menerus terhadap konflik partisan dapat merusak kesejahteraan mental.
Perubahan budaya ini membutuhkan waktu dan upaya yang konsisten. Namun, dengan setiap individu yang memilih untuk melawan daya tarik partisanisme yang merusak, masyarakat akan semakin dekat untuk membangun kembali kohesi dan kepercayaan.
Kesimpulan: Membangun Jembatan di Tengah Perpecahan
Partisanisme yang menguat adalah salah satu tantangan terbesar yang dihadapi masyarakat modern. Ia bukan hanya ancaman terhadap sistem politik, tetapi juga terhadap kain sosial yang merekatkan kita bersama. Akar-akarnya kompleks, terjalin dari faktor psikologis, ekonomi, media, dan politik, yang semuanya berinteraksi untuk menciptakan lingkungan yang memupuk polarisasi dan perpecahan.
Namun, memahami akar masalah ini adalah langkah pertama menuju penyelesaian. Dengan secara sadar memerangi bias kognitif kita sendiri, mempraktikkan literasi media, mendorong dialog yang bermakna, mendukung reformasi sistem politik, dan menuntut kepemimpinan yang bertanggung jawab, kita dapat mulai membangun kembali jembatan-jembatan yang telah runtuh.
Ini bukan berarti bahwa perbedaan pendapat harus dihilangkan; perbedaan adalah inti dari demokrasi yang sehat. Sebaliknya, tujuan kita adalah untuk kembali ke titik di mana perbedaan pandangan dapat diperdebatkan dengan hormat, di mana kompromi adalah tanda kekuatan, bukan kelemahan, dan di mana tujuan bersama untuk kesejahteraan masyarakat selalu melampaui loyalitas kelompok.
Masa depan demokrasi kita, kemampuan kita untuk menghadapi tantangan global, dan kualitas hubungan antarpribadi kita sangat bergantung pada kemampuan kita untuk mengatasi daya tarik partisanisme yang memecah belah dan kembali ke nilai-nilai universal seperti empati, rasionalitas, dan pencarian kebaikan bersama. Ini adalah tugas yang tidak mudah, tetapi esensial untuk kelangsungan hidup masyarakat yang sehat dan berfungsi.