Ilustrasi Ketenangan dan Keindahan Alam Gambar sederhana yang menampilkan pohon, sungai mengalir, dan matahari terbit, melambangkan rahmat dan ketenangan yang dirujuk dalam ayat.

Memahami An Nahl Ayat 120: Keutamaan Nabi Ibrahim AS

Al-Qur'an adalah sumber petunjuk bagi umat manusia, dan setiap ayatnya membawa pelajaran mendalam yang relevan sepanjang masa. Salah satu ayat yang sering menjadi renungan tentang konsistensi, kesyukuran, dan kedudukan para nabi adalah An Nahl ayat 120. Ayat ini secara spesifik menyoroti profil agung Nabi Ibrahim Alaihissalam (AS), seorang figur sentral dalam Islam, Yahudi, dan Kristen.

"Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam (panutan) yang patuh kepada Allah lagi hanif (cenderung kepada kebenaran); dan sekali-kali ia bukanlah termasuk orang-orang musyrik." (QS. An Nahl: 120)

Konteks Ayat dan Kedudukan Nabi Ibrahim

Surah An Nahl (Lebah) secara umum membahas berbagai nikmat Allah, kebesaran ciptaan-Nya, serta peringatan terhadap kesyirikan. Dalam konteks ini, ayat 120 muncul sebagai penutup bahasan mengenai tauhid dan peringatan keras terhadap penyimpangan akidah. Nabi Ibrahim AS disajikan sebagai teladan paripurna yang berhasil melewati segala ujian keimanan.

Ayat ini menekankan tiga kualitas utama yang menjadikan Ibrahim layak disebut "imam" atau panutan: patuh kepada Allah, hanif, dan bukan termasuk orang yang musyrik. Kualitas-kualitas ini bukan hanya sekadar pencapaian historis, melainkan sebuah cetak biru spiritual bagi setiap Muslim yang berjuang menegakkan kebenaran di tengah arus godaan duniawi.

Patuh Kepada Allah (Qanitan Lillah)

Frasa "patuh kepada Allah" (atau dalam beberapa terjemahan, 'taat sepenuhnya') menunjukkan tingkat dedikasi totalitas. Kepatuhan Nabi Ibrahim tidak bersifat parsial; ia tidak memilih-milih perintah mana yang akan diikuti. Mulai dari meninggalkan kaumnya, berpindah ke negeri asing, hingga kesiapan menyembelih putranya Ismail—semua perintah Allah dilaksanakannya tanpa keraguan sedikit pun. Kepatuhan ini adalah fondasi utama yang memisahkan para nabi dari manusia biasa. Bagi kita, ini mengajarkan bahwa ketaatan sejati menuntut pengorbanan dan penyerahan diri total atas kehendak Sang Pencipta.

Sifat Hanif: Mencari Kebenaran Murni

Kata kunci penting lainnya adalah hanif. Dalam tradisi Islam, hanif berarti seseorang yang cenderung lurus, menjauhi segala bentuk kesesatan, dan kembali kepada fitrah (kesucian asal) bertauhid. Sebelum kerasulan Nabi Muhammad SAW, Nabi Ibrahim dikenal sebagai seorang hanif; ia mencari kebenaran hakiki di tengah masyarakat penyembah berhala. Ia mempertanyakan bintang, bulan, dan matahari sebagai tuhan, lalu menolaknya ketika melihat sifat kefanaan mereka.

Sifat hanif ini merupakan penolakan aktif terhadap kemusyrikan dan ideologi yang menyimpang. Ini relevan di zaman modern ketika berbagai ideologi dan paham materialisme mencoba menggantikan posisi tunggal Allah dalam kehidupan manusia. Menjadi hanif berarti selalu membersihkan hati dari segala ilah selain Allah.

Jauh dari Lingkaran Kemusyrikan

Bagian terakhir ayat menegaskan, "dan sekali-kali ia bukanlah termasuk orang-orang musyrik." Penegasan ini memiliki beberapa dimensi. Pertama, ini adalah pujian langsung dari Allah SWT, menjamin status mulia Nabi Ibrahim. Kedua, ini memberikan pelajaran bahwa posisi spiritual tertinggi harus dijaga dengan kewaspadaan maksimal. Kemusyrikan adalah dosa terbesar, dan Nabi Ibrahim, meskipun telah mencapai derajat tinggi, tetap digambarkan sebagai sosok yang menjauhi bahkan bayang-bayang syirik.

Hal ini menjadi pengingat bagi umat Islam bahwa meskipun kita mengaku beriman, kita harus terus-menerus mengoreksi niat dan tindakan agar tidak terjatuh ke dalam bentuk syirik yang tersembunyi, seperti riya’ (ingin dipuji) dalam beribadah, atau meletakkan ketergantungan melebihi batas kepada makhluk ciptaan Allah.

Pelajaran Kekal dari An Nahl 120

Ayat 120 dari Surah An Nahl berfungsi sebagai kompas moral. Nabi Ibrahim adalah simbol dari kesempurnaan spiritual yang dicapai melalui perjuangan panjang melawan hawa nafsu dan lingkungan yang menyesatkan. Kehidupan beliau menunjukkan bahwa keteladanan sejati terletak pada konsistensi antara keyakinan hati (tauhid) dan manifestasi tindakan (kepatuhan).

Dalam meneladani beliau, fokus utama kita harus diletakkan pada pemurnian tauhid—memastikan bahwa setiap aspek hidup, dari ibadah ritual hingga urusan duniawi, diarahkan semata-mata untuk mencari keridhaan Allah. Dengan meneladani kepatuhan total dan kemurnian akidah seorang hanif seperti Nabi Ibrahim, kita berharap dapat mendekati kedudukan mulia yang digariskan dalam ayat ini. Inilah warisan abadi yang terkandung dalam sebaris firman Allah SWT.

🏠 Homepage