Kedudukan Ayat dalam Surah An-Nahl
Surah An-Nahl, yang berarti "Lebah", adalah surah ke-16 dalam Al-Qur'an. Surah ini dikenal kaya akan pembahasan tentang keesaan Allah (tauhid), kekuasaan-Nya yang termanifestasi dalam alam semesta, serta berbagai peringatan dan janji bagi umat manusia. Di tengah pembahasan mengenai nikmat dan tanda-tanda kebesaran Allah, terselip ayat penting yaitu An-Nahl ayat 124. Ayat ini seringkali menjadi titik fokus dalam kajian fikih dan akhlak, khususnya terkait dengan hukum dan keteladanan.
Ilustrasi konsep petunjuk dan ketetapan Ilahi.
Teks dan Terjemahan An-Nahl Ayat 124
Ayat ini sangat padat maknanya. Secara umum, ayat ini membahas tentang penetapan hari perayaan tertentu bagi umat Islam serta memberikan peringatan penting mengenai perilaku kaum musyrikin yang menyesatkan.
Teks aslinya berbicara mengenai penetapan hari Sabtu (Sabat) sebagai hari di mana terjadi perselisihan atau perbedaan pendapat di antara Bani Israil mengenai perlakuan terhadap hari itu, apakah boleh berburu atau tidak. Allah kemudian menetapkan hukum khusus terkait hari tersebut sebagai ujian dan penegasan.
Konteks Historis dan Hukum
Konteks utama ayat ini merujuk pada kisah Bani Israil yang diperintahkan untuk mengagungkan hari Sabat. Namun, sebagian dari mereka melanggarnya dengan cara mencari ikan pada hari itu, sementara sebagian lain menahan diri. Perselisihan ini menjadi ujian keimanan. Allah menegaskan ketetapan-Nya terkait hari tersebut sebagai hukuman bagi yang melanggar dan sebagai pembeda antara kelompok yang taat dan yang tidak taat.
Pelajaran Penting dari Ayat
Meskipun ayat ini secara spesifik membahas peristiwa historis Bani Israil, para ulama mengambil beberapa pelajaran universal darinya. Pertama, bahwa syariat Allah, meskipun tampak seperti pertentangan atau ketetapan yang sulit bagi sebagian orang, pada hakikatnya mengandung hikmah dan keadilan (kebijaksanaan dari Allah Yang Maha Mengetahui).
Kedua, ayat ini menjadi dasar hukum dalam Islam (fiqih) mengenai penetapan hari-hari besar dan ibadah yang memiliki waktu khusus. Meskipun Nabi Muhammad SAW kemudian mengganti penetapan hari raya mingguan dengan hari Jumat, prinsip bahwa penetapan ibadah adalah hak prerogatif Allah tetap berlaku. Allah menetapkan sesuatu bukan untuk menyulitkan, melainkan untuk menguji ketaatan dan menunjukkan kebenaran.
Hikmah di Balik Ketetapan
Penyebutan sifat Allah: Al-'Alīm (Maha Mengetahui) dan Al-Hakīm (Maha Bijaksana) di akhir ayat menegaskan bahwa setiap ketetapan ilahi, termasuk yang menimbulkan perbedaan pendapat di antara manusia, memiliki dasar ilmu dan kebijaksanaan yang paripurna. Dalam perspektif tauhid, ini mengajarkan umat Islam untuk tunduk pada otoritas penetapan syariat dari Allah, karena Dia melihat segala yang tersembunyi maupun yang tampak.
Bagi umat Nabi Muhammad SAW, ayat ini mengingatkan bahwa meskipun masa lalu umat terdahulu penuh dengan perselisihan akibat melanggar batas, umat Islam harus teguh pada pedoman yang diberikan melalui Al-Qur'an dan Sunnah. Ketidakpahaman atau ketidakmampuan manusia memahami hikmah di balik suatu perintah tidak boleh dijadikan alasan untuk menentang ketetapan tersebut, karena pengetahuan manusia terbatas, sedangkan pengetahuan Allah tidak terbatas.
An-Nahl 124 adalah pengingat akan otoritas Ilahi dalam menetapkan hukum ritual dan sosial. Ia menuntut kepatuhan, sambil menjamin bahwa kepatuhan tersebut selalu berlandaskan pada ilmu dan kebijaksanaan yang sempurna dari Sang Pencipta.