Indonesia, sebuah kepulauan yang membentang luas dari Sabang hingga Merauke, menyimpan kekayaan budaya yang tak terhingga. Dari ribuan pulau yang ada, setiap daerah memancarkan keunikan adat istiadat, bahasa, tarian, musik, hingga filosofi hidup yang membentuk mozaik identitas bangsa. Di tengah keberagaman yang memukau ini, tradisi Pasanggiri muncul sebagai salah satu pilar penting dalam menjaga, melestarikan, dan mengembangkan seni budaya lokal, khususnya di tanah Sunda. Lebih dari sekadar ajang kompetisi, Pasanggiri adalah sebuah ritual budaya, sebuah panggung kehormatan, tempat nilai-nilai luhur diuji, diasah, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kehadirannya tidak hanya sebagai tontonan, melainkan juga tuntunan yang mendalam, membentuk karakter dan jati diri melalui ekspresi seni.
Kata "Pasanggiri" sendiri berasal dari bahasa Sunda yang secara harfiah dapat diartikan sebagai "tempat atau ajang untuk bersaing" atau "kompetisi". Namun, makna Pasanggiri jauh melampaui definisi harfiah tersebut. Ia adalah sebuah perhelatan akbar yang melibatkan berbagai cabang seni dan keterampilan tradisional, seperti pencak silat, tari, tembang (kawih), karawitan (musik tradisional), hingga seni pidato atau olah vokal lainnya. Setiap Pasanggiri tidak hanya menilai aspek teknis dan estetika penampilan, tetapi juga kedalaman penghayatan, karakter, disiplin, dan etika para pesertanya. Ini menjadikannya sebuah sekolah kehidupan yang mengajarkan lebih dari sekadar keterampilan seni, melainkan juga menanamkan budi pekerti luhur, rasa hormat, dan cinta tanah air.
Pasanggiri, dalam konteks kebudayaan Sunda, adalah sebuah ritual yang mengikat individu dengan komunitasnya, dan komunitas dengan akar tradisinya. Ini adalah ajang di mana para peserta, baik muda maupun tua, menunjukkan hasil dari latihan keras dan dedikasi mereka. Melalui Pasanggiri, nilai-nilai seperti ketekunan, sportivitas, dan penghargaan terhadap warisan leluhur menjadi hidup. Ia bukan hanya tentang mencari siapa yang terbaik, melainkan juga tentang merayakan keberlanjutan dan keindahan budaya itu sendiri. Setiap Pasanggiri adalah jaminan bahwa obor tradisi akan terus menyala, menerangi jalan bagi generasi-generasi mendatang untuk memahami dan mencintai identitasnya.
Untuk memahami Pasanggiri secara utuh, kita perlu menelusuri akarnya yang mendalam dalam sejarah dan tradisi Sunda. Tradisi berkompetisi dalam berbagai bentuk seni dan keterampilan telah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara. Pada masa itu, pertunjukan seni seringkali menjadi bagian tak terpisahkan dari upacara adat, ritual keagamaan, atau perayaan kemenangan. Dalam konteks ini, Pasanggiri kemungkinan besar telah berevolusi dari bentuk-bentuk pertunjukan dan ujian kemampuan para kesatria, seniman, dan pemuka adat. Sejarah mencatat bahwa seni adalah bagian integral dari kehidupan masyarakat, mulai dari ritual agraris hingga upacara kenegaraan, dan Pasanggiri menjadi salah satu manifestasinya.
Di lingkungan kerajaan Sunda, seperti Kerajaan Pajajaran, kemampuan dalam pencak silat, olah vokal, menari, atau memainkan alat musik bukan sekadar hiburan, melainkan bagian dari pendidikan karakter dan bekal hidup. Para menak (bangsawan) dan prajurit diuji kemampuannya dalam berbagai 'kompetisi' atau 'demonstrasi' untuk menunjukkan keunggulan mereka, baik dalam kepiawaian bertempur maupun kehalusan budi melalui seni. Demonstrasi ini seringkali diadakan di hadapan raja dan pembesar kerajaan, menjadi ajang pengakuan atas kemampuan dan kesetiaan. Seiring berjalannya waktu, tradisi ini menyebar luas ke masyarakat umum, beradaptasi dengan perubahan zaman, namun tetap mempertahankan esensi dan nilai-nilai luhurnya, seperti gotong royong, kebersamaan, dan spiritualitas.
Pada era kolonial, ketika banyak tradisi lokal mengalami tekanan dan upaya pembaratan, Pasanggiri justru menjadi salah satu wadah perlawanan budaya yang halus. Melalui seni, masyarakat dapat mempertahankan identitas mereka, menumbuhkan rasa kebanggaan, dan menguatkan persatuan di tengah penjajahan. Pasanggiri menjadi ruang di mana semangat kebangsaan dan nilai-nilai kearifan lokal terus dihidupkan, jauh dari intervensi asing. Dengan demikian, Pasanggiri bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang kegigihan budaya untuk tetap hidup dan relevan di tengah arus perubahan yang mengancam. Ini adalah simbol ketahanan budaya yang terus menerus mencari cara untuk berekspresi dan bertahan.
Peran Pasanggiri juga sangat signifikan dalam konteks pelestarian bahasa. Dalam Pasanggiri tembang atau pidato, penggunaan bahasa Sunda yang baik dan benar menjadi salah satu kriteria utama. Hal ini secara langsung berkontribusi pada upaya menjaga kelestarian bahasa ibu yang semakin terpinggirkan di era globalisasi dan dominasi bahasa asing. Para peserta didorong untuk mempelajari tata bahasa, kosa kata, dan gaya bahasa Sunda yang baku dan artistik, memastikan bahwa warisan linguistik ini tidak punah ditelan waktu. Lebih dari itu, Pasanggiri menjadi ajang di mana kekayaan sastra Sunda, seperti pantun, wawacan, dan pupuh, dihidupkan kembali dan diapresiasi oleh generasi muda, memberikan mereka fondasi kuat dalam bahasa dan budaya mereka.
Selain itu, Pasanggiri juga memiliki fungsi sosial yang kuat. Ia menjadi sarana bagi masyarakat untuk berkumpul, bersosialisasi, dan mempererat tali silaturahmi. Di desa-desa, persiapan Pasanggiri seringkali melibatkan seluruh elemen masyarakat, dari pemuda hingga sesepuh, yang bekerja sama untuk menyukseskan acara. Ini membangun rasa kebersamaan dan kepemilikan terhadap budaya mereka. Pasanggiri juga bisa menjadi media pendidikan non-formal yang efektif, mengajarkan disiplin, tanggung jawab, dan sportivitas kepada para peserta sejak usia dini. Nilai-nilai ini, yang seringkali sulit diajarkan di bangku sekolah formal, terinternalisasi melalui pengalaman langsung dalam Pasanggiri.
Inti dari Pasanggiri adalah filosofi yang mendalam. Ia bukan hanya tentang menang atau kalah, melainkan tentang proses pendewasaan diri, pencarian kesempurnaan, dan penyerahan diri pada seni. Setiap gerakan pencak silat, setiap cengkok tembang, setiap lenggang tari, mengandung makna filosofis yang diwariskan dari para leluhur. Disiplin, kesabaran, kerendahan hati, serta semangat pantang menyerah adalah nilai-nilai yang mutlak harus dimiliki oleh setiap peserta Pasanggiri. Melalui latihan yang berulang dan penampilan di hadapan publik, seorang seniman Pasanggiri belajar untuk mengatasi diri sendiri, menaklukkan keraguan, dan mengeluarkan potensi terbaiknya.
Salah satu nilai penting adalah *tanggung jawab*. Setiap peserta memiliki tanggung jawab untuk menampilkan yang terbaik, tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk guru, padepokan, sanggar, atau daerah yang mereka wakili. Mereka mengemban amanah untuk menjaga nama baik dan martabat seni yang mereka pelajari. Ada juga nilai *persaudaraan* atau *silaturahmi* yang erat. Meskipun Pasanggiri adalah kompetisi, suasana kekeluargaan dan saling menghargai antarpeserta dan antarguru sangat terasa. Mereka berkompetisi secara sportif, namun di luar arena, mereka adalah bagian dari satu komunitas besar yang saling mendukung dalam melestarikan budaya, berbagi ilmu, dan membangun jaringan persahabatan yang langgeng.
Di samping itu, *keseimbangan* juga menjadi filosofi kunci. Keseimbangan antara kekuatan fisik dan kekuatan batin dalam pencak silat, keseimbangan antara vokal dan ekspresi dalam tembang, atau keseimbangan antara gerakan dan iringan musik dalam tari. Pasanggiri mengajarkan bahwa keindahan sejati berasal dari keselarasan dan harmoni. Ini adalah refleksi dari pandangan hidup masyarakat Sunda yang selalu mencari harmoni dalam setiap aspek kehidupan, baik dengan alam, sesama manusia, maupun dengan Sang Pencipta. Keseimbangan ini mengajarkan bahwa kekuatan tanpa kehalusan adalah kekerasan, dan kehalusan tanpa kekuatan adalah kelemahan; keduanya harus bersatu padu.
Dalam Pasanggiri, para peserta tidak hanya dituntut untuk mahir dalam teknik, tetapi juga harus memiliki *wiraga*, *wirama*, dan *wirasa*. *Wiraga* adalah kemampuan menguasai gerak. Ini mencakup presisi, kelenturan, dan kekuatan fisik yang dibutuhkan untuk menampilkan gerakan yang sesuai. *Wirama* adalah kemampuan menguasai irama atau tempo. Ini melibatkan keselarasan dengan musik pengiring, pemahaman akan ketukan, dan kemampuan untuk menjaga ritme yang stabil. Dan *wirasa* adalah kemampuan untuk menjiwai dan menyampaikan perasaan atau emosi melalui penampilan. Ini adalah inti dari seni, di mana sang seniman mampu berkomunikasi dengan audiens pada tingkat emosional, membuat pertunjukan terasa hidup dan bermakna. Ketiganya harus menyatu secara sempurna untuk menghasilkan sebuah penampilan yang otentik, menyentuh hati, dan berkesan. Tanpa wirasa, penampilan akan terasa hambar, hanya sekadar gerakan atau suara tanpa makna, seperti raga tanpa jiwa.
Nilai *hormat* juga sangat ditekankan. Hormat kepada guru yang telah memberikan ilmu, hormat kepada sesama peserta dan juri, hormat kepada para leluhur yang mewariskan seni, dan hormat kepada panggung sebagai tempat suci untuk berkesenian. Sikap tunduk dan sungkem sebelum dan sesudah penampilan adalah bentuk konkret dari penghormatan ini. Etika ini adalah pondasi yang menjaga marwah Pasanggiri tetap luhur. Tanpa rasa hormat, seni akan kehilangan kedalaman spiritualnya dan menjadi sekadar pertunjukan tanpa nilai.
Pasanggiri memiliki beragam bentuk, mencakup spektrum luas seni dan keterampilan tradisional Sunda. Masing-masing bentuk memiliki kekhasan dan tantangannya sendiri, namun semuanya bertujuan untuk melestarikan dan mengembangkan warisan budaya. Keberagaman ini mencerminkan kekayaan budaya Sunda yang multidimensional. Berikut adalah beberapa bentuk Pasanggiri yang paling menonjol, masing-masing dengan keunikan dan kedalamannya:
Pencak silat adalah salah satu seni bela diri tradisional Nusantara yang kaya akan nilai filosofis dan gerak. Di Sunda, pencak silat bukan hanya tentang pertarungan fisik, melainkan sebuah bentuk seni gerak yang indah, sarat makna, dan merupakan media untuk pembentukan karakter. Pasanggiri pencak silat adalah salah satu yang paling populer dan prestisius, seringkali menjadi daya tarik utama dalam festival budaya. Ia adalah perwujudan dari kekuatan, keluwesan, dan kebijaksanaan yang menyatu dalam setiap jurus.
Dalam Pasanggiri pencak silat, peserta biasanya menampilkan jurus-jurus baku atau jurus kreasi yang telah diajarkan oleh guru mereka. Penilaian meliputi berbagai aspek yang sangat detail dan komprehensif:
Peserta Pasanggiri pencak silat harus menjalani latihan yang sangat intensif, tidak hanya fisik tetapi juga mental dan spiritual. Mereka belajar tentang berbagai aliran (gaya) pencak silat Sunda seperti Cimande, Cikalong, Timbangan, Sera, Pamacan, dan masih banyak lagi. Setiap aliran memiliki ciri khas gerak, filosofi, dan aplikasi yang berbeda. Misalnya, Cimande dikenal dengan gerakannya yang kuat, kokoh, dan berakar pada tanah, menekankan pertahanan diri dan serangan yang efektif. Sementara Cikalong lebih menekankan keluwesan, kecepatan, dan permainan jarak dekat, seringkali terinspirasi dari gerakan hewan. Penguasaan berbagai aliran ini menunjukkan kedalaman ilmu seorang pesilat.
Musik pengiring (gamelan pencak) memiliki peran vital dalam Pasanggiri pencak silat. Kendang pencak, goong, dan terompet adalah instrumen utama yang mengiringi setiap jurus. Irama musik bukan hanya pengiring, melainkan bagian tak terpisahkan yang memberikan energi, tempo, dan suasana pada setiap penampilan. Keterampilan pesilat dalam menyatukan gerak dengan irama musik menjadi poin penting dalam penilaian. Musik dapat membangkitkan semangat juang, menciptakan suasana dramatis, atau menenangkan saat gerakan melambat. Tanpa iringan musik, pencak silat akan kehilangan separuh jiwanya.
Lebih jauh lagi, Pasanggiri pencak silat juga menjadi ajang untuk menunjukkan *kebatinan* atau kekuatan spiritual yang terintegrasi dalam seni bela diri ini. Pesilat yang berpengalaman seringkali mampu menampilkan gerak yang bertenaga namun tetap halus, penuh konsentrasi dan ketenangan batin. Aspek spiritual ini seringkali diturunkan secara lisan dari guru kepada murid, menekankan pentingnya menjaga kesucian diri, mengendalikan emosi, dan menghormati alam semesta serta sesama. Ini adalah dimensi yang membedakan pencak silat dari sekadar olahraga, mengangkatnya menjadi sebuah jalan hidup.
Perlengkapan yang digunakan dalam Pasanggiri pencak silat juga memiliki makna simbolis. Pakaian pangsi, ikat kepala (totopong), dan kadang-kadang senjata tradisional seperti golok atau keris, semuanya adalah bagian dari identitas pesilat dan tradisi yang diusung. Setiap detail, mulai dari cara berpakaian hingga cara memberi hormat, harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan penghormatan terhadap adat. Pemilihan warna pakaian, motif batik pada ikat kepala, semua memiliki pesan tersembunyi yang menambah kedalaman pada penampilan.
Pasanggiri pencak silat juga berperan besar dalam transmisi pengetahuan dan nilai-nilai moral. Setiap jurus tidak hanya diajarkan sebagai urutan gerak, tetapi juga disertai dengan penjelasan filosofis dan etika. Murid belajar tentang pentingnya *persaudaraan* antarpesilat, *kesatriaan*, dan *kerendahan hati*. Mereka diajarkan untuk menggunakan ilmu silat hanya untuk kebaikan dan pertahanan diri, bukan untuk kesombongan atau kezaliman. Ini menjadikan Pasanggiri pencak silat sebagai sebuah institusi pendidikan karakter yang sangat efektif.
Tembang Sunda, yang sering disebut kawih atau mamaos, adalah seni vokal tradisional Sunda yang memadukan melodi indah dengan lirik puitis. Pasanggiri tembang Sunda adalah ajang untuk menguji kemampuan vokal, penjiwaan, dan pemahaman peserta terhadap kaidah-kaidah tembang, sebuah warisan seni yang membutuhkan kepekaan rasa dan ketelitian teknis. Ini adalah perayaan suara manusia yang diolah menjadi melodi yang menyentuh hati dan sarat makna.
Kriteria penilaian dalam Pasanggiri tembang meliputi aspek-aspek kompleks yang mengukur kualitas menyeluruh seorang penyanyi:
Ada berbagai jenis tembang Sunda yang sering diperlombakan, antara lain:
Belajar tembang Sunda membutuhkan kesabaran dan kepekaan musikal yang tinggi. Seorang penyanyi tembang harus mampu mengolah suara sedemikian rupa sehingga menghasilkan cengkok yang halus, luwes, namun tetap bertenaga. Lirik tembang Sunda seringkali mengandung makna filosofis, kritik sosial, atau pujian terhadap alam dan Tuhan, sehingga penghayatan lirik menjadi sangat krusial. Proses belajar ini seringkali melibatkan guru yang mengajarkan tidak hanya teknik, tetapi juga *rasa* atau penjiwaan yang mendalam.
Pasanggiri ini tidak hanya mengasah kemampuan bernyanyi, tetapi juga menumbuhkan apresiasi terhadap sastra Sunda. Peserta didorong untuk memahami puisi-puisi lama, mengenali gaya bahasa, dan merasakan kedalaman emosi yang terkandung dalam setiap bait. Ini adalah upaya untuk menjaga agar kekayaan sastra dan musik Sunda tetap hidup dan lestari di hati generasi muda, memastikan bahwa mereka tidak hanya menyanyikan lagu, tetapi juga memahami warisan intelektual di baliknya.
Peran iringan musik dalam tembang Sunda juga sangat penting. Kecapi, suling, dan rebab seringkali menjadi instrumen utama yang membangun suasana dan memberikan ruang bagi vokal untuk berekspresi. Interaksi antara penyanyi dan pengiring harus harmonis, saling mengisi dan mendukung, menciptakan kesatuan musikal yang utuh. Pasanggiri tembang Sunda adalah sebuah persembahan seni yang memanjakan telinga dan meresapi jiwa.
Tari tradisional Sunda merupakan ekspresi keindahan gerak yang sarat makna dan filosofi. Pasanggiri tari menguji kemampuan penari dalam menguasai gerak, ekspresi, dan keselarasan dengan iringan musik, mencerminkan kekayaan ragam gerak dan cerita yang diwariskan dari generasi ke generasi. Setiap gerakan tari memiliki filosofi dan simbolisme yang mendalam, yang harus dipahami dan disampaikan oleh penari.
Kriteria penilaian meliputi berbagai aspek yang memastikan kualitas dan otentisitas penampilan tari:
Berbagai jenis tari Sunda dapat diperlombakan, seperti Tari Jaipongan (yang enerjik dan lincah, dengan gerak bukaan, pencungan, ngala, dan mincid), Tari Merak (dengan keindahan gerakan meniru burung merak jantan yang sedang memamerkan keindahannya), Tari Topeng Cirebon (yang kaya akan karakter seperti Panji, Samba, Rumyang, Tumenggung, dan Kelana), atau tari-tari klasik seperti Tari Bedaya dan Tari Srimpi versi Sunda (jika ada adaptasi yang sesuai). Setiap tarian memiliki pola gerak, makna, dan sejarahnya sendiri yang harus dipahami oleh penari. Penguasaan sejarah dan latar belakang tarian menambah kedalaman interpretasi.
Latihan tari tradisional Sunda membutuhkan disiplin tinggi dan dedikasi. Penari harus menguasai setiap detail gerakan, dari ujung jari hingga ujung kaki, serta mampu menyatu dengan irama gamelan. Penggunaan properti tari, seperti selendang (kibar), topeng, atau payung, juga menjadi bagian integral yang menambah kompleksitas dan keindahan penampilan. Pasanggiri ini melatih para penari untuk tidak hanya sekadar bergerak, tetapi juga bercerita melalui gerak, menghidupkan narasi dan emosi di balik setiap koreografi.
Aspek penting lainnya adalah kemampuan penari untuk berkomunikasi dengan penonton melalui bahasa tubuh. Melalui setiap lirikan mata, setiap senyuman, atau setiap ekspresi wajah, penari harus mampu menarik perhatian dan menyampaikan pesan dari tarian tersebut. Ini adalah pertunjukan yang melibatkan seluruh indra, baik bagi penari maupun bagi penonton, menciptakan pengalaman estetis yang mendalam. Penari yang berhasil adalah mereka yang mampu mengisi ruang panggung dengan kehadiran dan karisma, membuat setiap gerakan terasa bermakna.
Pola latihan tari seringkali dimulai dari gerakan dasar, kemudian berkembang ke rangkaian jurus yang lebih kompleks. Penari juga belajar tentang *penampilan* secara keseluruhan, termasuk bagaimana berjalan di panggung, memberi hormat, dan mengelola kostum agar tidak mengganggu gerakan. Ini adalah pendidikan holistik yang menggabungkan aspek fisik, mental, dan artistik. Pasanggiri tari menjadi panggung untuk menunjukkan hasil dari proses panjang ini, menginspirasi penari lain, dan menghibur masyarakat.
Karawitan adalah seni musik tradisional Sunda, yang seringkali melibatkan ansambel gamelan dengan berbagai instrumen seperti kendang, goong, saron, bonang, kecapi, suling, dan lain-lain. Pasanggiri karawitan menguji kekompakan, keharmonisan, dan keterampilan musikal para pemain dalam sebuah orkestra tradisional yang kompleks. Ini adalah perayaan suara kolektif, di mana setiap instrumen memiliki perannya masing-masing dalam menciptakan simfoni yang indah dan kaya nuansa.
Kriteria penilaian mencakup aspek-aspek vital untuk sebuah pertunjukan musik ansambel:
Dalam Pasanggiri karawitan, biasanya ditampilkan komposisi-komposisi klasik gamelan Sunda, seperti lagu-lagu degung, salendro, atau pelog. Ada juga kategori untuk karawitan kreasi yang memungkinkan inovasi baru dalam aransemen musik, namun tetap berpegang pada esensi musik tradisional Sunda. Ini adalah ajang untuk menunjukkan tidak hanya kemampuan teknis, tetapi juga kepekaan musikal dan kerja sama tim yang solid, sebuah orkestra yang harmonis dari berbagai suara dan karakter.
Masing-masing instrumen dalam gamelan memiliki perannya sendiri yang krusial. Kendang sebagai pemimpin irama dan pengatur tempo, memberikan nyawa pada musik. Goong sebagai penanda siklus dan penentu struktur lagu, memberikan rasa keagungan. Saron dan bonang sebagai pembawa melodi pokok, membentuk kerangka musikal. Serta kecapi dan suling yang memberikan melodi hiasan (panerus atau melodi ornamentasi), menambahkan keindahan dan keluwesan pada aransemen. Semua harus berinteraksi secara harmonis untuk menghasilkan simfoni yang indah. Pasanggiri ini menjadi bukti bahwa musik tradisional Sunda adalah sebuah seni yang kompleks, membutuhkan latihan bertahun-tahun untuk dikuasai sepenuhnya oleh setiap individu dan kemudian disatukan dalam sebuah ansambel yang padu.
Selain instrumen, vokal (sinden atau juru kawih) seringkali menjadi bagian integral dari ansambel karawitan. Sinden tidak hanya menyanyi, tetapi juga berinteraksi dengan instrumen, mengisi ruang musikal dengan cengkok-cengkok yang indah. Keseimbangan antara vokal dan instrumen adalah kunci kesuksesan dalam Pasanggiri karawitan, di mana suara manusia dan alat musik saling melengkapi, menciptakan dialog yang mendalam. Mereka bukan hanya tampil bersama, tetapi "berbicara" melalui melodi dan lirik.
Latihan karawitan juga mengajarkan pentingnya kesabaran dan ketekunan. Para pemain harus menghafal banyak lagu, memahami struktur musikal, dan menguasai berbagai teknik permainan instrumen. Selain itu, mereka belajar untuk peka terhadap isyarat dari pemimpin (biasanya pemain kendang) dan saling mendukung dalam penampilan. Pasanggiri karawitan adalah wadah yang sangat baik untuk melatih kemampuan musikal dan membangun kerjasama tim yang kuat.
Selain empat kategori utama di atas, Pasanggiri juga dapat mencakup bentuk-bentuk seni dan keterampilan lain yang merupakan bagian integral dari kebudayaan Sunda, menunjukkan betapa luasnya spektrum tradisi yang dijaga melalui ajang ini:
Keberagaman bentuk Pasanggiri ini menunjukkan betapa kayanya budaya Sunda dan betapa pentingnya tradisi ini dalam menjaga agar setiap aspek budaya tetap hidup dan relevan bagi generasi mendatang. Setiap Pasanggiri adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, memastikan bahwa api semangat budaya tidak pernah padam. Ia adalah sebuah ekosistem budaya yang saling mendukung, di mana setiap cabang seni berkontribusi pada kekuatan keseluruhan warisan budaya.
Melalui Pasanggiri-Pasanggiri ini, generasi muda memiliki kesempatan untuk tidak hanya belajar seni, tetapi juga untuk menyelami filosofi hidup, etika, dan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Ini adalah investasi jangka panjang dalam pembentukan karakter dan identitas budaya bangsa. Setiap bentuk Pasanggiri, sekecil apapun, adalah bagian dari upaya besar untuk merawat dan menghidupkan kembali kekayaan budaya yang tak ternilai harganya.
Untuk seorang peserta, Pasanggiri bukan hanya ajang unjuk kebolehan sesaat, melainkan puncak dari sebuah perjalanan panjang yang penuh dengan dedikasi, disiplin, dan pengorbanan. Persiapan menuju Pasanggiri melibatkan banyak aspek, mulai dari fisik, mental, hingga spiritual. Ini adalah proses holistik yang membentuk karakter seorang seniman sejati, mengajarkan bahwa keunggulan sejati datang dari keseimbangan antara keterampilan teknis, kedalaman emosi, dan kekuatan batin.
Aspek paling dasar adalah latihan fisik dan teknis yang intensif dan berulang-ulang. Bagi pesilat, ini berarti menguasai setiap jurus dengan sempurna, melatih kekuatan, kecepatan, dan kelenturan tubuh secara konsisten. Mereka akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyempurnakan kuda-kuda, pukulan, tendangan, dan kuncian, memastikan setiap gerakan presisi dan bertenaga. Penari akan mengulang-ulang gerakan hingga setiap lentikan jari dan setiap langkah kaki terasa alami dan presisi, menghayati setiap irama gamelan yang mengiringi. Penyanyi tembang akan melatih teknik pernapasan, olah vokal, resonansi, dan cengkok berkali-kali hingga suara terdengar merdu, stabil, dan mampu menyampaikan emosi yang kompleks. Musisi karawitan akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyelaraskan setiap ketukan dan nada, memastikan harmoni dalam ansambel. Latihan ini menuntut konsistensi, daya tahan, dan ketelitian yang tinggi.
Latihan ini seringkali dilakukan di bawah bimbingan guru atau pelatih yang berpengalaman, yang akan memberikan koreksi, motivasi, dan arahan yang mendalam. Guru bukan hanya pelatih teknis, tetapi juga pembimbing spiritual dan figur orang tua yang sangat dihormati. Hubungan antara guru dan murid dalam konteks Pasanggiri sangatlah erat, didasari oleh rasa hormat (hormat ka guru), kepercayaan, dan komitmen timbal balik. Guru mewariskan tidak hanya ilmu, tetapi juga nilai-nilai luhur dan etika dalam berkesenian. Murid membalas dengan dedikasi, kepatuhan, dan keinginan kuat untuk menyerap setiap ajaran.
Selain latihan rutin, seringkali juga ada sesi latihan khusus untuk mengatasi kelemahan individu atau kelompok. Misalnya, bagi penari, mungkin ada fokus pada kelenturan tubuh atau penguasaan gerak tertentu yang sulit. Bagi penyanyi, mungkin ada latihan untuk mengatasi nada tinggi atau rendah yang masih kurang sempurna. Fleksibilitas dalam jadwal latihan dan kesediaan untuk beradaptasi dengan kebutuhan peserta adalah kunci keberhasilan dalam pembinaan Pasanggiri. Latihan ini juga tidak hanya terfokus pada individu, tetapi juga pada interaksi dalam kelompok, seperti kekompakan dalam tari massal atau harmoni dalam ansambel karawitan.
Selain aspek teknis, penghayatan terhadap filosofi di balik seni yang diperlombakan adalah kunci utama untuk mencapai penampilan yang otentik dan menyentuh hati. Seorang pesilat tidak hanya bergerak secara fisik, tetapi memahami mengapa setiap gerakan dilakukan, apa makna simbolis di baliknya, dan bagaimana hal itu merefleksikan prinsip-prinsip hidup Sunda, seperti 'siliwangi' (saling mengasihi) atau 'silih asah, silih asih, silih asuh' (saling mengasah, mengasihi, mengasuh). Penyanyi tembang tidak hanya melantunkan lirik, tetapi merasakan emosi dan pesan yang ingin disampaikan oleh pencipta lagu, apakah itu tentang cinta tanah air, kerinduan, atau nasihat moral. Penari tidak hanya menari, tetapi menghidupkan karakter atau narasi yang terkandung dalam tarian, memahami cerita di balik setiap gerak tangan atau langkah kaki.
Proses penghayatan ini seringkali melibatkan pembelajaran sejarah, legenda, mitologi, dan nilai-nilai luhur yang terkait dengan seni tersebut. Guru akan menceritakan kisah-kisah lama, mengajarkan pepatah-pepatah Sunda (paribasa), atau mengajak murid untuk merenung dan merasakan esensi dari apa yang mereka pelajari. Ini adalah bagian dari pendidikan karakter yang tak kalah penting dari latihan teknis. Pemahaman ini mengubah penampilan dari sekadar pameran keterampilan menjadi sebuah ekspresi jiwa yang mendalam. Peserta belajar bahwa seni adalah cermin dari budaya dan pandangan hidup, dan mereka adalah duta yang membawa pesan itu.
Penguasaan filosofi juga mencakup pemahaman tentang *pakem* atau aturan-aturan dasar dalam seni tradisional. Meskipun ada ruang untuk kreasi, peserta harus memahami batas-batas dan esensi yang tidak boleh dihilangkan agar seni tersebut tetap otentik. Ini adalah keseimbangan antara inovasi dan pelestarian, memastikan bahwa seni terus berkembang tanpa kehilangan identitasnya. Mereka belajar untuk menghargai warisan, sekaligus menemukan cara untuk membuatnya relevan di masa kini.
Pasanggiri adalah ajang yang menuntut mental baja. Tekanan untuk tampil sempurna di hadapan juri yang ketat, berhadapan dengan ekspektasi tinggi dari guru dan komunitas, serta bersaing dengan peserta lain yang juga berprestasi, bisa menjadi sangat berat. Oleh karena itu, persiapan mental menjadi sangat penting, seringkali setara atau bahkan melebihi pentingnya persiapan fisik. Seorang peserta harus mampu mengelola rasa gugup, fokus di bawah tekanan, dan menampilkan yang terbaik dari dirinya.
Peserta diajarkan untuk fokus, tenang, dan percaya diri. Mereka mungkin melakukan meditasi, doa, atau ritual-ritual kecil sebelum tampil untuk menenangkan diri dan mengumpulkan energi positif. Guru seringkali memberikan wejangan atau nasihat spiritual untuk menguatkan mental muridnya, mengingatkan mereka akan tujuan yang lebih besar dari sekadar kemenangan. Mereka diingatkan bahwa hasil akhir adalah kehendak Tuhan, namun usaha maksimal adalah kewajiban mereka. Kekalahan harus diterima dengan lapang dada sebagai pelajaran, dan kemenangan harus disikapi dengan rendah hati, tanpa kesombongan. Ini adalah pelajaran berharga tentang kerendahan hati dan sportivitas.
Aspek spiritual juga tercermin dalam bagaimana peserta mendekati seni mereka. Mereka melihat seni bukan hanya sebagai hiburan atau kompetisi, tetapi sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, sebagai wujud syukur atas anugerah bakat, dan sebagai sarana untuk menyebarkan kebaikan dan keindahan. Dengan demikian, setiap penampilan menjadi sebuah persembahan yang tulus, sebuah ekspresi dari jiwa yang bersih. Ada kepercayaan bahwa ketika hati dan pikiran selaras, penampilan akan memancarkan aura yang kuat dan mampu menyentuh hati penonton.
Kesiapan spiritual juga mencakup menjaga akhlak dan perilaku sehari-hari. Peserta yang baik adalah mereka yang tidak hanya mahir dalam seni, tetapi juga memiliki budi pekerti yang luhur, sopan santun, dan menghormati sesama. Mereka adalah teladan bagi komunitasnya. Nilai-nilai ini seringkali menjadi penentu karakter seorang seniman Pasanggiri, karena keindahan seni harus selaras dengan keindahan jiwa. Proses ini membentuk pribadi yang utuh, yang mampu membawa nilai-nilai budaya ke dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Persiapan untuk Pasanggiri adalah sebuah perjalanan transformasi, di mana seorang individu ditempa menjadi seniman yang berkarakter, berbudaya, dan berjiwa luhur. Ini adalah investasi waktu, tenaga, dan jiwa yang tak ternilai harganya, bukan hanya bagi individu, tetapi juga bagi keberlanjutan budaya Sunda secara keseluruhan.
Hari Pasanggiri adalah hari yang dinantikan dengan penuh antusiasme, baik oleh peserta maupun masyarakat. Atmosfernya selalu meriah, penuh semangat, namun juga khidmat, menciptakan sebuah festival budaya yang hidup dan bersemangat. Ini adalah puncak dari segala latihan dan persiapan, sebuah momen di mana seni dan tradisi bersinar terang di panggung kehormatan.
Pasanggiri biasanya diawali dengan upacara pembukaan yang megah, melibatkan sesepuh adat, tokoh masyarakat, dan perwakilan pemerintah. Kata sambutan yang menginspirasi, pembacaan doa untuk kelancaran acara, dan terkadang pertunjukan seni pembuka yang memukau, menjadi bagian dari rangkaian acara. Suasana ini seringkali diwarnai dengan alunan gamelan yang bertalu-talu, menggetarkan semangat para peserta dan penonton, membangun ekspektasi akan keindahan yang akan disajikan. Aroma kemenyan atau bunga sesajen kadang turut menambah nuansa sakral pada upacara pembukaan.
Setelah upacara pembukaan, setiap peserta akan dipanggil sesuai nomor urut, dan mereka akan maju ke panggung atau arena dengan penuh hormat. Ada ritual-ritual kecil yang dilakukan sebelum dan sesudah penampilan, seperti menyembah (sungkem) kepada guru yang hadir, kepada panggung sebagai tempat suci berkesenian, atau kepada arah kiblat (jika sesuai dengan keyakinan peserta), sebagai bentuk penghormatan dan permohonan restu. Ritual ini menekankan dimensi spiritual dan etika dalam Pasanggiri, mengingatkan peserta akan pentingnya kerendahan hati dan rasa syukur. Penonton juga turut merasakan energi dari prosesi ini, menambah kekhidmatan suasana.
Urutan penampilan diatur sedemikian rupa untuk menjaga alur acara tetap menarik. Terkadang, ada jeda untuk penampilan non-kompetisi dari para seniman senior atau bintang tamu, yang bertujuan untuk menghibur dan menginspirasi. Selama acara berlangsung, MC atau pranata acara (pembawa acara) akan memberikan informasi, memperkenalkan peserta, dan menjaga interaksi dengan penonton, membuat suasana tetap hidup dan informatif.
Penilaian Pasanggiri dilakukan oleh dewan juri yang terdiri dari para pakar, seniman senior, dan budayawan yang sangat menguasai bidang seni yang diperlombakan. Mereka adalah individu-individu yang tidak hanya memiliki pengetahuan teoretis, tetapi juga pengalaman praktis yang mendalam dalam seni tradisional. Kriteria penilaian sangat detail dan komprehensif, mencakup aspek teknis, estetika, penjiwaan, hingga etika. Setiap juri memiliki lembar penilaian yang mencatat skor untuk setiap kategori, memastikan objektivitas dan keadilan. Mereka mengamati setiap detail, dari gerak terkecil hingga ekspresi terbesar.
Contoh kriteria penilaian yang sering digunakan, disesuaikan dengan jenis Pasanggiri:
Setelah semua peserta tampil, juri akan berdiskusi dan merekapitulasi nilai secara tertutup. Proses ini seringkali berlangsung sangat hati-hati dan cermat untuk memastikan objektivitas dan keadilan. Dewan juri mungkin berdebat tentang poin-poin tertentu, namun pada akhirnya harus mencapai konsensus. Pengumuman pemenang biasanya menjadi puncak acara yang paling dinanti, diikuti dengan penyerahan hadiah, piagam penghargaan, dan ucapan selamat dari para sesepuh dan pejabat. Ini adalah momen perayaan bagi mereka yang telah berusaha keras dan menunjukkan keunggulan.
Tidak jarang, Pasanggiri juga menyertakan kategori *peserta favorit* pilihan penonton atau juri kehormatan, yang menambah semarak acara dan memberikan kesempatan pengakuan lebih luas. Bahkan, seringkali ada demonstrasi dari guru besar atau seniman legendaris untuk menginspirasi peserta dan penonton, menunjukkan level tertinggi dari seni yang diperlombakan. Ini berfungsi sebagai motivasi dan edukasi bagi generasi muda.
Mekanisme penilaian yang ketat dan transparan ini menunjukkan bahwa Pasanggiri bukan hanya ajang pamer, tetapi sebuah proses pembelajaran dan evaluasi yang serius. Setiap peserta, terlepas dari menang atau kalah, pulang dengan pengalaman berharga dan pelajaran baru yang akan membentuk mereka menjadi seniman yang lebih baik. Mereka belajar dari kritik juri, dari penampilan peserta lain, dan dari pengalaman pribadi di panggung. Ini adalah kesempatan untuk tumbuh dan berkembang dalam seni dan karakter.
Penting juga untuk dicatat bahwa para juri dalam Pasanggiri memiliki latar belakang yang mendalam dalam bidang seni yang mereka nilai. Mereka tidak hanya melihat permukaan, tetapi juga mampu menilai kedalaman teknik, penguasaan filosofi, dan otentisitas dari setiap penampilan. Seringkali, komentar dan masukan dari juri setelah Pasanggiri adalah bagian yang paling berharga bagi peserta untuk mengembangkan diri di masa depan. Mereka tidak hanya menilai, tetapi juga mendidik dan membimbing, memberikan arahan yang konstruktif bagi perjalanan seni para peserta.
Di era globalisasi dan modernisasi, Pasanggiri menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Arus budaya populer yang masif dari berbagai belahan dunia, perubahan minat generasi muda yang cenderung beralih ke bentuk hiburan digital, serta keterbatasan dana dan dukungan, menjadi beberapa isu krusial yang harus diatasi. Namun, di tengah tantangan ini, Pasanggiri tetap menjadi mercusuar harapan bagi kelestarian budaya, sebuah benteng yang menjaga identitas lokal di tengah homogenisasi budaya global.
Salah satu tantangan terbesar adalah *daya tarik bagi generasi muda*. Banyak anak muda yang tumbuh di era digital lebih tertarik pada seni modern, musik pop, atau budaya populer dari luar negeri yang disajikan secara instan dan mudah diakses. Mereka mungkin merasa bahwa seni tradisional seperti Pasanggiri ketinggalan zaman, terlalu lambat, atau terlalu sulit dipelajari karena membutuhkan dedikasi dan disiplin yang tinggi. Kurangnya pemahaman tentang nilai dan relevansi Pasanggiri dalam kehidupan kontemporer bisa mengakibatkan kurangnya minat untuk terlibat, yang berujung pada krisis regenerasi. Lingkungan pendidikan dan sosial yang tidak terlalu mendukung apresiasi terhadap seni tradisional juga menjadi faktor.
Tantangan berikutnya adalah *keterbatasan regenerasi guru dan pelatih*. Banyak guru besar dan seniman tradisional yang usianya semakin lanjut, dan belum tentu ada generasi penerus yang memiliki dedikasi dan keilmuan setinggi mereka. Pengetahuan dan keterampilan yang diwariskan secara lisan, melalui proses "tatalepa" (dari mulut ke mulut) dan "tatapraksa" (belajar langsung), berisiko hilang jika tidak ada proses regenerasi yang kuat dan terstruktur. Ini menciptakan "generasi yang hilang" dalam mata rantai pewarisan budaya, di mana tidak ada yang dapat meneruskan ajaran murni dari para master.
*Dukungan finansial dan infrastruktur* juga menjadi masalah yang serius. Penyelenggaraan Pasanggiri yang berkualitas, dengan skala yang cukup untuk menarik perhatian, membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Mulai dari honor juri yang kompeten, hadiah yang menarik bagi peserta, sewa tempat yang representatif, hingga promosi yang efektif. Tanpa dukungan memadai dari pemerintah daerah, pihak swasta, atau komunitas, Pasanggiri bisa sulit untuk terus hidup dan berkembang, bahkan terancam mati suri. Infrastruktur untuk latihan dan pertunjukan juga seringkali kurang memadai, terutama di daerah pedesaan.
Selain itu, *standarisasi dan kurikulum* juga menjadi perdebatan yang berkelanjutan. Beberapa berpendapat bahwa Pasanggiri harus tetap fleksibel dan adaptif terhadap perkembangan zaman, memungkinkan inovasi dan kreasi baru. Sementara yang lain merasa perlu adanya standar baku yang ketat untuk menjaga kemurnian tradisi dan menghindari "pencemaran" budaya. Menemukan titik keseimbangan antara inovasi dan pelestarian adalah tantangan yang tidak mudah, membutuhkan dialog dan kompromi dari berbagai pihak yang peduli budaya.
Perkembangan teknologi juga membawa tantangan tersendiri. Di satu sisi, teknologi bisa menjadi alat promosi yang sangat efektif melalui media sosial dan platform digital, memperluas jangkauan Pasanggiri ke audiens yang lebih luas. Namun, di sisi lain, jika tidak dikelola dengan baik, teknologi juga bisa mengalihkan perhatian dari esensi pertunjukan langsung dan interaksi sosial yang menjadi ciri khas Pasanggiri. Ada risiko bahwa seni tradisional menjadi sekadar konten digital yang dangkal tanpa kedalaman makna, kehilangan konteks ritual dan komunitasnya. Selain itu, masalah hak cipta dan monetisasi konten seni tradisional di platform digital juga menjadi isu baru yang perlu ditangani.
Globalisasi juga membawa pengaruh budaya asing yang kuat, yang bisa mengikis identitas lokal. Generasi muda terpapar pada berbagai bentuk hiburan global yang serba cepat, menarik, dan mudah dikonsumsi. Membuat Pasanggiri relevan dan menarik di tengah gempuran budaya global ini adalah sebuah pekerjaan rumah yang besar. Ini menuntut para pegiat seni untuk lebih kreatif dalam mengemas Pasanggiri agar tetap diminati, tanpa mengorbankan nilai-nilai inti dan keotentikannya. Pemasaran budaya yang inovatif menjadi kunci untuk menarik kembali perhatian.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, Pasanggiri memiliki prospek yang sangat cerah jika dikelola dengan baik dan mendapat dukungan semua pihak. Potensinya untuk menjadi pilar kebudayaan nasional dan daya tarik pariwisata sangat besar.
Pendidikan dan Kurikulum: Memasukkan materi tentang Pasanggiri dan seni tradisional ke dalam kurikulum sekolah sejak dini dapat menumbuhkan minat dan apresiasi generasi muda secara fundamental. Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah dan universitas yang berfokus pada seni tradisional juga bisa menjadi wadah yang efektif untuk menumbuhkan bakat-bakat baru dan menyalurkan energi kreatif mereka. Pendekatan yang menyenangkan dan interaktif dalam pengajaran dapat membantu mengatasi persepsi bahwa seni tradisional itu sulit atau membosankan.
Inovasi dan Kreativitas: Pasanggiri tidak berarti harus stagnan. Inovasi dalam kemasan acara, promosi yang menarik, atau bahkan pembukaan kategori baru yang relevan dengan zaman, tanpa menghilangkan esensi tradisi, dapat menarik lebih banyak peserta dan penonton. Misalnya, Pasanggiri yang berkolaborasi dengan seniman kontemporer, festival seni lintas genre, atau penggunaan teknologi visual modern dalam pertunjukan dapat memberikan sentuhan segar. Namun, inovasi ini harus dilakukan dengan bijak dan tetap menghormati pakem-pakem yang ada, menjaga akar budaya tetap kuat.
Dukungan Pemerintah dan Swasta: Dukungan penuh dari pemerintah daerah, kementerian terkait (seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), serta pihak swasta dalam bentuk sponsor atau dana hibah sangat krusial untuk keberlanjutan Pasanggiri. Pasanggiri bukan hanya event budaya, tetapi juga investasi dalam identitas bangsa, pendidikan karakter, dan bahkan potensi ekonomi kreatif. Kebijakan yang mendukung pelestarian seni tradisional, seperti insentif bagi sanggar atau seniman, sangat dibutuhkan. Pendanaan yang stabil memungkinkan perencanaan jangka panjang dan program pengembangan yang berkelanjutan.
Pemanfaatan Teknologi: Media sosial, streaming langsung, dokumentasi digital yang berkualitas tinggi, dan platform edukasi online dapat digunakan secara maksimal untuk memperluas jangkauan Pasanggiri. Dokumentasi yang baik juga dapat menjadi arsip penting bagi studi, penelitian, dan pembelajaran di masa depan, menjamin bahwa pengetahuan tidak hilang. Aplikasi mobile interaktif atau virtual reality yang menampilkan Pasanggiri dapat menarik minat generasi digital. Teknologi harus dilihat sebagai alat, bukan pengganti, pengalaman langsung.
Kolaborasi Antarbudaya: Pasanggiri tidak harus terisolasi dalam lingkup Sunda saja. Kolaborasi dengan seni dan budaya dari daerah lain di Indonesia, atau bahkan dari luar negeri, dapat membuka cakrawala baru, memperkaya Pasanggiri itu sendiri, dan mempromosikannya ke kancah internasional. Pertukaran budaya semacam ini dapat menunjukkan universalitas nilai-nilai seni tradisional sambil tetap menonjolkan keunikan lokal. Ini juga bisa menjadi sarana untuk belajar dari pengalaman pelestarian budaya di tempat lain.
Harapan terbesar adalah bahwa Pasanggiri akan terus menjadi laboratorium budaya, tempat di mana tradisi diuji, diasah, dan dihidupkan kembali dengan semangat baru. Ia adalah jembatan yang menghubungkan kita dengan leluhur, sebuah cermin yang merefleksikan identitas kita, dan sebuah obor yang menerangi jalan bagi generasi mendatang untuk terus berkarya dan mencintai budayanya. Dengan demikian, Pasanggiri bukan hanya sekadar event tahunan, melainkan sebuah gerakan kultural yang berkelanjutan dan dinamis.
Ia membentuk karakter, memupuk kebanggaan, dan mengikat tali persaudaraan dalam komunitas seni. Masa depan Pasanggiri terletak pada kemampuan kita semua untuk menghargai masa lalu, beradaptasi dengan masa kini, dan berinovasi untuk masa depan. Dengan visi yang jelas dan upaya kolektif, Pasanggiri akan terus menjadi permata budaya yang tak lekang oleh waktu. Upaya pelestarian ini juga harus diiringi dengan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya seni tradisional. Workshop, pameran, dan pertunjukan reguler di ruang publik dapat membantu mengenalkan Pasanggiri kepada khalayak yang lebih luas, sehingga tidak hanya terbatas pada komunitas seni tertentu. Semakin banyak orang yang terpapar dan memahami Pasanggiri, semakin besar peluangnya untuk terus berkembang dan mendapatkan dukungan akar rumput.
Revitalisasi tradisi melalui Pasanggiri juga dapat menciptakan peluang ekonomi kreatif yang signifikan. Misalnya, industri pariwisata budaya dapat mempromosikan Pasanggiri sebagai daya tarik unik yang menarik wisatawan domestik maupun internasional. Penjualan produk-produk seni terkait, seperti alat musik tradisional, pakaian adat, cendera mata, atau bahkan tur budaya yang berpusat pada Pasanggiri, dapat meningkat, memberikan manfaat ekonomi langsung bagi masyarakat lokal dan seniman. Ini menunjukkan bahwa Pasanggiri tidak hanya memberikan nilai budaya, tetapi juga potensi ekonomi yang signifikan bagi masyarakat lokal, menjadikannya sebuah warisan yang berharga dalam berbagai aspek kehidupan.
Pasanggiri, dengan segala bentuk dan filosofinya, adalah salah satu mahkota kebudayaan Nusantara yang patut kita banggakan dan lestarikan dengan sepenuh hati. Ia adalah lebih dari sekadar kompetisi; ia adalah manifestasi dari semangat untuk melestarikan, mengembangkan, dan mewariskan nilai-nilai luhur kepada generasi berikutnya. Melalui Pasanggiri, kita tidak hanya menyaksikan keindahan seni yang memukau, tetapi juga merasakan denyut nadi kehidupan, disiplin, persaudaraan, dan kearifan lokal yang abadi, yang telah membentuk jiwa bangsa selama berabad-abad.
Di tengah dinamika zaman yang terus berubah dan gempuran modernisasi, Pasanggiri tetap berdiri tegak sebagai benteng budaya yang kokoh. Ia mengingatkan kita akan akar identitas kita sebagai bangsa Indonesia yang kaya raya, dengan tradisi yang mendalam dan bermakna. Dengan terus mendukung, berpartisipasi, dan mengapresiasi Pasanggiri, kita turut serta dalam menjaga api budaya agar tidak pernah padam, sehingga generasi mendatang dapat terus menikmati, mempelajari, dan meneruskan warisan tak ternilai ini. Ini adalah tanggung jawab kita bersama untuk memastikan bahwa Pasanggiri tetap relevan dan dicintai.
Mari kita bersama-sama menjadikan Pasanggiri sebagai inspirasi untuk terus berkarya, berinovasi, dan mencintai budaya sendiri, karena di sanalah terletak kekuatan, keunikan, dan kemuliaan bangsa kita. Setiap tepukan kendang yang bergemuruh, setiap lantunan tembang yang merdu, setiap gerak tarian yang anggun, dan setiap jurus silat yang tangguh adalah nyanyian abadi dari jiwa Nusantara yang tak lekang oleh waktu, terus berkumandang dan menginspirasi kita semua.