Kumpulan Teks Anekdot: Kisah Kocak Si Bapak dan Ujian Sekolah

Ilustrasi Dua Orang Tertawa

Anekdot 1: Ujian Matematika dan Ayah yang Jujur

Suatu pagi di rumah Pak Budi, suasana terasa tegang. Jono, anaknya yang duduk di kelas 5 SD, baru saja pulang sekolah sambil memasang wajah muram. Di tangannya tergenggam selembar kertas ujian Matematika yang nilainya merah mencolok.

"Ayah, lihat ini," rengek Jono sambil melempar kertas ujian itu ke meja makan.

Pak Budi, yang sedang membaca koran, mengambil kertas itu. Matanya menyipit melihat angka 35 yang dilingkari guru dengan tinta merah.

"Astaga, Jon! Nilai 35? Bagaimana ini bisa terjadi? Kamu kan sudah Ayah bantu belajar setiap malam!" seru Pak Budi dengan nada kecewa.

Jono menunduk. "Maaf, Yah. Soalnya tadi susah sekali."

Pak Budi menghela napas panjang. Ia berpikir keras mencari cara mendidik anaknya tanpa memarahi secara berlebihan. Tiba-tiba, sebuah ide muncul.

"Baiklah, Nak. Ayah mengerti. Tapi ingat, kejujuran itu penting. Lain kali, kalau nilaimu jelek begini, jangan coba-coba menambahkan nilaimu sendiri di rumah ya!" ujar Pak Budi tegas.

Jono mendongak, matanya berbinar lega. "Tentu saja, Yah! Saya tidak akan pernah menambah nilai!"

"Bagus!" kata Pak Budi sambil menepuk pundak Jono. "Lalu, kenapa nilai Ayah lihat di kertasmu tertulis 35, padahal di lembar koreksi yang dikirim Ibu Guru tertulis 53?"

Jono sontak pucat pasi. "Eee... itu... itu nilai yang Ayah tambahkan, Yah!"

Anekdot 2: Dokter Gigi dan Ketakutan Pasien

Seorang pria bernama Udin datang ke praktik dokter gigi dengan wajah yang sangat tegang. Ia tampak sangat takut duduk di kursi perawatan. Dokter Gigi menenangkannya.

"Tenang saja, Pak Udin. Saya akan berusaha secepat mungkin. Apakah Bapak sudah sikat gigi pagi ini?" tanya Dokter Gigi ramah sambil menyiapkan alat bor.

Udin menggeleng lemah. "Belum, Dok."

Dokter Gigi itu terkejut. "Lho, kenapa belum sikat gigi? Padahal sebentar lagi kita akan mulai operasi gigi yang berlubang ini!"

Udin menatap Dokter Gigi dengan mata berkaca-kaca. "Begini, Dok. Saya ini kan takut sekali sama bau pasta gigi rasa mint. Kalau saya sikat gigi, nanti mulut saya bau mint, dan saya takut bau mint-nya menular ke mulut Dokter pas Dokter mendekat untuk mengobati gigi saya!"

Dokter Gigi terdiam sejenak, bingung harus merespons logika aneh tersebut.

"Pak Udin," kata Dokter Gigi perlahan, "Kalau begitu, saya punya solusi. Saya tidak akan mendekat lebih dari dua meter saat bekerja. Tapi, tolong pegang ini." Dokter itu menyerahkan sebuah kotak kecil.

Udin menerima kotak itu dengan hati-hati. "Ini apa, Dok?"

"Itu adalah obat bius. Jika rasa takut Bapak sudah tidak tertahankan, langsung saja suntikkan ke gusi Bapak sendiri. Tapi ingat, jangan sampai salah suntik ya."

Udin mengangguk patuh. Setelah Dokter Gigi menyalakan bor, Udin mulai gelisah. Tiba-tiba, ketika bor mulai berputar mendekati gerahamnya, Udin panik dan bukannya menyuntikkan obat bius ke gusi, ia malah menyuntikkan obat bius itu ke pipi Dokter Gigi yang sedang fokus bekerja!

Dokter Gigi terkejut karena separuh wajahnya mendadak mati rasa. Ia mundur sambil memegang pipinya. "Hei! Apa yang Bapak lakukan?!"

Udin menjawab dengan santai sambil tersenyum lebar, "Tenang saja, Dok! Saya hanya memastikan kalau bau mint-nya benar-benar tidak menular ke wajah Dokter!"

Anekdot 3: Guru dan Siswa yang Terlalu Literal

Di sebuah kelas, Bu Mira sedang mengajar tentang peribahasa. Ia ingin menguji pemahaman siswanya tentang makna kiasan.

"Anak-anak," kata Bu Mira, "Coba kalian jelaskan arti peribahasa: 'Air beriak tanda tak dalam'."

Sebagian besar siswa menjawab dengan benar bahwa artinya orang yang banyak bicara biasanya ilmunya sedikit. Namun, seorang siswa bernama Candra mengangkat tangan dengan sangat semangat.

"Ya, Candra, coba jelaskan!" pinta Bu Mira.

Candra berdiri dengan percaya diri. "Artinya begini, Bu Guru. Kalau di sungai, air yang banyak ombaknya atau riaknya itu biasanya airnya dangkal, karena dasar sungainya dekat dengan permukaan. Tapi kalau airnya tenang, biasanya itu air yang sangat dalam, makanya tidak ada riak yang terlihat sampai ke atas."

Bu Mira tersenyum, senang karena setidaknya Candra memahami logika fisika di balik peribahasa itu, meskipun ia belum menangkap makna kiasannya.

"Bagus, Candra. Logikanya benar. Sekarang, coba jelaskan peribahasa kedua: 'Bagai pungguk merindukan bulan'."

Candra berpikir sebentar, lalu menjawab dengan nada sedikit sedih. "Itu artinya, Bu Guru, pungguk itu adalah sejenis burung hantu, kan?"

"Betul," jawab Bu Mira.

"Nah, pungguk itu kan burung malam, Bu. Dia melihat bulan, dan tentu saja dia ingin meraih bulan. Tapi karena pungguk itu terbangnya tidak terlalu tinggi, dan bulan itu terlalu jauh di langit, jadilah dia merindukan bulan karena tidak akan pernah sampai. Kasihan sekali ya, Bu. Mungkin pungguk itu perlu dibelikan tangga yang sangat tinggi."

Seluruh kelas tertawa terbahak-bahak. Bu Mira mengusap keningnya. "Candra, maknanya adalah menginginkan sesuatu yang mustahil dicapai, bukan menyuruh pungguk membeli tangga!"

Candra terlihat kecewa. "Oh, begitu ya, Bu. Kalau begitu, peribahasa berikutnya tolong yang tentang makanan saja ya, Bu, biar lebih mudah dipahami!"

🏠 Homepage