"Dan apabila Kami mengganti sesuatu ayat dengan ayat yang lain, dan Allah Maha Mengetahui apa yang Dia turunkan, mereka berkata: 'Sesungguhnya kamu hanyalah mengada-ada.' Bahkan kebanyakan mereka tidak mengetahui." (QS. An Nahl [16]: 101)
Ayat 101 dari Surah An Nahl (Lebah) ini menyoroti salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan risalah Allah: keraguan dan tuduhan dari orang-orang musyrik Mekah mengenai otentisitas wahyu yang diterima beliau. Ketika Allah menurunkan wahyu, terkadang wahyu tersebut menggantikan (nasakh) hukum atau pernyataan sebelumnya dengan yang baru. Perubahan ini, yang sepenuhnya berada dalam ranah hikmah dan pemeliharaan Ilahi, langsung dimanfaatkan oleh para penentang untuk menuduh Nabi Muhammad SAW sebagai pengarang atau pendusta Al-Qur'an.
Inti dari keberatan mereka terletak pada ketidakmampuan mereka untuk memahami proses pewahyuan yang dinamis dan terawasi. Mereka melihat pergantian ayat sebagai bukti inkonsistensi manusiawi, bukan sebagai bagian dari strategi pendidikan ilahi yang sempurna. Tuduhan bahwa Nabi "mengada-ada" adalah tuduhan paling serius yang diarahkan kepadanya, menafikan statusnya sebagai Rasulullah.
Respons ilahi yang disampaikan melalui ayat ini sangat tegas: "dan Allah Maha Mengetahui apa yang Dia turunkan." Penekanan ini berfungsi sebagai bantalan dan pembelaan bagi Nabi. Ini menegaskan bahwa setiap perubahan, penghapusan (naskh), atau penggantian ayat dilakukan dengan pengetahuan penuh oleh Sang Pencipta. Tidak ada unsur kebetulan, kelemahan, atau kepentingan pribadi di dalamnya.
Proses naskh (penggantian hukum) adalah sebuah mekanisme pendidikan yang vital dalam dakwah Islam pada periode awal. Misalnya, dalam masalah arah kiblat, perintah untuk berpuasa, atau ketentuan mengenai kadar mahar. Penggantian ini bertujuan untuk menyesuaikan beban syariat dengan kapasitas, kesiapan, dan kemaslahatan umat pada waktu yang berbeda, serta untuk menunjukkan secara bertahap kesempurnaan ajaran Islam. Bagi orang yang beriman, ini adalah bukti kesempurnaan pengaturan Ilahi. Bagi kaum musyrik, ini menjadi senjata untuk menimbulkan keraguan.
Ayat ini ditutup dengan sebuah diagnosis psikologis yang mendalam: "Bahkan kebanyakan mereka tidak mengetahui." Frasa "tidak mengetahui" di sini tidak hanya merujuk pada ketidaktahuan faktual, tetapi lebih kepada penolakan untuk menerima kebenaran yang jelas dan bukti-bukti yang terhampar di depan mata mereka. Mereka menolak memahami hikmah di balik perubahan wahyu karena hati mereka telah tertutup oleh kesombongan dan keengganan untuk tunduk pada otoritas kenabian.
Ketidaktahuan ini sering kali bersifat aktif—sebuah pilihan sadar untuk tetap berada dalam kebingungan demi mempertahankan status quo sosial dan agama mereka. Mereka tidak mau repot-repot meneliti bagaimana Al-Qur'an berbeda dari perkataan manusia biasa, atau mengapa seorang pria buta huruf seperti Muhammad (SAW) mampu menyampaikan wahyu yang begitu koheren dan berwibawa selama bertahun-tahun.
An Nahl 101 relevan hingga kini. Dalam setiap diskusi mengenai syariat atau tafsir, akan selalu muncul pihak-pihak yang mencoba mendistorsi atau menyederhanakan ajaran Islam dengan mengabaikan konteks historis pewahyuan (seperti naskh). Ayat ini mengajarkan kepada umat Islam untuk:
Dengan memahami An Nahl 101, seorang mukmin semakin kokoh dalam keyakinan bahwa Al-Qur'an adalah kalamullah yang otentik, yang diatur dengan presisi sempurna, yang bahkan pergantian ayatnya pun merupakan mukjizat dalam proses pendidikan umat menuju kesempurnaan akidah dan amal. Mereka yang menuduh Nabi Muhammad SAW mengarang adalah mereka yang hatinya telah terkunci dari cahaya petunjuk Ilahi.