Memahami Pesan Ilahi: An Nahl Ayat 72

Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, adalah sumber petunjuk utama yang kaya akan hikmah dan pelajaran hidup. Salah satu ayat yang seringkali menjadi perenungan mendalam adalah Surah An Nahl (Lebah) ayat ke-72. Ayat ini singkat namun padat, menyentuh aspek fundamental tentang kekuasaan Tuhan dan bagaimana manusia memandang anugerah-Nya.

Teks dan Terjemahan An Nahl Ayat 72

"Wallahu ja'ala lakum min anfusikum azwajan wa ja'ala lakum min azwajukum banina wa hafadata, wa razaqakum minath thayyibati, afa bil batili yu'minuna wa bi ni'matillahum yakfurun."

(Artinya: Dan Allah menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan, dan Dia menjadikan bagi kamu dari pasangan kamu itu anak anak dan cucu-cucu, dan Dia mengaruniakan kamu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapa mereka (orang-orang musyrik) beriman kepada kebatilan, dan tidak beriman kepada nikmat Allah?)

Konstruksi Keluarga: Anugerah Tersembunyi

Ayat 72 dari Surah An Nahl ini secara eksplisit menyoroti tiga nikmat besar yang seringkali dianggap remeh oleh manusia. Poin pertama adalah penetapan institusi pernikahan. Allah SWT menciptakan pasangan hidup (azwaj) dari jenis manusia itu sendiri. Ini adalah sebuah keajaiban desain Ilahi yang menjamin keberlangsungan jenis manusia, memberikan ketenangan (sakinah), dan menumbuhkan rasa kasih sayang dan cinta.

Keberlanjutan hubungan ini kemudian diperjelas dengan anugerah kedua: anak dan cucu (banina wa hafadata). Keluarga yang harmonis, yang dimulai dari pasangan suami istri, kemudian berkembang menjadi generasi penerus. Generasi ini adalah aset terbesar umat manusia, pembawa warisan ilmu, budaya, dan spiritualitas. Ayat ini menunjukkan bahwa sistem kekerabatan yang terstruktur ini adalah ciptaan dan tatanan yang ditetapkan langsung oleh Sang Pencipta.

Rezeki yang Baik dan Rasa Syukur

Nikmat ketiga yang ditekankan adalah rezeki yang baik-baik (thayyibati). Kata 'thayyib' tidak hanya merujuk pada kuantitas makanan atau harta, tetapi lebih menekankan pada kualitas—hal-hal yang halal, bersih, bermanfaat, dan membawa keberkahan. Dalam konteks ayat ini, rezeki tersebut mencakup makanan yang dikonsumsi oleh pasangan dan keturunan yang telah dianugerahkan.

Penyebutan nikmat-nikmat ini—pasangan, keturunan, dan rezeki—bukanlah sekadar daftar pencapaian biologis atau sosial. Tujuannya adalah untuk mengarahkan pikiran penerima pesan kepada sumber segala kebaikan tersebut: Allah SWT.

Pasangan Anak Anak Cucu Cucu Cucu Cucu Rezeki

Ilustrasi Simbolis: Tatanan Keluarga dan Pemberian Rezeki dari Yang Maha Kuasa.

Kontras: Iman kepada Kebatilan dan Kufur Nikmat

Setelah memaparkan sederet nikmat yang nyata—pasangan, keturunan, rezeki yang baik—ayat ini beralih ke pertanyaan retoris yang tajam: "Maka mengapa mereka (orang-orang musyrik) beriman kepada kebatilan, dan tidak beriman kepada nikmat Allah?"

Inilah inti permasalahan yang diangkat oleh An Nahl 72. Manusia seringkali terjerumus dalam kufur nikmat—ingkar terhadap pemberi nikmat. Mereka mengakui keberadaan berhala, takhayul, atau ideologi yang tidak memiliki dasar kebenaran (kebatilan), namun secara aktif melupakan atau mengingkari sumber utama dari semua kebaikan yang mereka nikmati.

Kebatilan dalam konteks ayat ini dapat berarti penyembahan berhala, mempercayai takhayul, atau menganggap bahwa kesuksesan datang dari usaha semata tanpa mengakui campur tangan dan izin Allah. Kontrasnya sangat mencolok: bagaimana mungkin seseorang bersedia menaruh keimanannya pada sesuatu yang tidak memberikan nafkah, tidak memberikan ketenangan dalam pernikahan, dan tidak menjamin masa depan, sementara ia sendiri menikmati hasil nyata dari kekuasaan Allah?

Implikasi Spiritual dan Sosial

Refleksi terhadap An Nahl 72 mendorong umat Islam untuk melakukan introspeksi mendalam. Pertama, menghargai institusi keluarga sebagai sarana ibadah dan rahmat. Kedua, menumbuhkan kesadaran bahwa rezeki, sekecil apapun, adalah pemberian yang harus disyukuri dengan lisan dan perbuatan (amal saleh).

Ketika seseorang menyadari bahwa pasangan hidupnya adalah rancangan Allah, anak-anaknya adalah titipan-Nya, dan makanan di mejanya adalah karunia-Nya, otomatis rasa syukur akan memuncak. Rasa syukur ini adalah benteng pertahanan terkuat melawan kesombongan dan pengingkaran. Ayat ini mengingatkan bahwa keimanan sejati terwujud ketika pengakuan hati sejalan dengan pengakuan lisan dan pembuktian tindakan, yaitu dengan hanya beriman kepada Al-Haqq (Kebenaran) dan bersyukur atas seluruh nikmat-Nya.

🏠 Homepage