Al-Qur'an dipenuhi dengan kisah-kisah umat terdahulu sebagai pelajaran berharga bagi generasi penerus. Salah satu ayat yang sangat tegas mengenai konsekuensi dari kekafiran dan pendurhakaan adalah Surat An-Nahl ayat 27. Ayat ini secara spesifik menceritakan nasib kaum yang berpaling dari tauhid dan lebih memilih untuk mengikuti kesesatan, yang pada puncaknya adalah penolakan terang-terangan terhadap seruan kenabian.
"Kemudian pada hari kiamat Allah SWT menghina mereka (orang-orang musyrik) seraya berfirman: 'Di mana (di manakah) sembahan-sembahan-Ku yang dahulu kamu selalu berselisih (mencari pembenaran atasnya)?' Orang-orang yang diberi ilmu berkata: 'Sesungguhnya kehinaan dan azab pada hari itu ditimpakan kepada orang-orang yang kafir.'"
Konteks Penegasan di Hari Kiamat
Ayat 27 dari Surat An-Nahl ini membawa kita pada momen penentuan, yaitu Hari Kiamat. Di dunia, kaum musyrik mungkin memiliki argumen, pembelaan, dan kesombongan dalam mempertahankan keyakinan mereka bahwa ada tuhan-tuhan selain Allah SWT yang patut disembah. Mereka menggunakan argumen hawa nafsu, tradisi, dan ketidakmauan untuk tunduk pada kebenaran yang dibawa oleh para rasul.
Namun, ketika Hari Perhitungan tiba, semua dalih dan pembelaan itu gugur tak berdaya. Allah SWT menegur mereka dengan sebuah pertanyaan retoris yang sangat menghinakan: "Di mana (di manakah) sembahan-sembahan-Ku yang dahulu kamu selalu berselisih (mencari pembenaran atasnya)?" Pertanyaan ini bukan karena Allah tidak tahu keberadaan mereka, melainkan untuk mempermalukan para penyembah berhala di hadapan seluruh makhluk. Sembahan-sembahan yang mereka bela mati-matian, yang mereka korbankan harta dan jiwa demi eksistensinya, kini lenyap dan tidak mampu memberikan pertolongan sedikit pun.
Peran Ilmu dan Kebenaran
Kontras yang tajam disajikan dalam ayat ini melalui respons dari kelompok yang diberi ilmu (yaitu para ulama atau orang-orang beriman yang teguh pada kebenaran). Mereka menjawab dengan tegas dan lugas, mengakhiri segala perdebatan sia-sia yang terjadi di dunia: "Sesungguhnya kehinaan dan azab pada hari itu ditimpakan kepada orang-orang yang kafir."
Ini menunjukkan pentingnya ilmu yang benar (ilmu yang bersumber dari wahyu) dalam membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Kaum yang berilmu, yang telah memahami hakikat tauhid, tidak terombang-ambing oleh godaan dan kesesatan. Mereka tahu betul bahwa status kehinaan dan azab adalah konsekuensi logis dari kekafiran dan penyimpangan terhadap Pencipta alam semesta.
Pelajaran Mobilitas dan Kehidupan Duniawi
Surat An-Nahl secara keseluruhan memberikan banyak pelajaran tentang kebesaran ciptaan Allah, termasuk tentang lebah dan tata kelola alam. Namun, ketika kita meninjau ayat 27 ini, kita diingatkan bahwa segala kemajuan duniawi, kekayaan, dan argumentasi filosofis yang menyimpang dari petunjuk ilahi akan menjadi sia-sia di akhirat.
Perjalanan hidup di dunia ini adalah ujian. Bagaimana kita menggunakan akal dan ilmu yang dianugerahkan? Apakah kita menggunakannya untuk merenungkan kebesaran Allah dan tunduk pada perintah-Nya, atau justru menggunakannya untuk membenarkan kesesatan dan menolak kebenaran yang jelas? Kaum musyrik, dalam konteks ayat ini, gagal menggunakan nikmat akal mereka dengan benar. Mereka memilih kesesatan demi kenyamanan atau tradisi, dan konsekuensinya ditanggung penuh saat mereka membutuhkan pertolongan yang paling genting.
Refleksi untuk Umat Muslim Saat Ini
An-Nahl ayat 27 menjadi peringatan keras agar kita tidak terperangkap dalam kesombongan intelektual atau pengikutan buta terhadap mayoritas yang menyimpang. Kehinaan yang dijanjikan bagi orang kafir adalah puncak dari kegagalan dalam mengenal dan mengesakan Allah. Ketika dunia menawarkan berbagai jalan yang tampak menarik namun menjauhkan dari petunjuk, ayat ini menegaskan bahwa hanya jalan yang diridhai Allah SWT yang akan menyelamatkan dari kehinaan abadi tersebut.
Oleh karena itu, kita harus senantiasa memohon kepada Allah agar dianugerahi ilmu yang bermanfaat, hati yang tunduk, dan kemampuan untuk selalu membedakan antara petunjuk Allah dan bisikan penyesat, agar kelak di hadapan-Nya, kita termasuk dalam golongan yang memperoleh kemuliaan, bukan kehinaan yang digambarkan dalam ayat yang mulia ini.