Ayat-ayat Al-Qur'an sering kali menyajikan dialog tajam antara wahyu ilahi dan praktik kesyirikan yang telah mengakar dalam masyarakat jahiliyah. Salah satu teguran keras namun mendidik tersebut terdapat dalam Surah An-Nahl ayat 35. Ayat ini secara lugas menyoroti kebodohan logika kaum musyrikin yang menyekutukan Allah SWT dengan perantara atau sesembahan lain yang sama sekali tidak memiliki kekuasaan untuk memberi manfaat atau menimpakan mudharat.
Ayat ini mengungkap alasan utama mengapa kaum musyrik kala itu memilih jalan kesyirikan. Mereka tidak mengklaim bahwa berhala atau tandingan itu setara dengan Allah. Justru, mereka mengakui superioritas Allah, namun berdalih bahwa penyembahan terhadap sesembahan lain tersebut hanyalah sebagai wasilah (perantara) agar lebih dekat kepada Allah (li yuqarribūna Allāha zulfā).
Alasan "agar mendekatkan kepada Allah" adalah salah satu benteng argumen terkuat yang dibangun oleh kaum penyembah berhala. Mereka merasa kurang layak atau jauh untuk langsung berkomunikasi dengan Tuhan Yang Maha Tinggi, sehingga membutuhkan perantara yang mereka anggap lebih dekat atau lebih memahami sifat-sifat Allah.
Namun, Islam melalui ayat ini membongkar logika tersebut. Dalam Tauhid (meng-Esakan Allah), konsep perantara dalam ibadah adalah sebuah kekeliruan fatal. Allah adalah Al-Hayyu (Yang Maha Hidup) dan Al-Qayyum (Yang Berdiri Sendiri). Dialah yang Maha Mendengar (As-Samī') dan Maha Mengetahui (Al-'Alīm).
Keterbatasan manusiawi yang memerlukan perantara tidak berlaku bagi hubungan seorang hamba dengan Penciptanya. Kerinduan untuk mendekat kepada Allah adalah panggilan yang murni, dan jalan untuk mendekat adalah dengan ketaatan langsung, bukan dengan menyembah makhluk lain. Mengalihkan ibadah kepada selain Allah, walau niatnya baik (ingin mendekat), sejatinya merupakan bentuk pengkhianatan terhadap hakikat ibadah itu sendiri.
Bagian akhir ayat ini memberikan peringatan keras: "Sungguh, Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan." Ini adalah penegasan tentang otoritas tunggal Allah dalam menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Perselisihan mengenai siapa yang berhak disembah—Allah semata atau perantara—akan berakhir pada hari keputusan di mana tidak ada lagi ruang untuk pembelaan.
Konsekuensi dari klaim dusta tersebut dilanjutkan dengan penekanan pada sifat orang-orang yang tetap mempertahankan kesyirikan ini:
Ayat An-Nahl 35 ini menjadi landasan kuat bagi umat Islam untuk memahami bahwa inti ajaran kenabian adalah memurnikan ibadah hanya kepada Allah. Upaya manusia untuk "mempermudah" jalan menuju Allah melalui penyembahan lain adalah jalan yang justru menjauhkan mereka dari rahmat dan petunjuk-Nya. Allah menegaskan bahwa Dia tidak akan memberikan hidayah kepada mereka yang mendustakan kebenaran (Tauhid) dan terus-menerus melakukan kekafiran.
Oleh karena itu, tafsir ayat ini mengajarkan kita untuk introspeksi: apakah dalam praktik keagamaan kita, masih tersisa sedikit pun bentuk pengalihan ibadah atau penyembahan kepada selain Allah, terlepas dari niat awal kita? Jalan kedekatan yang hakiki hanyalah melalui ketundukan total dan ikhlas hanya kepada Sang Pencipta.