Dalam lautan ajaran Islam, setiap ayat Al-Qur'an memiliki kedalaman makna yang tak terhingga, menawarkan petunjuk dan rahmat bagi umat manusia. Salah satu ayat yang memiliki nuansa spiritual dan etis yang kuat adalah Surat An Nisa ayat 125. Ayat ini bukan sekadar bacaan rutin, melainkan sebuah komitmen mendalam yang membimbing cara hidup seorang Muslim dalam hubungannya dengan Sang Pencipta dan sesama. Dengan pemahaman yang benar, ayat ini menjadi mercusuar yang menerangi jalan lurus menuju keridhaan Allah SWT.
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۗ وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا
"Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang tulus menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang ia berbuat kebaikan, lagi pula mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim sebagai kesayangan-Nya."
Ayat ini mengajak kita untuk merefleksikan sejauh mana keikhlasan dan kesungguhan kita dalam beragama. Pertanyaan retoris yang diajukan di awal ayat, "Dan siapakah yang lebih baik agamanya...", secara implisit menegaskan bahwa ada standar kebaikan dalam beragama yang harus kita capai. Standar ini tidak terletak pada ritual semata, melainkan pada pondasi spiritual yang kokoh dan tindakan nyata yang mencerminkan keimanan tersebut.
Penyerahan Diri Sepenuhnya kepada Allah
Frasa kunci pertama yang perlu kita gali adalah "mengenaskan dirinya kepada Allah" (أسلم وجهه لله). Ini bukan sekadar ungkapan lisan, melainkan sebuah kesungguhan hati yang bulat untuk tunduk dan patuh sepenuhnya pada segala perintah dan larangan-Nya. Wajah (وجه) dalam konteks ini melambangkan seluruh diri, seluruh aspek kehidupan. Ketika seseorang "menyerahkan wajahnya kepada Allah", artinya seluruh eksistensinya, pikiran, perkataan, perbuatan, bahkan niatnya, diarahkan semata-mata untuk mencari ridha Allah. Tidak ada keraguan, tidak ada kemusyrikan, tidak ada penyelewengan dari jalan yang telah ditetapkan. Ini adalah puncak dari tauhid, keyakinan akan keesaan Allah yang melahirkan kepasrahan total.
Pentingnya Berbuat Kebaikan (Ihsan)
Syarat kedua yang tidak kalah penting adalah "sedang ia berbuat kebaikan" (وهو محسن). Keikhlasan dalam beragama harus tercermin dalam tindakan nyata yang baik. Kebaikan di sini mencakup dua aspek utama:
Kehadiran kata "muhsin" (berbuat kebaikan) setelah penyerahan diri menunjukkan bahwa keimanan yang sempurna tidak akan lengkap tanpa diiringi dengan amal saleh. Sebaliknya, amal saleh yang dilakukan tanpa didasari keikhlasan kepada Allah tidak akan memiliki nilai di sisi-Nya. Keduanya saling melengkapi, bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
Mengikuti Agama Ibrahim (Millah Ibrahim)
Ayat ini juga mengingatkan kita untuk "mengikuti agama Ibrahim yang lurus" (واتبع ملة إبراهيم حنيفا). Nabi Ibrahim AS adalah teladan utama dalam tauhid dan keteguhan iman. "Millah Ibrahim" merujuk pada ajaran dasar yang dibawa oleh para nabi, yaitu ketauhidan murni, penyerahan diri kepada Allah, dan berlepas diri dari segala bentuk penyembahan selain-Nya. Kata "hanifa" (lurus) menekankan bahwa ajaran ini adalah jalan yang lurus, tidak bengkok, tidak menyimpang, dan tidak bercampur dengan kesyirikan. Mengikuti millah Ibrahim berarti kembali kepada akar ajaran agama, yaitu Islam yang dibawa oleh seluruh nabi dan rasul, yang puncaknya adalah syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Keistimewaan Nabi Ibrahim AS
Penutup ayat, "Dan Allah mengambil Ibrahim sebagai kesayangan-Nya" (واتخذ الله إبراهيم خليلا), menegaskan betapa istimewanya kedudukan Nabi Ibrahim AS di sisi Allah. Gelar "Khalilullah" (kesayangan Allah) adalah sebuah kehormatan yang luar biasa, yang menunjukkan kedekatan dan kecintaan Allah kepadanya karena keteguhan imannya, pengorbanannya, dan kesempurnaan penyerahan dirinya. Ini menjadi motivasi tambahan bagi kita untuk meneladani akhlak dan perjuangan beliau.
Secara keseluruhan, Surat An Nisa ayat 125 memberikan panduan komprehensif tentang bagaimana seharusnya seorang Muslim menjalankan agamanya. Ini adalah ajakan untuk terus-menerus mengintrospeksi diri, memastikan bahwa penyerahan diri kita kepada Allah adalah tulus, tindakan kebaikan kita konsisten, dan kita senantiasa berpegang teguh pada ajaran tauhid yang lurus, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrahim Al-Masih. Dengan memahami dan mengamalkan makna ayat ini, insya Allah, kita akan mendapatkan predikat sebagai orang yang memiliki agama terbaik di sisi Allah SWT.