Tafsir An-Nisa Ayat 16-20: Keadilan dan Perlindungan dalam Islam

Surah An-Nisa, yang berarti "Perempuan", adalah salah satu surah terpanjang dalam Al-Qur'an. Ia secara luas membahas berbagai aspek hukum, sosial, dan etika, dengan penekanan khusus pada perlindungan dan hak-hak perempuan, serta pembentukan masyarakat yang adil dan harmonis. Ayat 16 hingga 20 dari surah ini memberikan panduan penting terkait penanganan kasus-kasus pelanggaran hukum, khususnya yang berkaitan dengan perbuatan keji dan ketidakadilan.

Ayat 16: Menangani Perbuatan Keji

وَٱلَّذَانِ يَأْتِيَـٰنِهَا مِنكُمْ فَـَٔاذُوهُمَا ۖ فَإِن تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا۟ عَنْهُمَا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ تَوَّابًا رَّحِيمًا

"Dan kedua orang yang melakukannya di antara kamu, maka berilah siksa kepada keduanya. Jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah keduanya. Sungguh, Allah Maha Penerima Taubat, Maha Penyayang."

Ayat ini berbicara tentang perbuatan keji, yang oleh para ulama diartikan sebagai perbuatan homoseksual atau lesbian. Allah memerintahkan agar orang yang melakukan perbuatan ini diberikan sanksi. Namun, ayat ini juga menekankan pentingnya aspek taubat dan perbaikan diri. Jika pelaku bertaubat dengan tulus dan berusaha memperbaiki perilakunya, maka umat Islam diperintahkan untuk tidak lagi mencela atau menghukum mereka, karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ayat 17: Taubat yang Diterima Allah

إِنَّمَا ٱلتَّوْبَةُ عَلَى ٱللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلسُّوٓءَ بِجَهَـٰلَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٍ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ يَتُوبُ ٱللَّهُ عَلَيْهِمْ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

"Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat orang-orang yang melakukan kejahatan karena kebodohan, kemudian mereka segera bertaubat, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."

Ayat ini memperjelas mengenai taubat yang diterima. Taubat yang sesungguhnya adalah taubat orang yang berbuat dosa karena ketidaktahuan, kealpaan, atau terperangkap dalam hawa nafsu sesaat, kemudian segera menyesali perbuatannya dan memohon ampunan kepada Allah. Penekanan pada kata "segera" menunjukkan urgensi dan kesungguhan dalam bertaubat. Allah mengetahui siapa yang benar-benar menyesal dan siapa yang hanya berpura-pura.

Ayat 18: Keadaan Orang yang Tidak Bertaubat

وَلَيْسَتِ ٱلتَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلسَّيِّـَٔاتِ ۚ حَتَّىٰٓ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ ٱلْمَوْتُ قَالَ إِنِّى تُبْتُ ٱلْـَٔـٰنَ وَلَا ٱلَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۚ أُو۟لَـٰٓئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

"Dan bukanlah taubat itu diterima dari orang-orang yang melakukan kejahatan (yang terus-menerus) hingga apabila datang ajal kepada seorang di antara mereka, lalu ia berkata, 'Sesungguhnya aku bertaubat sekarang,' dan taubatnya orang-orang yang mati dalam keadaan kafir. Mereka itulah yang Kami sediakan azab yang pedih."

Ayat ini menjelaskan bahwa taubat tidak akan diterima jika dilakukan menjelang ajal tiba, terutama jika selama hidupnya ia terus menerus berbuat dosa tanpa penyesalan. Taubat di detik-detik terakhir ketika sudah tidak ada harapan lagi untuk berbuat salah bukanlah taubat yang tulus. Begitu pula, orang yang meninggal dalam keadaan kafir tidak akan diterima taubatnya. Hal ini menegaskan bahwa taubat harus dilakukan selagi masih ada kesempatan dan kesadaran.

Ayat 19: Etika Perlakuan Terhadap Perempuan

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا۟ ٱلنِّسَآءَ كَرْهًا ۗ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا۟ بِبَعْضِ مَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّآ أَن يَأْتِينَ بِفَـٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

"Wahai orang-orang yang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali kalau mereka melakukan perbuatan zina yang jelas. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah, karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak."

Ayat ini sangat penting dalam menegakkan keadilan dan hak perempuan dalam pernikahan dan pewarisan. Dilarang keras memaksa perempuan untuk dinikahi atau menyusahkan mereka agar mau mengembalikan mahar yang telah diberikan. Jika ada ketidakcocokan atau ketidaksukaan dalam pernikahan, bukan berarti harus berujung pada kekerasan atau pemaksaan. Allah memerintahkan untuk tetap mempergauli istri dengan baik. Jika ada yang tidak disukai dari istri, disarankan untuk bersabar, karena di balik ketidaksukaan itu, mungkin tersembunyi kebaikan yang besar dari Allah.

Ayat 20: Hak-hak dalam Pernikahan dan Pemberian Mahar

وَإِنْ أَرَدتُّمُ ٱسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَءَاتَيْتُمْ إِحْدَىٰهُنَّ قِنطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا۟ مِنْهُ شَيْـًٔا ۗ أَتَأْخُذُونَهُۥ بُهْتَـٰنًا وَإِثْمًا مُّبِينًا

"Dan jika kamu berkehendak mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan cara berbohong dan berbuat dosa yang nyata?"

Ayat penutup dari rentetan ini menegaskan kembali hak-hak perempuan, khususnya terkait mahar. Jika seorang suami ingin mengganti istrinya dengan wanita lain, ia tidak diperbolehkan mengambil kembali mahar yang telah ia berikan, meskipun jumlahnya banyak. Mengambil kembali mahar setelah sah akad nikah dan diberikan kepada istri adalah bentuk kebohongan dan dosa yang terang. Hal ini menunjukkan betapa Islam sangat menghargai akad nikah dan hak-hak yang melekat padanya, termasuk mahar sebagai tanda penghargaan dan ikatan.

Secara keseluruhan, ayat 16-20 dari Surah An-Nisa memberikan fondasi moral dan hukum yang kuat bagi masyarakat. Mereka mengajarkan pentingnya keadilan, belas kasih, dan penegakan hukum yang proporsional, serta mengingatkan akan kemuliaan taubat dan keharusan bergaul dengan sesama, khususnya istri, dengan cara yang baik dan adil. Ketegasan dalam menghukum perbuatan dosa tidak lepas dari dorongan untuk bertaubat dan kesempatan untuk memperbaiki diri, serta penghargaan terhadap hak-hak individu dalam membangun hubungan yang harmonis.

🏠 Homepage