Kurikulum Merdeka, dengan fokusnya pada diferensiasi, proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5), dan pembelajaran yang lebih berpusat pada murid, seringkali memunculkan dinamika baru di ruang kelas. Untuk memahami implementasinya secara lebih hidup, terkadang kisah-kisah ringan atau anekdot menjadi cara yang sangat efektif. Anekdot-anekdot ini tidak hanya menghibur tetapi juga menyoroti tantangan serta keberhasilan tak terduga dalam menerapkan filosofi merdeka ini.
Visualisasi Ide Fleksibel dalam Kurikulum
Salah satu inti dari Kurikulum Merdeka adalah Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Proyek ini seharusnya memberikan ruang bagi siswa untuk mengeksplorasi minatnya sambil mengasah dimensi profil pelajar Pancasila. Namun, dalam praktiknya, terkadang ada benturan antara idealisme dan waktu yang tersedia.
Seorang guru kelas enam memulai proyek P5 bertema kewirausahaan dengan ide ambisius: membuat bank sampah yang terintegrasi dengan aplikasi sederhana. Setelah dua minggu diskusi, anak-anak sepakat. Namun, saat tiba waktu implementasi, mayoritas siswa malah menghabiskan waktu mencari ide desain logo yang paling 'keren' dan warna-warna yang pas untuk kantong sampah, alih-alih menghitung potensi keuntungan atau membuat sistem penimbangan. Sang guru hanya bisa tersenyum melihat energi mereka tercurah pada estetika, menyadari bahwa aspek 'kreatif' memang menyala lebih terang daripada aspek 'analitis' pada tahap awal proyek mereka. Mereka akhirnya menyederhanakan sistem menjadi lebih manual, tetapi semangat eksplorasinya tetap terjaga.
Kisah di atas menunjukkan bahwa Kurikulum Merdeka membebaskan siswa untuk mengeksplorasi, walau terkadang jalan yang dipilih tidak selalu linear sesuai rencana awal guru. Fleksibilitas adalah kuncinya.
Diferensiasi konten, proses, maupun produk adalah tantangan besar bagi banyak pendidik. Bagaimana mengakomodasi kebutuhan belajar yang berbeda tanpa membuat guru harus menyiapkan tiga hingga empat jenis materi berbeda setiap jam pelajaran?
Dalam materi bangun ruang, Ibu Rina memutuskan menerapkan diferensiasi produk. Siswa A dan B, yang sangat cepat menangkap konsep, diminta membuat model 3D dari jaring-jaring bangun ruang dengan bahan yang menantang (misalnya, kayu balsa). Sementara itu, Siswa C dan D, yang masih kesulitan memahami konsep volume, diminta membuat komik strip yang menjelaskan langkah demi langkah cara menghitung luas permukaan balok, lengkap dengan ilustrasi visual yang membantu pemahaman mereka. Di akhir sesi, kelas terasa lebih tenang. Siswa yang cepat tidak merasa bosan menunggu, dan siswa yang membutuhkan dukungan merasa dihargai karena tugas mereka (membuat komik) juga penting dan membutuhkan kreativitas yang berbeda.
Anekdot ini menyoroti bahwa diferensiasi bukan tentang kesulitan tugas, tetapi tentang bagaimana cara terbaik agar setiap murid dapat mencapai tujuan pembelajaran. Jika komik membantu memahami konsep, maka itu adalah produk yang valid.
Beralihnya paradigma dari 'mengajarkan semua materi' menjadi 'memfasilitasi perkembangan murid' memerlukan refleksi mendalam dari guru. Kurikulum Merdeka sering dianggap menambah beban administratif, namun banyak guru mulai menemukan momen-momen pencerahan.
Dua guru Fisika dari sekolah berbeda bertemu dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) untuk membahas modul ajar. Guru pertama mengeluh betapa repotnya harus membuat modul ajar yang sangat detail untuk setiap topik. Guru kedua menjawab dengan santai, "Saya awalnya juga begitu. Tapi setelah saya ingat bahwa Kurikulum Merdeka adalah tentang saya yang menjadi fasilitator, bukan hanya penyampai materi, saya coba anggap modul ajar itu sebagai 'peta awal' saya, bukan 'kitab suci'. Jika anak-anak bisa menemukan sendiri 80% jawabannya lewat diskusi, tugas saya tinggal membuat peta itu semenarik mungkin, bukan mendikte setiap langkah di peta tersebut." Pendekatan ini mengubah pandangan keduanya tentang administrasi guru.
Inti dari Kurikulum Merdeka, sebagaimana terlukis dalam anekdot-anekdot ini, adalah keberanian untuk mencoba, menerima ketidaksempurnaan di awal, dan memprioritaskan kedalaman pemahaman serta pengembangan karakter di atas sekadar ketercapaian materi yang padat. Kisah-kisah ringan ini adalah bukti bahwa inovasi pendidikan seringkali dimulai dari perubahan kecil dalam pola pikir pendidik di lapangan.