Di tengah riuh rendahnya laju modernisasi, terselip warisan budaya Nusantara yang kaya akan keindahan dan makna, salah satunya adalah angklung. Alat musik tradisional yang terbuat dari bambu ini bukan sekadar bunyi-bunyian semata, melainkan sebuah simfoni harmonis yang merefleksikan kebersamaan, kreativitas, dan kearifan lokal. Angklung, dengan segala kesederhanaan bahan bakunya, mampu menghasilkan melodi yang memukau, mengalunkan cerita dari tanah Sunda, Jawa Barat, tempat ia dilahirkan.
Sejarah mencatat bahwa angklung telah ada di Nusantara sejak zaman Kerajaan Sunda, bahkan jauh sebelum itu. Tradisi lisan menyebutkan angklung digunakan sebagai alat pemanggil roh nenek moyang dalam ritual kesuburan dan upacara adat. Namun, seiring waktu, fungsinya berkembang menjadi pengiring berbagai kegiatan, mulai dari penambah semangat para petani saat bercocok tanam hingga menjadi hiburan dalam acara keagamaan dan kemasyarakatan.
Lebih dari sekadar alat musik, angklung membawa filosofi yang mendalam. Bambu yang digunakan dipilih dengan cermat, melambangkan kekuatan, kelenturan, dan kemampuan untuk tumbuh tinggi menjulang. Cara memainkannya pun membutuhkan kerja sama tim. Setiap bilah angklung menghasilkan satu nada tertentu. Untuk menciptakan sebuah melodi, dibutuhkan banyak angklung yang dimainkan serentak oleh beberapa orang. Inilah esensi dari kebersamaan – bahwa setiap individu memiliki peran penting, dan ketika bersatu, mereka mampu menciptakan sesuatu yang indah dan utuh. Angklung mengajarkan nilai gotong royong, saling pengertian, dan harmoni dalam perbedaan.
Keunikan angklung terletak pada cara kerjanya. Alat musik ini terdiri dari dua hingga empat bilah bambu dengan ukuran berbeda, yang dirangkai vertikal pada sebuah bingkai. Bagian bawah setiap bilah bambu dipotong sedemikian rupa, sehingga ketika diguncang, bilah tersebut akan berbenturan dengan tabung resonansi di bawahnya dan menghasilkan bunyi. Yang menarik, setiap pasang bilah bambu menghasilkan dua nada yang berbeda, namun selalu berjarak satu oktaf.
Untuk memainkan angklung, pemain harus mengguncangnya (meng-angklung-kan) dengan gerakan tangan tertentu. Ada dua cara utama memainkan angklung:
Untuk memainkan sebuah lagu, diperlukan lebih dari satu angklung dengan nada yang berbeda-beda. Pemain yang berbeda akan memegang angklung dengan nada yang berbeda pula, lalu secara harmonis mengguncangnya sesuai dengan partitur lagu. Orkestra angklung bisa terdiri dari puluhan hingga ratusan pemain, menciptakan suara yang megah dan memukau.
Meskipun berusia ratusan tahun, angklung tidak lantas tenggelam oleh zaman. Sebaliknya, alat musik ini terus beradaptasi dan berkembang. Melalui tangan-tangan kreatif para seniman dan budayawan, angklung kini mampu memainkan berbagai genre musik, mulai dari lagu daerah, lagu nasional, hingga musik pop dan klasik. Festival angklung sering diadakan, baik di tingkat lokal maupun internasional, menunjukkan daya tarik universal dari alat musik unik ini.
Upaya pelestarian angklung terus digalakkan. Berbagai sekolah, komunitas, dan organisasi aktif mengajarkan cara bermain angklung kepada generasi muda. Pengakuan UNESCO yang menetapkan angklung sebagai Warisan Budaya Takbenda Manusia pada tahun 2010 menjadi momentum penting dalam upaya memperkenalkan dan melestarikan alat musik ini ke kancah global. Angklung bukan hanya alat musik, tetapi juga duta budaya Indonesia yang mampu menyatukan perbedaan dan membawa keharmonisan melalui getaran nada bambunya.