Angklung, alat musik tradisional Indonesia yang terbuat dari bambu, memiliki sejarah panjang dan perjalanan evolusi yang menarik. Berawal dari alat sederhana yang digunakan masyarakat Sunda di Jawa Barat untuk ritual kesuburan dan sebagai pengiring tari, kini angklung telah menjelma menjadi instrumen musik yang diakui dunia. Perkembangannya tidak hanya terbatas pada bentuk fisik dan teknik memainkan, tetapi juga dalam konteks sosial, budaya, dan apresiasi internasional.
Secara historis, angklung dipercaya berasal dari masyarakat Sunda. Fungsi awalnya sangat erat kaitannya dengan kehidupan agraris dan kepercayaan masyarakat saat itu. Konon, angklung dimainkan untuk memanggil Dewi Sri, dewi padi, agar memberikan kesuburan pada tanah dan hasil panen yang melimpah. Suara khasnya yang ritmis dan menggugah dipercaya memiliki kekuatan spiritual. Selain itu, angklung juga menjadi pengiring dalam upacara adat, perayaan panen, dan berbagai kegiatan sosial lainnya. Bentuknya pada masa awal sangat sederhana, hanya terdiri dari beberapa bilah bambu yang diikat pada bingkai kayu.
Perkembangan signifikan terjadi ketika angklung mulai mengalami transformasi dari sekadar alat musik ritual menjadi instrumen yang lebih kompleks. Konon, Bapak Daeng Soetigna, seorang tokoh pendidikan dari Kuningan, Jawa Barat, adalah salah satu pionir yang mengembangkan angklung pada pertengahan abad ke-20. Beliau memperkenalkan sistem nada diatonis pada angklung, yang sebelumnya menggunakan sistem pentatonis (lima nada). Inovasi ini memungkinkan angklung untuk memainkan berbagai macam lagu, baik lagu daerah maupun lagu-lagu modern.
Dengan penambahan bilah-bilah bambu dan penyesuaian teknik pembuatan, angklung diatonis ini mampu menghasilkan nada-nada yang lebih variatif dan harmonis. Perkembangan ini membuka pintu bagi angklung untuk bisa dimainkan secara orkestra, bukan hanya sebagai ansambel tradisional. Instrumen angklung pun kini hadir dalam berbagai ukuran, mulai dari angklung kecil hingga angklung besar yang menghasilkan nada-nada bas.
Inovasi Daeng Soetigna turut mendorong penggunaan angklung dalam dunia pendidikan. Angklung dianggap sebagai media yang efektif untuk mengenalkan musik kepada anak-anak, mengajarkan harmoni, ritme, dan kerja sama tim. Di sekolah-sekolah, angklung menjadi salah satu alat musik yang diajarkan, membantu siswa memahami dan melestarikan warisan budaya bangsa. Kelompok-kelompok angklung sekolah pun mulai bermunculan, menampilkan karya-karya yang inovatif.
Selain itu, angklung juga semakin sering ditampilkan dalam berbagai acara budaya, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Penampilannya tidak hanya sekadar memainkan lagu tradisional, tetapi juga menginterpretasikan berbagai genre musik, dari klasik hingga pop, bahkan musik jazz. Hal ini menunjukkan fleksibilitas dan daya tarik angklung yang universal.
Perkembangan angklung tidak berhenti sampai di sini. Angklung telah mendapatkan pengakuan internasional yang luar biasa. Pada tahun 2010, UNESCO secara resmi mengakui angklung sebagai Warisan Budaya Takbenda dari Indonesia. Pengakuan ini merupakan momentum penting yang semakin mempopulerkan angklung di kancah global.
Berbagai komunitas angklung internasional bermunculan di berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, dan Eropa. Mereka mempelajari, memainkan, bahkan menciptakan karya-karya baru dengan angklung. Festival angklung internasional kerap diselenggarakan, menjadi ajang pertukaran budaya dan apresiasi terhadap alat musik unik ini.
Masa depan angklung terlihat cerah. Dengan terus berkembangnya inovasi dalam teknik permainan, aransemen musik, dan teknologi pembuatan, angklung berpotensi semakin mendunia. Penting bagi kita untuk terus mendukung dan melestarikan angklung, memastikan bahwa warisan budaya ini terus hidup dan memberikan kontribusi positif bagi dunia musik dan budaya global. Perkembangan angklung adalah bukti nyata bahwa tradisi yang berakar kuat dapat beradaptasi dan berkembang menjadi sesuatu yang relevan serta dicintai di era modern.