Simbol keadilan dan pengelolaan harta.
Surah An Nisa, yang berarti "Wanita", merupakan salah satu surah terpanjang dalam Al-Qur'an dan banyak membahas tentang hukum keluarga, hak-hak perempuan, serta tanggung jawab sosial dalam masyarakat Islam. Di antara ayat-ayatnya yang kaya makna, terdapat Surah An Nisa ayat 10 yang memiliki kedudukan penting dalam mengatur perlakuan terhadap harta anak yatim. Ayat ini menegaskan prinsip keadilan ilahi yang harus dijunjung tinggi oleh umat manusia, khususnya dalam menjaga hak-hak mereka yang paling rentan.
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَٰلَ ٱلْيَتَٰمَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِى بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka menelan api di dalam perut mereka dan akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)."
Ayat ini memberikan peringatan yang sangat tegas dan gamblang mengenai bahaya memakan atau menggunakan harta anak yatim secara tidak benar. Kata "memakan harta anak yatim" dalam konteks ini tidak hanya berarti secara fisik mengonsumsi harta tersebut, tetapi mencakup segala bentuk penyalahgunaan, penggelapan, pencurian, atau penggunaan yang tidak semestinya atas harta yang seharusnya menjadi hak mereka.
Istilah "zalim" yang disematkan pada tindakan tersebut menekankan bahwa perbuatan ini adalah pelanggaran berat terhadap keadilan dan hak asasi manusia. Anak yatim adalah individu yang kehilangan orang tua, seringkali mereka berada dalam kondisi rentan dan membutuhkan perlindungan serta penjagaan atas harta warisan atau harta yang ditinggalkan orang tua mereka.
Perumpamaan bahwa mereka "menelan api di dalam perut mereka" adalah metafora yang sangat kuat. Ini menggambarkan konsekuensi mengerikan yang akan dihadapi oleh para pelaku, baik di dunia maupun di akhirat. Api yang menyala-nyala melambangkan siksaan pedih yang akan mereka rasakan sebagai balasan atas ketidakadilan yang mereka lakukan. Ini adalah ancaman langsung dari Allah SWT agar setiap Muslim menjauhi perbuatan tercela ini.
Selain peringatan, Surah An Nisa ayat 10 juga secara implisit menanamkan rasa tanggung jawab yang besar kepada umat Islam untuk melindungi dan mengelola harta anak yatim dengan amanah. Dalam tradisi Islam, orang yang dipercaya untuk menjaga anak yatim dan hartanya memiliki tugas mulia untuk memastikan bahwa harta tersebut dikelola demi kemaslahatan anak yatim itu sendiri. Ini termasuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, menyekolahkan mereka, dan memastikan harta mereka bertambah atau setidaknya tidak berkurang kecuali untuk keperluan yang sah.
Tanggung jawab ini seringkali dibebankan kepada kerabat dekat, wali, atau lembaga yang ditunjuk oleh syariat. Kepercayaan ini menuntut integritas, kejujuran, dan kehati-hatian yang luar biasa. Allah SWT menyuruh kita untuk menguji anak yatim sampai mereka mencapai usia dewasa. Ketika mereka sudah dapat mengurus harta sendiri, maka serahkanlah harta mereka kepada mereka. Allah SWT berfirman dalam ayat selanjutnya (An Nisa ayat 6):
"Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah; kemudian jika menurutmu mereka sudah cerdas (dewasa), serahkanlah kepada mereka harta mereka, dan janganlah kamu memakannya hartanya melebihi batas sepatutnya dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (memakannya) sebelum mereka dewasa. Dan barangsiapa (di antara penjaga itu) cukup kaya, maka hendaknya ia menjaga diri (dari memakannya), dan barangsiapa miskin, hendaklah ia memakannya secara patut. Apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi (atas penyerahan itu), dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (perhitungan)."
Ayat ini menunjukkan bagaimana Islam sangat memperhatikan detail dalam perlindungan hak-hak anak yatim, mulai dari pengelolaan harta hingga penyerahannya kembali ketika mereka sudah mampu.
Surah An Nisa ayat 10 mengajarkan kita bahwa keadilan bukan hanya sekadar konsep abstrak, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata, terutama terhadap pihak yang lemah dan rentan. Pengelolaan harta anak yatim adalah salah satu ujian terbesar bagi keimanan dan moralitas seseorang. Keberhasilan dalam menjalankan amanah ini akan mendatangkan keberkahan dan keridhaan Allah SWT. Sebaliknya, kegagalan akan berujung pada murka-Nya.
Dalam konteks modern, ayat ini relevan bagi siapapun yang mengelola dana atau aset yang bukan miliknya, terutama jika berkaitan dengan anak-anak yang memerlukan perlindungan. Penjaga harta anak yatim harus bertindak dengan penuh integritas, mencatat setiap transaksi, dan selalu berusaha untuk mengembangkan harta tersebut demi masa depan anak yatim. Memisahkan harta pribadi dengan harta anak yatim adalah suatu keharusan mutlak.
Selain itu, ayat ini juga mengingatkan kita untuk senantiasa bersyukur atas rezeki yang Allah berikan dan tidak tergoda untuk mengambil hak orang lain, sekecil apapun itu. Kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama, terutama anak yatim, adalah cerminan kesempurnaan iman dan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Dengan memahami dan mengamalkan kandungan Surah An Nisa ayat 10, diharapkan setiap Muslim dapat menjadi pribadi yang adil, amanah, dan bertanggung jawab, serta berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang peduli terhadap kaum dhuafa dan anak yatim.