Memahami Hitungan Jawa Menurut Gus Baha

Dalam khazanah budaya Jawa, hitungan atau semacam semacam ramalan nasib dan kecocokan berdasarkan hari, pasaran, dan weton bukanlah hal yang asing. Tradisi ini telah mengakar kuat dan seringkali menjadi pertimbangan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari pernikahan, memilih waktu penting, hingga sekadar memahami karakter seseorang. Namun, dalam pandangan seorang ulama kharismatik seperti KH. Ahmad Bahauddin Nursalim, atau yang akrab disapa Gus Baha, ajaran mengenai hitungan Jawa ini disikapi dengan nuansa yang berbeda. Ia kerap mengingatkan agar segala sesuatu kembali pada kaidah agama dan tidak sampai menimbulkan syirik atau takhayul yang berlebihan.

Gus Baha, dengan gayanya yang khas, seringkali membedah ajaran agama dengan pendekatan yang lugas dan berbasis pada Al-Qur'an serta Hadis. Ketika membahas soal hitungan Jawa, Gus Baha tidak serta-merta menampiknya secara total. Ia memahami bahwa dalam tradisi yang hidup di masyarakat Jawa, ada elemen-elemen yang memang memiliki makna historis dan filosofis. Namun, ia menekankan pentingnya memahami akar dan batasan dari praktik semacam itu.

Ilustrasi kalender Jawa dengan penanda hari dan pasaran

Posisikan Takhayul dan Keyakinan Sejati

Salah satu poin penting yang sering diangkat Gus Baha adalah pembedaan antara keyakinan yang benar (tawhid) dengan keyakinan yang bersifat khayalan atau takhayul. Menurutnya, umat Islam diperintahkan untuk meyakini bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah SWT. Nasib seseorang, keberuntungan, kesialan, semuanya berada dalam genggaman-Nya. Terlalu mengagungkan atau bergantung pada hitungan Jawa hingga mengesampingkan peran Tuhan adalah sebuah kekeliruan besar.

"Maksudnya, ojo ojo sampe kowe ngandelke banget marang perkoro-perkoro sing mulo ora ana asale, nanging mung dadi angen-angen utowo khayalan. Kabeh iku kersane Gusti Allah." (Jangan sampai Anda terlalu percaya pada hal-hal yang sebenarnya tidak ada dasarnya, melainkan hanya menjadi angan-angan atau khayalan. Semua itu adalah kehendak Allah SWT.)

Gus Baha mengajak umat untuk menempatkan hitungan Jawa pada posisi yang tepat. Ia tidak melarang orang untuk mengetahuinya sebagai bagian dari budaya, namun melarang keras untuk menjadikannya sebagai satu-satunya penentu nasib atau dasar keyakinan. Jika seseorang merasa ada kecocokan antara hitungan Jawa dengan kenyataan hidup, maka hal itu bisa jadi adalah kebetulan atau wujud dari bagaimana kita menafsirkan pengalaman. Yang terpenting, keyakinan utama harus tertuju pada Allah SWT.

Weton dan Nilai-Nilai Moral

Meskipun Gus Baha mengingatkan agar tidak berlebihan dalam menginterpretasikan hitungan Jawa, ia juga seringkali mengaitkannya dengan nilai-nilai moral dan etika. Misalnya, banyak tradisi hitungan Jawa yang mencoba memberikan gambaran karakter seseorang berdasarkan wetonnya. Gus Baha mungkin akan melihat ini sebagai sebuah cara untuk introspeksi diri. Jika sebuah weton digambarkan memiliki sifat yang kurang baik, maka itu bisa menjadi pengingat untuk memperbaiki diri.

"Sakjane, nek dianggep ngono kuwi, iso wae dadi eling-eling dewe. Nek wetone apik, ojo sombong. Nek elek, ojo putus asa, tapi malah dadi semangat kanggo mbenerke tindak tanduk." (Sebenarnya, jika dianggap seperti itu, bisa saja menjadi pengingat diri. Jika wetonnya baik, jangan sombong. Jika jelek, jangan putus asa, tetapi justru menjadi semangat untuk memperbaiki perilaku.)

Pendekatan Gus Baha selalu berangkat dari ajaran Islam yang mendasar. Ia ingin umatnya memiliki pemahaman yang jernih tentang mana yang benar-benar berasal dari ajaran ilahi dan mana yang merupakan kearifan lokal atau bahkan kepercayaan yang keliru. Dalam konteks hitungan Jawa, Gus Baha mendorong untuk mengambil sisi positifnya sebagai bahan renungan dan evaluasi diri, namun tidak menjadikannya sebagai sumber kekuatan atau penentu takdir yang mutlak.

Doa dan Ikhtiar sebagai Kunci Utama

Gus Baha senantiasa menekankan pentingnya doa dan ikhtiar dalam menjalani kehidupan. Segala bentuk "hitungan" atau "prediksi" sebaiknya tidak mengurangi semangat kita untuk berusaha sebaik mungkin dan memohon pertolongan kepada Allah SWT. Dalam Islam, doa adalah senjata orang mukmin. Dengan berdoa, kita menguatkan hubungan kita dengan Sang Pencipta dan menyerahkan segala urusan kepada-Nya.

Menurut Gus Baha, mengandalkan hitungan Jawa secara berlebihan justru bisa melemahkan potensi diri. Ketika seseorang sudah merasa yakin dengan "hitungan" tertentu, ia bisa saja kehilangan semangat untuk berjuang, atau justru menjadi terlalu pasrah tanpa berusaha. Padahal, ajaran agama justru mendorong umatnya untuk terus berikhtiar dan bertawakal. Tawakal bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan berusaha semaksimal mungkin, lalu menyerahkan hasilnya kepada Allah SWT.

Intinya, pandangan Gus Baha mengenai hitungan Jawa dapat disimpulkan sebagai ajakan untuk kembali pada akar spiritualitas yang murni. Tradisi budaya boleh dihormati dan dipelajari, namun tidak boleh sampai mendangkalkan keyakinan pada Allah SWT. Dengan cara pandang yang jernih dan teguh pada ajaran agama, umat dapat menjalani kehidupan dengan lebih tenang, penuh harapan, dan selalu dalam lindungan-Nya.

🏠 Homepage