Dalam lanskap pemikiran Islam yang kaya dan beragam, konsep tentang bagaimana seorang Muslim seharusnya memahami dan mengamalkan ajaran agama merupakan topik yang senantiasa relevan dan seringkali memicu perdebatan. Salah satu istilah kunci yang muncul dalam diskusi ini adalah mukallid, yang merujuk pada individu yang mempraktikkan taqlid atau mengikuti pendapat hukum seorang mujtahid (ulama yang memiliki kapasitas untuk berijtihad) tanpa meneliti dalil-dalilnya secara langsung. Memahami posisi mukallid, serta relasinya dengan konsep ijtihad (penalaran hukum independen) dan ittiba' (mengikuti dengan pengetahuan dalil), adalah esensial untuk mengurai kompleksitas fiqh (yurisprudensi Islam) dan menjaga keseimbangan dalam praktik keagamaan.
Artikel ini akan mengkaji secara komprehensif makna mukallid, taqlid, dan ijtihad, menyelami sejarah perkembangannya, dalil-dalil yang mendukung maupun menentangnya, jenis-jenis mukallid, serta relevansinya di era modern. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman yang utuh dan nuansa tentang bagaimana umat Islam, dari awam hingga ahli, berinteraksi dengan sumber-sumber hukum Islam dan para ulama, demi mencapai praktik keagamaan yang benar dan berkah.
Ilustrasi 1: Konsep mukallid dalam Islam, merefleksikan pentingnya sumber rujukan dalam memahami ajaran agama.
1. Memahami Konsep Dasar: Taqlid, Ijtihad, dan Mukallid
Untuk memulai diskusi yang mendalam tentang mukallid, sangat penting untuk meletakkan dasar pemahaman tentang tiga konsep inti yang saling terkait: taqlid, ijtihad, dan mukallid itu sendiri. Ketiga istilah ini merupakan pilar dalam diskursus ushul fiqh (prinsip-prinsip yurisprudensi Islam) dan menentukan bagaimana seorang Muslim berinteraksi dengan hukum syariah.
1.1. Taqlid: Mengikuti Tanpa Dalil
Secara etimologi, kata "taqlid" berasal dari bahasa Arab `qallada - yuqallidu - taqlidan` yang berarti meniru, mengenakan kalung, atau menyerahkan urusan kepada orang lain. Dalam konteks syariah, taqlid didefinisikan sebagai "mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya". Ini berarti seorang mukallid menerima dan mengamalkan suatu fatwa atau pendapat hukum dari seorang mujtahid tanpa memahami secara rinci dasar-dasar argumentasi (dalil) yang digunakan oleh mujtahid tersebut dari Al-Qur'an dan Sunnah.
Taqlid umumnya dilakukan oleh kaum awam atau mereka yang tidak memiliki kualifikasi keilmuan yang memadai untuk melakukan ijtihad. Mereka mengandalkan otoritas dan keilmuan para ulama yang telah mengabdikan hidupnya untuk mendalami ilmu syariah. Praktik taqlid ini muncul sebagai keniscayaan historis dan sosiologis, karena tidak semua umat Islam memiliki kemampuan untuk mengkaji langsung Al-Qur'an, Hadis, dan perangkat ilmu bantu lainnya seperti bahasa Arab, ushul fiqh, ilmu rijalul hadis, dan lain sebagainya. Tanpa taqlid, akan terjadi kekacauan dan kesulitan besar dalam praktik keagamaan sehari-hari bagi mayoritas umat.
Namun, penting untuk dicatat bahwa taqlid memiliki batasan dan syaratnya. Taqlid tidak boleh dilakukan secara membabi buta ketika jelas-jelas bertentangan dengan dalil nash (Al-Qur'an dan Sunnah) yang qath'i (pasti dan tidak bisa ditafsirkan lain). Taqlid juga umumnya tidak berlaku bagi seorang mujtahid yang memiliki kapasitas untuk berijtihad sendiri.
1.2. Ijtihad: Penalaran Hukum Independen
Kebalikan dari taqlid adalah ijtihad. Secara bahasa, ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan untuk mencapai suatu tujuan. Dalam terminologi syariah, ijtihad adalah "mengerahkan segenap daya dan upaya untuk menggali dan menetapkan hukum syariah dari dalil-dalilnya yang terperinci." Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.
Ijtihad bukanlah tugas yang ringan. Ia membutuhkan kualifikasi keilmuan yang sangat tinggi dan multi-disipliner, meliputi:
- Penguasaan bahasa Arab yang mendalam (nahwu, sharaf, balaghah, lughah).
- Pengetahuan Al-Qur'an secara komprehensif (ayat-ayat ahkam, nasikh-mansukh, asbabun nuzul).
- Pengetahuan Hadis secara luas (hadis-hadis ahkam, ilmu musthalah hadis, ilmu rijalul hadis, shahih-dhaif, asbab al-wurud).
- Pemahaman ushul fiqh yang kuat (kaidah-kaidah pengambilan hukum, maqashid syariah).
- Pengetahuan tentang ijma' (konsensus ulama) dan khilaf (perbedaan pendapat).
- Pengetahuan tentang konteks masyarakat (urf/adat).
- Akal yang jernih dan integritas moral yang tinggi.
Ijtihad merupakan sumber hukum Islam setelah Al-Qur'an dan Sunnah, serta Ijma'. Ia menjadi mekanisme dinamis bagi syariah untuk merespons persoalan-persoalan baru yang muncul sepanjang zaman dan tempat, memastikan relevansi dan fleksibilitas Islam dalam berbagai kondisi.
1.3. Mukallid: Sang Pengikut
Setelah memahami taqlid dan ijtihad, kita sampai pada definisi mukallid. Seorang mukallid adalah individu yang melakukan taqlid, yaitu mengikuti pendapat seorang mujtahid atau suatu mazhab (madzhab) tanpa mendalami dalil-dalilnya secara langsung. Mayoritas umat Islam di seluruh dunia adalah mukallid, baik secara sadar maupun tidak sadar, karena tidak semua orang memiliki kapasitas atau waktu untuk menjadi seorang mujtahid.
Identitas seorang mukallid tidak berarti dia tidak berilmu sama sekali. Seorang mukallid bisa jadi memiliki pengetahuan agama yang baik, mampu membaca Al-Qur'an dan memahami terjemahannya, bahkan hafal banyak hadis. Namun, kapasitasnya untuk menganalisis, mensintesis, dan menarik kesimpulan hukum langsung dari sumber-sumber primer seperti seorang mujtahid adalah terbatas. Oleh karena itu, ia memilih untuk mengandalkan bimbingan para ulama yang telah memenuhi kualifikasi tersebut.
Penting untuk dibedakan antara mukallid dengan orang yang sekadar meniru tanpa dasar (mengikuti hawa nafsu) atau orang yang tidak peduli sama sekali dengan hukum agama. Seorang mukallid, pada dasarnya, adalah orang yang ingin berpegang teguh pada syariah, namun menyadari keterbatasannya dan mencari bimbingan dari para ahli.
Ilustrasi 2: Hubungan antara Taqlid dan Ijtihad sebagai dua pendekatan utama dalam memahami hukum Islam.
2. Sejarah dan Perkembangan Taqlid dalam Islam
Praktik taqlid, sebagaimana kita kenal sekarang, tidak serta merta hadir sejak awal Islam. Perkembangannya merupakan refleksi dari evolusi masyarakat Muslim, penyebaran Islam, dan kompleksitas ilmu-ilmu keagamaan. Memahami lintasan sejarah ini penting untuk menempatkan mukallid dalam konteks yang tepat.
2.1. Era Awal: Dominasi Ijtihad
Pada masa Nabi Muhammad SAW, sumber hukum adalah wahyu (Al-Qur'an) dan sunnah beliau. Para sahabat langsung bertanya kepada Nabi untuk setiap persoalan. Setelah wafatnya Nabi, para sahabat yang merupakan generasi pertama umat Islam, secara umum, adalah para mujtahid. Mereka memiliki pemahaman yang mendalam tentang Al-Qur'an dan Sunnah, serta menyaksikan langsung konteks turunnya wahyu dan praktik Nabi. Oleh karena itu, pada masa ini, ijtihad adalah norma. Jika seorang sahabat menghadapi masalah baru, ia akan berijtihad dengan merujuk pada Al-Qur'an dan Sunnah. Hanya sedikit sekali kasus taqlid murni, dan itupun biasanya terbatas pada sahabat yang baru masuk Islam atau yang baru saja kembali dari perjalanan jauh dan belum sempat mendalami semua ajaran.
Para sahabat terkemuka seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Aisyah, semuanya adalah mujtahid yang diakui. Mereka memiliki metode ijtihad masing-masing dan seringkali berdiskusi atau bertukar pendapat untuk mencapai kesimpulan hukum terbaik.
2.2. Munculnya Generasi Tabi'in dan Awal Madzhab
Setelah era sahabat, muncullah generasi Tabi'in (generasi setelah sahabat). Pada masa ini, wilayah Islam semakin meluas, dan muncul beragam masalah baru yang belum ada presedennya. Para Tabi'in yang merupakan murid-murid sahabat, mulai membentuk lingkaran-lingkaran pengajian di berbagai pusat ilmu seperti Mekah, Madinah, Kufah, Basrah, dan Damaskus. Di sinilah cikal bakal madzhab-madzhab fiqh mulai terbentuk.
Setiap pusat ilmu memiliki "sekolah" tersendiri yang dipimpin oleh ulama-ulama Tabi'in terkemuka. Misalnya, di Kufah, tradisi Ibnu Mas'ud diteruskan oleh ulama seperti Alqamah dan Ibrahim an-Nakha'i, yang kemudian memengaruhi Imam Abu Hanifah. Di Madinah, tradisi Ibnu Umar dan Zaid bin Tsabit diteruskan oleh Imam Malik. Perbedaan geografis, ketersediaan hadis, dan kecenderungan penalaran (misalnya, ahl al-hadits vs. ahl al-ra'yi) mulai menghasilkan perbedaan pendapat hukum yang sistematis.
Pada periode ini, taqlid mulai dipraktikkan, namun masih dalam batas yang fleksibel. Murid-murid dari seorang ulama besar akan mengikuti fatwa gurunya, tetapi mereka juga seringkali mempelajari dalil-dalilnya dan bahkan berijtihad sendiri jika memiliki kemampuan. Taqlid yang terjadi lebih mirip dengan ittiba', yaitu mengikuti dengan dasar pemahaman.
2.3. Pembentukan Madzhab Empat dan Konsolidasi Taqlid
Abad ke-2 dan ke-3 Hijriah menyaksikan puncak perkembangan madzhab fiqh dengan munculnya empat Imam Madzhab Sunni yang paling terkenal: Imam Abu Hanifah (w. 150 H), Imam Malik bin Anas (w. 179 H), Imam Syafi'i (w. 204 H), dan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H). Masing-masing imam ini memiliki metodologi ijtihad yang khas, kumpulan fatwa yang luas, dan banyak murid yang setia mencatat dan menyebarkan ajaran mereka.
Dengan berjalannya waktu, ajaran madzhab-madzhab ini diorganisir, dibukukan, dan disebarkan secara luas. Kitab-kitab fiqh mulai muncul, mengkodifikasi pandangan hukum madzhab tertentu. Pada titik ini, bagi mayoritas umat Islam, mengikuti salah satu madzhab menjadi pilihan yang praktis dan masuk akal. Ini karena:
- Kompleksitas Ilmu: Ilmu-ilmu yang diperlukan untuk ijtihad menjadi semakin rumit dan luas.
- Kebutuhan akan Keseragaman: Masyarakat memerlukan keseragaman hukum untuk menjaga ketertiban sosial dan agama.
- Waktu dan Kemampuan: Tidak semua orang memiliki waktu, kemampuan, atau kesempatan untuk menjadi mujtahid.
- Menghindari Chaos: Membuka pintu ijtihad bagi setiap orang dikhawatirkan akan memicu kekacauan dan relativisme hukum.
Maka, pada periode ini, konsep mukallid sebagai pengikut setia salah satu madzhab menjadi lebih dominan. Sebagian ulama bahkan berpendapat bahwa pintu ijtihad mutlak telah tertutup setelah era para Imam Madzhab, dan umat Islam wajib bertaqlid pada salah satu dari empat madzhab tersebut. Meskipun pandangan ini diperdebatkan, kenyataannya adalah bahwa praktik bertaqlid pada madzhab menjadi norma yang berlaku luas dan berlangsung hingga saat ini di sebagian besar dunia Muslim Sunni.
2.4. Perdebatan Seputar Taqlid: Fleksibilitas vs. Fanatisme
Meskipun taqlid menjadi praktik yang umum, perdebatan tentang batasannya tidak pernah berhenti. Sejak abad-abad pertengahan, muncul ulama-ulama yang mengkritik taqlid buta (taqlid a'ma) yang mengarah pada fanatisme madzhab atau penolakan terhadap dalil yang jelas hanya karena berbeda dengan pendapat madzhab. Mereka menyerukan kembali kepada ittiba', yaitu mengikuti pendapat ulama yang didasarkan pada dalil, dan berusaha memahami dalil tersebut semampunya, bahkan jika tidak mampu melakukan ijtihad secara mandiri.
Gerakan pembaharuan (tajdid) di berbagai zaman seringkali menyertakan seruan untuk kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah secara langsung, serta meninjau kembali praktik taqlid yang kaku. Tokoh-tokoh seperti Ibnu Taymiyyah, Ibn al-Qayyim, dan di era modern Muhammad Abduh serta Rasyid Ridha, adalah sebagian dari mereka yang menyuarakan pentingnya ijtihad dan menghindari taqlid buta. Namun, penting juga untuk dicatat bahwa para ulama yang menganjurkan ijtihad atau ittiba' tidak serta merta menolak taqlid bagi mukallid awam. Justru mereka menekankan pentingnya taqlid yang bijaksana dan terarah, bukan taqlid yang kaku dan anti-kritik.
Ilustrasi 3: Keterkaitan antara sumber-sumber utama hukum Islam (Al-Qur'an dan Sunnah) dengan peran ulama dalam penafsirannya.
3. Dalil-Dalil Pendukung Taqlid yang Terkontrol dan Kebutuhan akan Mukallid
Meskipun ada seruan untuk ijtihad, praktik taqlid bukanlah sesuatu yang asing dalam Islam, terutama bagi mukallid awam. Ada berbagai dalil dan argumen rasional yang mendukung keberadaan dan keabsahan taqlid dalam batas-batas tertentu.
3.1. Dalil dari Al-Qur'an
Al-Qur'an, dalam beberapa ayatnya, mengisyaratkan pentingnya merujuk kepada orang yang memiliki pengetahuan. Salah satu ayat yang sering dijadikan dalil adalah:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (QS. An-Nahl: 43 dan Al-Anbiya: 7)
Ayat ini jelas memerintahkan orang yang tidak tahu untuk bertanya kepada "ahl adz-dzikr" (orang yang berilmu atau memiliki pengetahuan). Dalam konteks fiqh, "ahl adz-dzikr" diartikan sebagai para ulama atau mujtahid. Bagi mukallid awam yang tidak memiliki kapasitas untuk menggali hukum sendiri, perintah ini secara tidak langsung melegitimasi praktik taqlid. Jika setiap orang diwajibkan untuk meneliti dalil hingga mencapai kesimpulan hukumnya sendiri, maka perintah bertanya ini akan menjadi tidak relevan.
Selain itu, adanya perintah untuk ta'awun (tolong-menolong) dalam kebaikan dan takwa juga dapat diinterpretasikan untuk mendukung taqlid. Para ulama membantu umat dalam memahami syariah, dan umat membantu ulama dengan mendukung mereka dalam dakwah dan menjaga agama.
3.2. Dalil dari Hadis
Beberapa hadis Nabi SAW juga memberikan landasan bagi praktik taqlid. Misalnya:
"Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari dada para hamba, tetapi Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Hingga apabila tidak tersisa seorang ulama pun, manusia akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu mereka ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka tersesat dan menyesatkan." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan betapa sentralnya peran ulama dalam menjaga ilmu. Ketika ulama masih ada, umat diperintahkan untuk merujuk kepada mereka. Jika mukallid awam tidak bertaqlid kepada ulama yang kompeten, mereka berisiko mengikuti orang-orang bodoh yang akan menyesatkan mereka.
Hadis lain tentang tugas menyampaikan ilmu juga relevan. Para ulama adalah pewaris Nabi dalam menyampaikan ilmu. Jika mereka telah berijtihad dan menyimpulkan suatu hukum, maka bagi mukallid, mengikuti kesimpulan tersebut adalah bagian dari menerima warisan ilmu Nabi.
3.3. Ijma' (Konsensus Ulama)
Mayoritas ulama dari berbagai madzhab dan generasi telah mencapai konsensus (ijma') bahwa taqlid diperbolehkan, bahkan wajib, bagi orang awam (mukallid) yang tidak memiliki kapasitas ijtihad. Ijma' ini didasarkan pada keniscayaan realitas bahwa tidak semua orang bisa atau harus menjadi mujtahid. Sejak zaman Tabi'in hingga sekarang, umat Islam secara kolektif telah mengamalkan taqlid dalam bentuk mengikuti madzhab atau ulama tertentu. Ijma' ini sendiri merupakan salah satu sumber hukum Islam.
Imam al-Ghazali, dalam kitabnya al-Mustashfa, menyatakan bahwa orang awam wajib mengikuti para ulama dan tidak boleh berijtihad. Beliau mencontohkan bahwa jika seorang pasien tidak memiliki ilmu kedokteran, ia harus mengikuti anjuran dokter. Demikian pula, dalam urusan agama, orang awam harus mengikuti para mujtahid.
3.4. Argumen Rasional dan Kebutuhan Praktis
Selain dalil-dalil nash, ada argumen rasional yang kuat untuk mendukung keberadaan mukallid dan praktik taqlid:
- Pencegahan Kekacauan: Jika setiap orang mencoba berijtihad sendiri tanpa kualifikasi, akan terjadi kekacauan dalam hukum dan praktik agama. Setiap orang akan memiliki interpretasinya sendiri, yang bisa jadi bertentangan satu sama lain, dan masyarakat akan kehilangan pegangan hukum yang stabil.
- Efisiensi dan Kemudahan: Hidup modern menuntut efisiensi. Tidak semua orang memiliki waktu untuk mendedikasikan diri pada studi Islam yang mendalam. Taqlid memberikan kemudahan bagi mereka untuk menjalankan agama tanpa harus menjadi ahli fiqh.
- Spesialisasi Ilmu: Seperti halnya bidang ilmu lain (kedokteran, teknik, hukum perdata), ilmu agama juga membutuhkan spesialisasi. Ulama adalah spesialis di bidangnya. Wajar jika orang awam merujuk kepada mereka.
- Penjagaan Agama: Taqlid yang terarah pada ulama yang kompeten membantu menjaga kemurnian dan keautentikan ajaran Islam dari penafsiran yang menyimpang atau keliru oleh orang-orang yang tidak berilmu.
Oleh karena itu, keberadaan mukallid yang bertaqlid pada ulama yang terpercaya adalah keniscayaan dan bahkan kebutuhan bagi kelangsungan praktik keagamaan yang teratur dan benar dalam masyarakat Islam.
4. Dalil-Dalil Penentang Taqlid Buta dan Pentingnya Ittiba'
Di sisi lain, terdapat kritik dan peringatan keras terhadap taqlid yang berlebihan, terutama yang disebut taqlid a'ma (taqlid buta). Para ulama yang menentang taqlid buta ini tidak serta merta menolak taqlid secara mutlak bagi mukallid awam, melainkan menekankan pentingnya ittiba' (mengikuti dengan pemahaman dalil) dan bahaya fanatisme madzhab.
4.1. Dalil dari Al-Qur'an
Al-Qur'an banyak sekali menyeru manusia untuk menggunakan akal, merenung, berpikir, dan tidak mengikuti begitu saja tradisi nenek moyang tanpa dasar ilmu. Beberapa ayat yang sering dikutip antara lain:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
"Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,' mereka menjawab, 'Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami.' Apakah (mereka akan mengikuti juga) sekalipun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu apa pun dan tidak mendapat petunjuk?" (QS. Al-Baqarah: 170)
Ayat ini dengan tegas mencela tindakan mengikuti tradisi nenek moyang secara membabi buta tanpa menggunakan akal dan mencari kebenaran. Meskipun konteks awalnya adalah tentang orang kafir yang menolak kebenaran, prinsip umumnya berlaku juga untuk taqlid buta dalam hal agama.
Ayat lain seperti QS. Al-A'raf: 3 ("Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu ikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran dari padanya.") juga menggarisbawahi pentingnya mengikuti wahyu ilahi secara langsung.
4.2. Dalil dari Hadis
Beberapa hadis Nabi SAW juga mengindikasikan pentingnya merujuk pada Al-Qur'an dan Sunnah secara langsung dan menghindari keterikatan buta pada pendapat seseorang:
"Aku tinggalkan padamu dua perkara, yang jika kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya kalian tidak akan tersesat selamanya: Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya." (HR. Malik)
Hadis ini menekankan bahwa sumber utama dan pegangan yang tidak akan menyesatkan adalah Al-Qur'an dan Sunnah. Jika taqlid membuat seseorang mengabaikan atau menentang dalil-dalil ini, maka taqlid tersebut menjadi tercela.
Bahkan para Imam Madzhab sendiri, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad, berpesan agar tidak bertaqlid kepada mereka jika ditemukan hadis yang shahih bertentangan dengan pendapat mereka. Imam Syafi'i bahkan berkata, "Jika kalian mendapati riwayat yang shahih, maka itulah mazhabku." Ini menunjukkan bahwa para imam sendiri tidak ingin pendapat mereka diikuti secara buta tanpa merujuk pada dalil.
4.3. Bahaya Taqlid Buta
Taqlid buta memiliki beberapa konsekuensi negatif yang serius:
- Fanatisme Madzhab: Mengakibatkan pengikut madzhab menjadi fanatik terhadap madzhabnya sendiri, menolak kebenaran dari madzhab lain, bahkan jika dalilnya lebih kuat. Ini dapat memecah belah umat.
- Stagnasi Intelektual: Mencegah perkembangan pemikiran Islam dan ijtihad. Jika semua orang hanya bertaqlid, maka persoalan-persoalan baru tidak akan mendapatkan solusi hukum yang relevan.
- Menutup Pintu Kebenaran: Membuat seseorang lebih loyal kepada pendapat ulama daripada kepada dalil Al-Qur'an dan Sunnah, sehingga menutup diri dari kebenaran yang mungkin datang dari luar madzhabnya.
- Mempersempit Ruang Lingkup Islam: Menjadikan Islam seolah-olah hanya terbatas pada satu pandangan hukum, padahal Islam adalah agama yang luas dan memberikan ruang bagi perbedaan pendapat yang sah (ikhtilaf).
- Menjadi Sasaran Fitnah: Taqlid buta seringkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan ajaran sesat atau kepentingan pribadi, karena pengikutnya tidak kritis terhadap dalil.
Oleh karena itu, meskipun taqlid diizinkan bagi mukallid awam, ia harus selalu diiringi dengan kesadaran dan etika. Mukallid harus memilih ulama atau madzhab yang terpercaya, memiliki semangat untuk belajar (walaupun terbatas pada pemahaman dalil), dan tidak fanatik.
5. Klasifikasi dan Tingkatan Mukallid (dan Ulama)
Dunia Islam mengakui adanya tingkatan yang berbeda dalam hal kapasitas keilmuan dan kemampuan dalam berinteraksi dengan sumber-sumber hukum Islam. Klasifikasi ini membantu kita memahami peran dan tanggung jawab setiap individu, mulai dari mukallid awam hingga mujtahid mutlak.
5.1. Mujtahid Mutlak (Mujtahid Mustaqil)
Ini adalah tingkatan tertinggi dalam hierarki keilmuan. Seorang mujtahid mutlak adalah ulama yang memiliki semua kualifikasi ijtihad yang disebutkan sebelumnya (penguasaan Al-Qur'an, Sunnah, bahasa Arab, ushul fiqh, ijma', dll.) secara komprehensif. Mereka mampu menggali hukum langsung dari sumber-sumber utama tanpa terikat pada madzhab tertentu. Para pendiri empat madzhab fiqh (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad) termasuk dalam kategori ini.
Jumlah mujtahid mutlak sangat sedikit dan diyakini bahwa pintu ijtihad mutlak telah tertutup setelah era mereka karena sulitnya memenuhi semua syarat di kemudian hari, meskipun ada perdebatan tentang hal ini. Bagi mujtahid mutlak, haram hukumnya bertaqlid kepada orang lain, karena ia wajib berijtihad sendiri.
5.2. Mujtahid Muntasib (Mujtahid Fii al-Madzhab)
Mujtahid muntasib adalah ulama yang memiliki kemampuan ijtihad, namun tidak sampai pada level mutlak. Mereka terikat pada salah satu madzhab, memahami metodologi imam madzhabnya, dan berijtihad dalam batas-batas prinsip madzhab tersebut. Mereka mungkin berijtihad pada masalah-masalah yang tidak dijelaskan oleh imam madzhab mereka, atau memilih salah satu dari beberapa pendapat dalam madzhab tersebut setelah meneliti dalilnya.
Contohnya adalah murid-murid senior para imam madzhab, seperti Imam Zufar dan Abu Yusuf dalam madzhab Hanafi, atau Imam Al-Muzani dalam madzhab Syafi'i. Mereka adalah mukallid dalam arti mengikuti kerangka umum madzhab, tetapi juga mujtahid dalam lingkup tersebut.
5.3. Mujtahid Fatwa (Mujtahid Tarjih/Mukharrij)
Ini adalah ulama yang tidak memiliki kemampuan ijtihad penuh, namun memiliki pengetahuan mendalam tentang madzhabnya. Tugas mereka adalah meneliti berbagai pendapat dalam madzhab mereka, menganalisis dalil-dalilnya, dan merajihkan (memilih) pendapat yang paling kuat atau yang paling sesuai dengan kondisi tertentu. Mereka juga dapat mengeluarkan fatwa berdasarkan kaidah madzhab mereka untuk kasus-kasus baru, tetapi bukan dengan ijtihad murni.
Ulama-ulama besar yang menyusun kitab-kitab fiqh muqaran (perbandingan madzhab) atau yang melakukan tarjih dalam madzhabnya termasuk dalam kategori ini. Mereka bukan mukallid murni karena mereka melakukan analisis dalil, tetapi mereka tidak menciptakan hukum baru di luar koridor madzhab.
5.4. Muttabi'
Muttabi' adalah individu yang mengikuti pendapat seorang mujtahid (atau suatu madzhab), tetapi ia mengetahui dalil-dalil yang menjadi dasar pendapat tersebut dan memahami argumennya, meskipun ia tidak memiliki kapasitas untuk menggali dalil-dalil tersebut secara independen atau melakukan ijtihad sendiri. Tingkatan ini lebih tinggi daripada mukallid awam karena memiliki pemahaman, meskipun masih mengandalkan kesimpulan dari orang lain.
Seorang muttabi' akan merasa lebih mantap dalam beramal karena ia tahu dasar hukum dari apa yang ia praktikkan. Ia juga lebih tidak mudah goyah atau fanatik, karena pemahamannya akan dalil memberinya perspektif yang lebih luas.
5.5. Mukallid Awam (Umum)
Ini adalah tingkatan mayoritas umat Islam, dan inilah yang dimaksud dengan istilah "mukallid" dalam pengertian umumnya. Mukallid awam adalah orang yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang ilmu-ilmu syariah untuk memahami dalil-dalil secara langsung. Oleh karena itu, ia wajib bertaqlid kepada ulama yang ia yakini keilmuan dan ketakwaannya.
Bagi mukallid awam, pilihan untuk bertaqlid adalah sebuah kemudahan (rukhshah) dari syariat. Mereka tidak dituntut untuk menjadi mujtahid, karena hal itu di luar kemampuan mereka. Namun, mereka dituntut untuk memilih ulama atau madzhab yang terpercaya dan tidak mudah terombang-ambing oleh berbagai pendapat tanpa dasar. Bahkan, bertaqlid pada satu madzhab yang diakui dan terstruktur dengan baik seringkali dianggap lebih utama untuk menjaga konsistensi dan menghindari talfiq (mencampuradukkan madzhab secara sembarangan).
Mukallid awam memiliki tanggung jawab moral untuk mencari ilmu sebatas kemampuannya, seperti mempelajari dasar-dasar akidah, ibadah, dan akhlak. Namun, untuk masalah fiqh yang rumit, mereka memang harus merujuk kepada ulama.
6. Peran dan Signifikansi Mukallid dalam Membangun Masyarakat Islam
Keberadaan mukallid, terlepas dari perdebatan seputar taqlid, memiliki peran yang sangat signifikan dan tidak dapat dipandang remeh dalam struktur dan dinamika masyarakat Islam. Mereka adalah tulang punggung komunitas yang mengamalkan ajaran agama, yang pada gilirannya menopang stabilitas dan perkembangan peradaban Islam.
6.1. Menjamin Stabilitas dan Konsistensi Hukum
Jika setiap individu wajib berijtihad, akan terjadi kekacauan dan ketidakpastian hukum. Masyarakat tidak akan memiliki landasan yang seragam dalam praktik ibadah, muamalah, dan urusan sosial lainnya. Praktik mukallid yang mengikuti satu madzhab atau ulama yang konsisten, membantu menciptakan stabilitas hukum. Ini memungkinkan terbentuknya norma-norma sosial dan etika yang disepakati, yang penting untuk kohesi masyarakat.
Sebagai contoh, dalam suatu komunitas yang mayoritas mukallidnya mengikuti madzhab Syafi'i, tata cara shalat, puasa, zakat, hingga hukum waris akan memiliki keseragaman yang relatif. Ini memudahkan pendidikan agama, pelaksanaan ibadah berjamaah, dan penyelesaian sengketa, karena semua berpegang pada rujukan yang sama. Tanpa mukallid, setiap masjid, setiap keluarga, bahkan setiap individu, bisa saja memiliki cara ibadah dan pemahaman hukum yang berbeda-beda, yang akan mempersulit kehidupan kolektif.
6.2. Memfasilitasi Aksesibilitas Ajaran Agama
Syariat Islam adalah komprehensif, mencakup setiap aspek kehidupan. Namun, tidak semua orang memiliki kapasitas intelektual, waktu, atau sumber daya untuk mempelajari seluruh ilmu syariah secara mendalam. Mukallid mengisi celah ini dengan menerima fatwa dan bimbingan dari ulama. Ini menjadikan ajaran agama dapat diakses dan diamalkan oleh setiap Muslim, terlepas dari latar belakang pendidikan atau profesi mereka.
Bayangkan jika seorang petani atau pedagang harus menunda pekerjaannya untuk mempelajari ushul fiqh, tafsir, dan hadis agar bisa berijtihad untuk setiap masalah yang ia hadapi. Hal ini tidak realistis. Dengan adanya ulama dan praktik taqlid, para mukallid dapat tetap menjalankan profesi dan perannya dalam masyarakat, sambil tetap mendapatkan panduan yang benar untuk kehidupan agamanya.
6.3. Memelihara Ilmu dan Tradisi Keilmuan
Peran ulama mujtahid dan mukallid saling melengkapi. Para mujtahid menggali dan merumuskan hukum, sementara para mukallid mengamalkannya. Hubungan ini memelihara tradisi keilmuan Islam. Tanpa mukallid yang mengamalkan ajaran, hasil ijtihad para ulama mungkin akan kehilangan relevansinya dalam kehidupan nyata. Sebaliknya, tanpa ulama, mukallid akan kehilangan arah.
Institusi madzhab, yang merupakan wujud formalisasi taqlid, telah memainkan peran krusial dalam melestarikan warisan keilmuan Islam. Melalui madzhab, ilmu fiqh diwariskan dari generasi ke generasi, dikembangkan, dijelaskan, dan diterapkan pada realitas baru. Para mukallid, dengan mengikuti madzhab, secara tidak langsung mendukung dan menjaga kelangsungan sistem pendidikan dan penelitian keagamaan ini.
6.4. Mendorong Ketakwaan dan Kepatuhan
Bagi banyak mukallid, taqlid adalah ekspresi dari ketakwaan dan kerendahan hati. Mereka mengakui keterbatasan ilmu mereka dan lebih memilih untuk mengikuti panduan dari mereka yang lebih berilmu dan bertakwa. Ini adalah bentuk kepatuhan kepada Allah dan Rasul-Nya, karena perintah untuk bertanya kepada ahl adz-dzikr adalah perintah ilahi.
Selain itu, taqlid juga dapat menjadi benteng dari hawa nafsu. Seseorang yang bertaqlid pada madzhab cenderung kurang rentan untuk memilih-milih fatwa (talfiq) yang sesuai dengan keinginannya, karena ia terikat pada kerangka metodologi dan kumpulan fatwa yang lebih besar. Ini mendorong konsistensi dalam ibadah dan moralitas.
6.5. Membangun Kesatuan Umat
Meskipun perbedaan madzhab kadang-kadang memicu perselisihan, pada dasarnya, taqlid yang sehat justru dapat berkontribusi pada kesatuan umat. Dengan bertaqlid pada madzhab yang sama, atau bahkan dengan saling menghormati madzhab yang berbeda, umat Islam dapat bersatu di bawah payung prinsip-prinsip syariah yang telah disepakati oleh mayoritas ulama. Perbedaan dalam furu' (cabang) fiqh menjadi rahmat, selama tidak mengarah pada fanatisme buta atau saling menjatuhkan.
Pada akhirnya, mukallid adalah bagian integral dari umat Islam. Peran mereka dalam menjaga stabilitas, memfasilitasi akses agama, memelihara ilmu, mendorong ketakwaan, dan membangun kesatuan, sangat fundamental. Oleh karena itu, mendidik mukallid untuk menjadi pengikut yang cerdas dan bertanggung jawab, bukan pengikut buta, adalah tugas bersama.
7. Tantangan Mukallid di Era Kontemporer dan Relevansinya
Di tengah gelombang informasi dan perubahan sosial yang cepat di era modern, peran mukallid dihadapkan pada tantangan yang kompleks sekaligus menemukan relevansi baru. Globalisasi, kemajuan teknologi, dan akses mudah terhadap berbagai pandangan keagamaan telah mengubah lanskap praktik taqlid.
7.1. Tantangan Akses Informasi dan "Fatwa Shopping"
Dulu, seorang mukallid mungkin hanya memiliki akses ke satu atau dua ulama di komunitasnya atau satu madzhab yang dominan di wilayahnya. Kini, internet dan media sosial membanjiri mukallid dengan informasi tak terbatas, mulai dari fatwa ulama tradisional hingga interpretasi independen yang seringkali tanpa dasar keilmuan yang kuat.
Tantangan terbesar adalah fenomena "fatwa shopping", di mana seorang mukallid mencari-cari fatwa yang paling ringan atau sesuai dengan hawa nafsunya, tanpa memperhatikan kredibilitas sumber atau dalil yang mendasarinya. Ini merusak integritas taqlid dan dapat mengarah pada praktik agama yang tidak konsisten atau bahkan sesat. Mukallid di era ini harus mengembangkan literasi media dan kemampuan untuk menilai kredibilitas sumber informasi keagamaan.
7.2. Kebingungan Akibat Beragamnya Pendapat
Aksesibilitas informasi juga berarti mukallid akan menemukan banyak perbedaan pendapat di antara ulama (ikhtilaf). Bagi orang awam yang tidak memiliki kapasitas untuk meninjau dalil, perbedaan ini bisa sangat membingungkan. Mereka mungkin bertanya-tanya, "Mana yang benar?" atau "Mengapa ulama berbeda pendapat?" Tanpa bimbingan yang tepat, kebingungan ini bisa mengarah pada sikap apatis terhadap agama atau, sebaliknya, fanatisme pada satu pandangan dan menyalahkan pandangan lain.
Peran ulama di sini sangat krusial dalam menjelaskan bahwa perbedaan pendapat dalam fiqh adalah rahmat dan bagian alami dari ijtihad, bukan kelemahan Islam. Mereka perlu membimbing mukallid tentang bagaimana menyikapi perbedaan ini dengan bijak, seperti dengan mengikuti pendapat yang lebih sesuai dengan kondisi mereka (selama ada dalil yang kuat) atau mengikuti pendapat yang paling hati-hati (ihtiyat).
7.3. Munculnya Gerakan "Kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah" yang Ekstrem
Di era modern, banyak gerakan yang menyerukan "kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah" secara langsung, menolak taqlid secara keseluruhan. Meskipun niatnya baik (untuk menghindari taqlid buta), sebagian gerakan ini seringkali terlalu ekstrem, menuntut setiap Muslim untuk berijtihad sendiri, atau setidaknya meninggalkan semua madzhab dan mengikuti "dalil" yang mereka pahami secara dangkal. Hal ini seringkali meremehkan warisan keilmuan yang telah dibangun selama berabad-abad dan berpotensi menimbulkan kekacauan interpretasi.
Bagi mukallid, seruan seperti ini bisa jadi menarik karena terdengar "murni" dan "autentik", namun tanpa bekal ilmu yang memadai, mengikuti seruan ini bisa sangat berbahaya. Mereka bisa saja jatuh pada kesalahan interpretasi atau mengikuti ulama yang tidak kompeten yang mengklaim berijtihad. Perlu ditekankan bahwa kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah harus dilakukan melalui bimbingan ulama yang mumpuni, bukan dengan mengabaikan tradisi keilmuan.
7.4. Relevansi Taqlid yang Berimbang
Meskipun dihadapkan pada tantangan, praktik taqlid bagi mukallid awam tetap relevan dan dibutuhkan di era modern. Justru, dengan kompleksitas informasi yang ada, kebutuhan akan panduan dari ulama yang kredibel menjadi semakin mendesak. Taqlid yang berimbang, yang bukan taqlid buta melainkan taqlid yang sadar, menjadi kunci.
Seorang mukallid di era modern dituntut untuk:
- Memilih Guru/Ulama yang Tepat: Kredibilitas, keilmuan, dan ketakwaan ulama yang diikuti menjadi sangat penting. Hindari ulama yang sensasional, berpolitik praktis secara berlebihan, atau tidak memiliki sanad keilmuan yang jelas.
- Memahami Batasan Taqlid: Sadar bahwa taqlid adalah untuk memudahkan, bukan untuk menjustifikasi kemalasan berpikir atau fanatisme. Jika ada dalil qath'i yang jelas bertentangan dengan suatu pendapat, mukallid harus bertanya lebih lanjut atau mencari penjelasan.
- Bersikap Terbuka dan Menghargai Ikhtilaf: Menerima bahwa perbedaan pendapat dalam fiqh adalah hal yang lumrah dan tidak lantas membatalkan keislaman seseorang. Hindari menyalahkan atau membid'ahkan orang lain hanya karena berbeda madzhab atau pendapat.
- Meningkatkan Ilmu Pengetahuan Dasar Agama: Meskipun seorang mukallid, ia tetap wajib mempelajari dasar-dasar agama, seperti aqidah, rukun Islam, rukun iman, dan akhlak. Semakin ia tahu, semakin ia akan menghargai ijtihad ulama dan semakin bijak dalam bertaqlid.
- Tidak Taklid dalam Akidah: Dalam masalah akidah (keyakinan dasar), seorang Muslim tidak boleh bertaqlid buta. Ia harus meyakini kebenaran Islam dengan keyakinan yang mantap berdasarkan dalil-dalil akal dan naqli, meskipun dalam pemahamannya bisa dibantu oleh ulama.
Dengan demikian, mukallid modern dituntut untuk menjadi pengikut yang cerdas dan kritis, yang tetap mengandalkan bimbingan ulama namun tidak kehilangan semangat untuk belajar dan memahami agama secara lebih baik. Ini adalah jalan tengah yang menjaga keseimbangan antara tradisi dan pembaharuan, antara ketaatan dan akal sehat.
Ilustrasi 4: Keseimbangan antara taqlid dan ijtihad, dengan penekanan pada mukallid yang bijak dalam menghadapi pilihan.
8. Etika dan Tanggung Jawab Mukallid
Menjadi seorang mukallid bukan berarti lepas dari tanggung jawab. Justru ada etika dan tanggung jawab yang harus diemban agar praktik taqlidnya menjadi sah, berkah, dan tidak menjerumuskan. Etika ini memastikan bahwa seorang mukallid tetap berada di jalur yang benar dan mendapatkan manfaat maksimal dari bimbingan ulama.
8.1. Memilih Ulama atau Madzhab yang Terpercaya
Tanggung jawab pertama seorang mukallid adalah selektif dalam memilih ulama atau madzhab yang akan diikutinya. Kredibilitas ulama harus menjadi prioritas. Ulama yang patut diikuti adalah mereka yang:
- Memiliki sanad keilmuan yang jelas, terhubung dengan rantai keilmuan para ulama terdahulu.
- Dikenal dengan ketakwaan, wara' (kehati-hatian), dan integritas moralnya.
- Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang ilmu-ilmu syariah.
- Tidak dikenal dengan fatwa-fatwa yang kontroversial hanya untuk mencari sensasi atau popularitas.
- Mengajarkan ilmu dengan ikhlas, bukan untuk keuntungan pribadi atau politik.
Mengikuti ulama yang tidak jelas latar belakangnya, atau ulama 'dadakan' di media sosial, sangat berisiko bagi seorang mukallid. Pilihan madzhab juga sebaiknya mengikuti madzhab yang sudah mapan dan diakui oleh mayoritas ulama Ahlussunnah wal Jama'ah.
8.2. Meminta Penjelasan (Ittiba' dalam Batasan)
Meskipun seorang mukallid tidak dituntut untuk meneliti dalil hingga ke akarnya seperti mujtahid, ia sangat dianjurkan untuk meminta penjelasan tentang dalil atau alasan di balik suatu fatwa jika ia mampu memahaminya. Ini adalah bentuk `ittiba'` dalam batasannya. Dengan mengetahui dalil, pemahaman mukallid akan lebih mendalam, hatinya akan lebih mantap, dan ia terhindar dari taqlid buta.
Misalnya, jika seorang mukallid diberi tahu bahwa wudhu batal karena menyentuh wanita non-mahram, ia bisa bertanya, "Apa dalilnya?" Jika dijelaskan bahwa itu adalah pendapat madzhab Syafi'i berdasarkan ayat Al-Qur'an "aw lamastumun nisaa" (atau kamu telah menyentuh wanita), dan dia mengerti penafsiran tersebut, maka ini lebih baik daripada sekadar mengikuti tanpa tahu apa-apa.
8.3. Menghindari Fanatisme dan Menghormati Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf)
Mukallid harus menghindari sikap fanatik terhadap ulama atau madzhab yang diikutinya. Fanatisme berarti menganggap hanya pendapat gurunya atau madzhabnya yang benar, dan menyalahkan atau meremehkan pendapat ulama lain atau madzhab lain. Sikap ini bertentangan dengan semangat ukhuwah Islamiyah dan dapat memecah belah umat.
Seorang mukallid yang beretika akan menghormati perbedaan pendapat yang sah di antara ulama (ikhtilaf al-fuqaha'). Ia menyadari bahwa perbedaan itu muncul dari metodologi ijtihad yang berbeda dan tidak selalu berarti salah satu pihak pasti salah. Bahkan jika ia pribadi mengikuti satu madzhab, ia harus berlapang dada terhadap mereka yang mengikuti madzhab lain.
8.4. Berusaha Meningkatkan Ilmu
Meskipun seorang mukallid tidak wajib menjadi mujtahid, ia tetap memiliki tanggung jawab untuk terus meningkatkan ilmu agamanya sebatas kemampuannya. Ini bisa melalui membaca buku-buku agama yang dasar, mengikuti kajian-kajian ilmiah yang disampaikan oleh ulama terpercaya, atau menghafal Al-Qur'an dan hadis-hadis penting.
Dengan meningkatkan ilmunya, seorang mukallid akan semakin mampu memahami dasar-dasar agama, menghargai ijtihad ulama, dan semakin mantap dalam beramal. Ilmu adalah cahaya, dan setiap Muslim dituntut untuk selalu mencari cahaya tersebut.
8.5. Niat yang Ikhlas dan Tawadhu' (Rendah Hati)
Niat dalam bertaqlid haruslah ikhlas karena Allah SWT, semata-mata untuk menjalankan perintah-Nya dan menghindari dosa. Bukan karena ingin mencari kemudahan atau mengikuti hawa nafsu.
Sikap tawadhu' atau rendah hati juga sangat penting. Mukallid harus rendah hati mengakui keterbatasannya dalam ilmu dan tidak sombong mengklaim kemampuan ijtihad jika memang belum memilikinya. Ia juga harus tawadhu' di hadapan para ulama dan menghormati mereka sebagai pewaris para Nabi.
8.6. Tidak Taqlid dalam Akidah
Ini adalah poin krusial. Mayoritas ulama berpendapat bahwa dalam masalah akidah (tauhid, kenabian, hari kiamat, dll.), seorang Muslim tidak boleh bertaqlid buta. Ia harus meyakini kebenaran ajaran akidah dengan keyakinan yang mantap berdasarkan dalil-dalil akal dan naqli yang ia pahami sendiri, walaupun pemahaman dalil-dalil tersebut bisa dibantu dan dijelaskan oleh para ulama. Mengapa? Karena akidah adalah fondasi iman, dan keyakinan harus dibangun di atas pemahaman, bukan sekadar ikut-ikutan.
Dengan mengamalkan etika dan tanggung jawab ini, seorang mukallid dapat menjalankan kehidupannya sesuai syariah dengan penuh keyakinan, berkah, dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat Islam.
Kesimpulan: Keseimbangan Abadi antara Mukallid dan Mujtahid
Perjalanan kita memahami konsep mukallid, taqlid, dan ijtihad telah menunjukkan betapa kompleks namun harmonisnya struktur yurisprudensi Islam. Dari awal yang didominasi ijtihad para sahabat, hingga munculnya madzhab dan konsolidasi taqlid sebagai praktik mayoritas umat, setiap era memiliki dinamikanya sendiri. Namun, benang merah yang menghubungkan semua ini adalah upaya tiada henti untuk memahami dan mengamalkan ajaran Allah SWT dan Rasul-Nya dengan cara terbaik.
Mukallid bukanlah sekadar pengikut buta. Dalam konteks yang benar, seorang mukallid adalah individu yang cerdas, rendah hati, dan bertanggung jawab, yang menyadari keterbatasannya dan memilih untuk merujuk kepada otoritas keilmuan yang mumpuni. Mereka adalah tulang punggung yang menjaga stabilitas praktik keagamaan dan memelihara kelangsungan tradisi keilmuan Islam.
Sementara itu, ijtihad adalah jantung dinamis syariah, yang memastikan Islam tetap relevan dan mampu menjawab tantangan zaman. Para mujtahid, dengan segala kapasitas keilmuannya, adalah mata air yang terus mengalirkan pemahaman hukum yang segar dari sumber-sumber utama.
Keseimbangan antara mukallid dan mujtahid, antara taqlid yang terkontrol dan ijtihad yang bertanggung jawab, adalah kunci keharmonisan umat. Di era kontemporer yang penuh tantangan informasi, tugas kita bukan lagi memperdebatkan mana yang lebih unggul antara taqlid atau ijtihad secara ekstrem, melainkan bagaimana menumbuhkan mukallid yang bijak dan kritis, serta mujtahid yang berintegritas dan visioner.
Setiap Muslim, pada tingkatan kemampuannya, memiliki kewajiban untuk mencari ilmu. Bagi mukallid awam, mencari ilmu berarti aktif bertanya kepada ulama yang terpercaya, memahami dalil sebatas kemampuannya, dan menghindari taqlid buta yang mengarah pada fanatisme. Bagi mereka yang memiliki kapasitas lebih, ia harus terus berupaya mencapai tingkatan ittiba' atau bahkan ijtihad yang terbatas, demi kemaslahatan umat.
Pada akhirnya, tujuan semua upaya ini adalah satu: mencapai ridha Allah SWT dengan mengamalkan syariat-Nya secara benar dan membawa berkah bagi seluruh alam. Dengan pemahaman yang mendalam tentang peran masing-masing, umat Islam dapat bergerak maju dengan keyakinan, persatuan, dan keutuhan.