Mendapatkan angka pasti mengenai jumlah penduduk di wilayah yang kini kita kenal sebagai Indonesia pada pergantian abad ke-20 merupakan tugas yang kompleks. Pada masa itu, wilayah kepulauan ini masih berada di bawah kendali Hindia Belanda, dan sensus penduduk seperti yang kita kenal saat ini belum dilakukan secara komprehensif dan merata di seluruh teritori. Data yang tersedia sering kali merupakan estimasi, hasil proyeksi dari survei parsial, atau catatan administrasi terbatas yang fokus pada wilayah tertentu, terutama Jawa dan Madura yang merupakan pusat kekuasaan kolonial.
Periode tersebut ditandai dengan berbagai tantangan geografis, politik internal, dan keterbatasan teknologi pencatatan sipil. Oleh karena itu, ketika para sejarawan dan demografer mencoba merekonstruksi populasi Nusantara pada awal dekade tersebut, mereka harus menggabungkan berbagai sumber—mulai dari laporan pajak, data wajib militer (jika ada), hingga perkiraan berdasarkan kepadatan lahan pertanian.
Jika kita melihat lebih detail, Jawa selalu menjadi barometer populasi karena kepadatan penduduknya yang ekstrem bahkan sejak masa pra-kolonial. Kontrol kolonial di Jawa jauh lebih intensif, sehingga data sensus (atau sensus parsial) di sana cenderung lebih andal, meskipun masih memiliki margin kesalahan. Pada masa itu, Jawa dan Madura sudah menampung mayoritas penduduk dari keseluruhan wilayah jajahan.
Pertumbuhan penduduk di Jawa sangat dipengaruhi oleh kebijakan tanam paksa (Cultuurstelsel) yang telah berakhir beberapa dekade sebelumnya, namun dampaknya masih terasa dalam struktur ekonomi dan sosial. Meskipun terdapat wabah penyakit dan ketidakpastian pangan di beberapa area, tingkat reproduksi tetap tinggi, didorong oleh kebutuhan tenaga kerja agraria yang masif. Perkiraan terpisah untuk Jawa saja sering kali menempatkan populasinya di kisaran 20 juta jiwa atau sedikit di atasnya, menunjukkan dominasi absolut pulau ini terhadap total populasi Hindia Belanda.
Sementara Jawa padat, wilayah di luar Jawa menunjukkan pola yang sangat berbeda. Sumatra, meskipun luas, sebagian besar wilayahnya masih merupakan 'daerah luar' (Buitengewesten) dengan kontrol kolonial yang sporadis. Populasi di sana lebih tersebar, seringkali terpusat di sepanjang garis pantai untuk tujuan perdagangan atau di daerah yang baru dibuka untuk perkebunan ekspor seperti Deli. Mencatat populasi di pedalaman Kalimantan atau Papua pada masa itu hampir tidak mungkin dilakukan dengan akurasi yang memadai.
Estimasi untuk wilayah lain seperti Borneo dan Celebes (Sulawesi) hanya mencapai beberapa juta jiwa secara gabungan. Faktor-faktor seperti migrasi internal yang didorong oleh eksploitasi sumber daya alam dan tingkat mortalitas akibat intervensi asing turut memainkan peran signifikan dalam fluktuasi angka di luar Jawa.
Meskipun angka pasti sulit dipastikan, gambaran umum yang muncul adalah sebuah kepulauan yang relatif jarang penduduknya jika dibandingkan dengan luas wilayahnya, namun sangat terkonsentrasi di satu pulau vulkanik subur. Estimasi awal abad ke-20 ini menjadi titik nol penting bagi studi demografi Indonesia di masa kemerdekaan. Data yang lebih akurat mulai terkumpul seiring dengan meningkatnya profesionalisme administrasi pada dekade berikutnya di bawah kekuasaan Belanda, terutama setelah kebijakan etis mulai memberikan sedikit perhatian pada pembangunan sosial.
Memahami bahwa populasi saat itu masih jauh lebih kecil dibandingkan populasi Indonesia saat ini (ratusan juta jiwa) membantu kita mengapresiasi laju pertumbuhan demografi yang luar biasa dalam rentang waktu lebih dari satu abad. Data awal ini—baik itu estimasi ketat 26 juta atau proyeksi longgar mendekati 30 juta—tetap menjadi dasar historis untuk melacak perkembangan kesehatan masyarakat, urbanisasi, dan transformasi ekonomi yang terjadi di Nusantara.
Kesimpulannya, angka spesifik jumlah penduduk Indonesia pada permulaan abad lalu bersifat tentatif, namun konsensus menempatkan total populasi Hindia Belanda di kisaran puluhan juta. Data ini adalah cerminan dari kondisi administrasi, tantangan epidemiologi, dan struktur agraris yang mendominasi kehidupan mayoritas penduduk di kepulauan tersebut sebelum transisi besar menuju era modern dan kemerdekaan.