Sejarah administrasi wilayah Indonesia adalah sebuah narasi yang dinamis, ditandai dengan berbagai perubahan struktural yang signifikan. Salah satu periode yang paling menarik untuk ditelaah adalah masa sebelum era reformasi, yaitu sebelum tahun 1998. Periode ini mencakup masa Orde Baru dan beberapa tahun setelahnya, di mana peta provinsi Indonesia masih memiliki konfigurasi yang sangat berbeda dibandingkan dengan kondisi saat ini.
Pembagian wilayah administratif di Indonesia tidak pernah statis. Sejak kemerdekaan, pemerintah pusat telah melakukan berbagai penyesuaian berdasarkan pertimbangan demografi, geografis, potensi sumber daya, serta kebutuhan pembangunan dan keamanan. Namun, laju pemekaran provinsi yang masif baru benar-benar terasa intensif setelah era reformasi dimulai.
Oleh karena itu, ketika kita membahas jumlah provinsi di Indonesia sebelum era reformasi, kita merujuk pada struktur yang terbentuk selama Orde Baru. Pada masa itu, pertimbangan utama dalam pembentukan provinsi cenderung lebih terkonsentrasi pada efektivitas pemerintahan pusat dalam mengelola wilayah yang luas, dibandingkan dengan desentralisasi otonomi daerah secara penuh seperti yang diamanatkan oleh undang-undang pasca-reformasi.
Sebelum gelombang pemekaran besar-besaran yang mengubah lanskap politik teritorial Indonesia, jumlah provinsi relatif stabil dalam rentang waktu yang cukup panjang. Pada akhir masa Orde Baru, misalnya, Indonesia umumnya dikenal memiliki sekitar 27 provinsi. Angka ini merupakan hasil dari serangkaian proses pembentukan dan penggabungan kembali sejak masa awal kemerdekaan.
Sebagai perbandingan historis singkat, beberapa provinsi yang kini berdiri sendiri dulunya merupakan bagian dari wilayah administrasi yang lebih besar. Contohnya, Timor Timur (yang kini terpisah) masih dihitung sebagai provinsi ke-27 pada periode tertentu sebelum pemekaran lainnya terjadi menjelang transisi kekuasaan.
Penambahan provinsi di era sebelum reformasi seringkali bersifat strategis. Misalnya, pemekaran terjadi untuk mengatasi masalah jarak dan komunikasi antara ibukota provinsi dengan wilayah terpencil yang memiliki populasi signifikan dan potensi konflik atau kebutuhan pembangunan mendesak. Namun, volume pemekaran ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan periode pasca-1998, di mana terjadi desentralisasi radikal yang memunculkan lebih dari selusin provinsi baru dalam waktu yang relatif singkat.
Struktur 27 provinsi tersebut mencerminkan fokus pemerintahan yang lebih sentralistik. Meskipun sudah ada semangat otonomi daerah, implementasinya belum sekuat paradigma yang berkembang setelah amendemen UUD 1945. Keputusan-keputusan besar mengenai pembangunan infrastruktur, alokasi anggaran, dan kebijakan publik lebih banyak ditentukan di tingkat pusat.
Kondisi ini menciptakan tantangan tersendiri. Pulau-pulau besar seperti Papua atau Kalimantan, yang bentang alamnya sangat luas, harus dikelola dalam kerangka provinsi yang besar, seringkali menyebabkan lambatnya respons birokrasi terhadap kebutuhan lokal di daerah-daerah yang sangat terpencil di dalam provinsi tersebut. Inilah yang kemudian menjadi salah satu argumen kuat para pendukung pemekaran di era berikutnya.
Memahami jumlah provinsi di masa lalu—yaitu sekitar 27 provinsi—memberikan konteks penting untuk mengapresiasi transformasi fundamental yang terjadi dalam tata kelola negara kita. Perubahan ini adalah cerminan dari evolusi politik dan tuntutan masyarakat yang menginginkan pemerintahan yang lebih dekat dengan rakyatnya, sebuah proses yang baru benar-benar diakselerasi saat era reformasi dimulai.