Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan kekayaan budaya dan alam yang luar biasa, menyimpan berbagai kearifan lokal yang unik dan seringkali terjalin erat dengan fenomena alam. Di antara kekayaan tersebut, terdapat istilah-istilah seperti hitungan Jawa, keberadaan Gunung Guntur, dan fenomena langka segoro asat. Ketiganya mungkin tampak berbeda, namun saat ditelaah lebih dalam, mereka menawarkan perspektif menarik tentang cara pandang masyarakat Jawa terhadap waktu, alam, dan takdir.
Hitungan Jawa, atau yang lebih dikenal dengan nama neptu atau pranata mangsa, merupakan sistem kalender dan penanggalan yang digunakan oleh masyarakat Jawa. Sistem ini tidak hanya mencatat perputaran hari, bulan, dan tahun, tetapi juga memiliki dimensi filosofis yang mendalam. Neptu, misalnya, adalah nilai numerik yang diberikan pada setiap hari dalam siklus mingguan (pasaran) dan hari dalam seminggu, yang kemudian dijumlahkan untuk menentukan perwatakan, rezeki, dan bahkan kecocokan jodoh.
Pranata mangsa, di sisi lain, adalah sistem kalender pertanian yang membagi tahun menjadi 12 mangsa atau periode, masing-masing dengan ciri khas musim dan cocok tanamnya. Sistem ini menjadi panduan penting bagi para petani Jawa selama berabad-abad, membantu mereka mengoptimalkan hasil panen dengan menyesuaikan kegiatan pertanian dengan pola alam.
Lebih jauh lagi, hitungan Jawa mencakup pula berbagai perhitungan lain seperti weton (hari kelahiran yang dikaitkan dengan hari pasaran), pawukon (siklus 35 hari yang unik), dan berbagai metode numerologi lainnya. Keseluruhan sistem ini menunjukkan betapa masyarakat Jawa memiliki kedekatan emosional dan spiritual dengan alam semesta, di mana angka dan waktu bukan sekadar alat ukur, tetapi juga cerminan dari tatanan kosmos yang lebih besar.
Beranjak dari ranah perhitungan, kita beralih ke alam fisik dengan Gunung Guntur. Terletak di Garut, Jawa Barat, Gunung Guntur adalah gunung berapi yang memiliki sejarah letusan yang cukup aktif. Kehadiran gunung berapi, bagi masyarakat Jawa, seringkali tidak hanya dilihat dari sisi geologisnya, tetapi juga mengandung makna simbolis yang kaya. Gunung sering dianggap sebagai tempat bersemayamnya kekuatan gaib, perantara antara dunia manusia dan dunia ilahi, atau bahkan sebagai representasi dari kegigihan dan keteguhan.
Meskipun Gunung Guntur mungkin tidak memiliki kisah mitologis sekokoh gunung-gunung lain di Jawa, energinya sebagai gunung berapi aktif tetap memberikan rasa hormat dan kewaspadaan. Ketenangan lanskapnya yang menawan dapat sewaktu-waktu berubah menjadi kekuatan alam yang dahsyat. Pengamatan terhadap gunung berapi, termasuk Gunung Guntur, juga bisa menjadi pengingat akan kekuatan alam yang tak terduga, yang perlu dihormati dan dipahami.
Ketika membahas fenomena alam yang lebih ekstrem, muncullah istilah segoro asat. Dalam bahasa Jawa, "segoro" berarti laut dan "asat" berarti kering atau surut. Fenomena segoro asat merujuk pada peristiwa surutnya air laut yang luar biasa, hingga sebagian besar dasar laut tampak terbuka. Fenomena ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari pasang surut yang ekstrem, pergeseran lempeng tektonik, hingga gelombang tsunami yang datang lebih dulu sebelum air laut kembali.
Di masyarakat nelayan, peristiwa segoro asat seringkali menimbulkan rasa takjub sekaligus kecemasan. Takjub karena melihat pemandangan yang jarang terjadi, di mana biota laut yang biasanya tersembunyi kini terlihat jelas. Kecemasan muncul karena fenomena ini bisa menjadi pertanda akan datangnya bencana alam yang lebih besar, seperti gempa bumi atau tsunami. Dalam konteks ini, segoro asat menjadi semacam peringatan alam yang harus diwaspadai.
Meski memiliki domain masing-masing, hitungan Jawa, Gunung Guntur, dan fenomena segoro asat dapat dilihat sebagai bagian dari satu kesatuan pemahaman masyarakat Jawa terhadap semesta. Hitungan Jawa memberikan kerangka untuk memahami siklus dan takdir, Gunung Guntur merepresentasikan kekuatan alam yang megah namun terkadang mengancam, sementara segoro asat adalah manifestasi langsung dari perubahan dan kekuatan yang tak terduga di alam.
Kesemua elemen ini mengajarkan tentang pentingnya keseimbangan, penghormatan terhadap alam, dan kemampuan untuk membaca tanda-tanda alam. Dalam era modern ini, di mana teknologi semakin mendominasi, kearifan lokal yang tercermin dalam hitungan Jawa, pengamatan terhadap fenomena alam seperti Gunung Guntur, dan kewaspadaan terhadap peristiwa seperti segoro asat, tetap relevan untuk menjaga harmoni antara manusia dan lingkungan.