Dalam ajaran Islam, keluarga merupakan pondasi utama masyarakat. Keharmonisan dan keadilan dalam lingkungan keluarga menjadi prioritas yang sangat ditekankan. Salah satu ayat Al-Qur'an yang secara gamblang menjelaskan aspek ini adalah Surat An Nisa ayat 128. Ayat ini memberikan panduan penting mengenai bagaimana individu seharusnya bersikap, terutama ketika menghadapi situasi yang kompleks dalam hubungan keluarga, seperti ketika terdapat perbedaan dalam kemampuan ekonomi atau kedudukan.
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰىٓ اَلَّا تَعُوْلُوْۙ
"Dan jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), kawinilah perempuan (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak (perempuan) yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat aniaya."
Ayat 128 dari Surat An Nisa ini seringkali dikaitkan dengan masalah pernikahan, khususnya ketika seorang pria memiliki lebih dari satu istri. Namun, konteksnya jauh lebih luas dan mencakup prinsip keadilan yang universal dalam interaksi antarmanusia, terutama dalam lingkup keluarga. Ayat ini dimulai dengan peringatan dan pedoman ketika berhadapan dengan hak-hak perempuan yatim. Dalam konteks sosial pada masa turunnya ayat, seringkali terjadi pengawinan terhadap anak yatim perempuan yang hartanya dikelola oleh walinya. Kekhawatiran yang diungkapkan adalah ketidakmampuan wali untuk berlaku adil dalam urusan harta dan perkawinan mereka.
Kemudian, ayat ini memberikan solusi berupa bolehnya menikahi perempuan lain dengan batasan dua, tiga, atau empat. Namun, kemudahan ini tidak datang tanpa syarat. Syarat utamanya adalah kemampuan untuk berlaku adil. Adil di sini mencakup berbagai aspek: keadilan dalam nafkah, giliran bermalam, perlakuan lahir batin, dan menjaga hak-hak masing-masing istri. Keadilan ini bukanlah kesamaan yang mutlak dalam segala hal, karena kemampuan manusia terbatas, melainkan keadilan dalam batasan yang diwajibkan oleh syariat.
Pokok bahasan utama dari ayat ini adalah penegasan akan pentingnya keadilan. Islam sangat menjunjung tinggi prinsip keadilan dalam segala aspek kehidupan. Dalam konteks pernikahan poligami, keadilan menjadi ujian yang sangat berat. Jika seorang pria merasa dirinya tidak mampu untuk menegakkan keadilan yang disyaratkan, maka konsekuensinya adalah ia dianjurkan untuk tidak melebihi dari satu istri. Solusi yang ditawarkan adalah mencukupkan diri dengan satu istri saja, atau jika dalam kondisi tertentu (yang maknanya bisa luas, namun secara umum merujuk pada hubungan sah yang tidak menimbulkan masalah keadilan), maka dapat menggauli budak perempuan yang dimiliki. Pilihan ini dianggap sebagai cara yang paling mendekati agar tidak berbuat aniaya atau melampaui batas.
Penting untuk dicatat bahwa ayat ini tidak mendorong atau mempromosikan poligami secara sembarangan. Sebaliknya, ayat ini memberikan batasan dan peringatan keras bagi siapa saja yang ingin menjalankan poligami. Penekanan pada "jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil" menjadi filter utama. Konsekuensi dari ketidakadilan dalam rumah tangga, terutama dalam pernikahan poligami, dapat sangat merusak, menimbulkan kecemburuan, perselisihan, dan ketidakbahagiaan bagi semua pihak, termasuk anak-anak.
Meskipun konteks sosialnya berbeda, prinsip keadilan yang diajarkan dalam Surat An Nisa ayat 128 tetap relevan hingga kini. Dalam hubungan modern, keadilan tidak hanya terbatas pada aspek pernikahan, tetapi juga merujuk pada perlakuan yang setara dan adil dalam keluarga, tempat kerja, dan masyarakat. Dalam konteks keluarga, keadilan dapat diwujudkan dalam pembagian tugas rumah tangga, perhatian kepada anak-anak, dan saling menghargai antara suami dan istri.
Bagi mereka yang mempertimbangkan untuk memiliki lebih dari satu pasangan dalam bingkai pernikahan yang sah, ayat ini berfungsi sebagai pengingat yang sangat penting. Ini adalah panggilan untuk introspeksi mendalam mengenai kemampuan diri, sumber daya, dan komitmen untuk menegakkan keadilan. Jika keraguan itu ada, maka pilihan untuk tidak melakukannya dan memilih kesetiaan pada satu pasangan adalah jalan yang lebih bijaksana dan aman dari potensi aniaya.
Surat An Nisa ayat 128 mengajak kita untuk senantiasa mengedepankan prinsip keadilan dan kasih sayang dalam setiap interaksi, terutama dalam lingkungan keluarga. Dengan memahami dan mengamalkan nilai-nilai ini, kita dapat membangun hubungan yang lebih kokoh, harmonis, dan penuh berkah. Keadilan bukanlah beban, melainkan sarana untuk mencapai kebahagiaan hakiki dan menghindari keretakan.
Ayat ini mengingatkan bahwa keadilan adalah syarat mutlak dalam setiap hubungan yang melibatkan lebih dari satu pihak, dan jika keadilan tidak dapat ditegakkan, maka kesederhanaan adalah pilihan terbaik.