Di antara kekayaan warisan budaya Nusantara, musik tradisional memegang peranan penting dalam merefleksikan identitas dan kearifan lokal. Salah satu instrumen musik yang paling unik dan ikonik dari Jawa Barat adalah Angklung. Dibuat dari bambu pilihan, Angklung bukan sekadar alat musik biasa, melainkan sebuah manifestasi artistik yang menggabungkan keindahan suara dengan nilai-nilai budaya yang mendalam. Keunikan Angklung terletak pada cara ia menghasilkan bunyi, yang menempatkannya dalam kategori alat musik idiophone.
Dalam klasifikasi Hornbostel-Sachs, alat musik dibagi berdasarkan cara ia menghasilkan suara. Idiophone adalah kategori alat musik yang menghasilkan suara utamanya melalui getaran dari tubuh instrumen itu sendiri, tanpa bantuan senar, membran, atau kolom udara. Angklung sangat sesuai dengan definisi ini. Ketika digoyangkan, tabung-tabung bambu yang terikat pada bingkai utama akan saling berbenturan, menghasilkan getaran yang kemudian diperkuat oleh resonansi tabung bambu yang lebih besar. Setiap pasangan tabung bambu pada satu set Angklung menghasilkan nada yang berbeda, menciptakan harmoni yang merdu ketika dimainkan bersama.
Akar Angklung dapat ditelusuri hingga masa Kerajaan Sunda, diperkirakan sekitar abad ke-7 hingga ke-16. Awalnya, Angklung diciptakan dan digunakan oleh masyarakat Sunda sebagai bagian dari ritual kesenian tradisional, terutama saat menanam padi dan memanen. Bunyi Angklung dipercaya memiliki kekuatan magis untuk memanggil Dewi Sri, dewi kesuburan dalam mitologi Sunda, agar memberikan panen yang melimpah. Seiring waktu, fungsi Angklung berkembang dari ritual keagamaan menjadi hiburan dan sarana ekspresi budaya.
Pada abad ke-20, tokoh seperti Daeng Soetigna berperan penting dalam melestarikan dan memodernisasi Angklung. Beliau dikenal sebagai pelopor yang mengembangkan teknik permainan Angklung agar dapat memainkan tangga nada diatonis, yang memungkinkan Angklung dimainkan bersama instrumen musik modern lainnya dan membawakan berbagai jenis lagu, dari lagu daerah hingga lagu pop. Upaya ini menjadikan Angklung semakin dikenal luas dan dihargai sebagai warisan budaya yang hidup.
Inti dari Angklung adalah penggunaan bambu, yang tumbuh subur di wilayah Jawa Barat. Jenis bambu yang paling umum digunakan adalah bambu tali (Gigantochloa apus) dan bambu ater (Gigantochloa atter) karena memiliki tekstur yang kuat, lentur, dan mampu menghasilkan bunyi yang jernih. Proses pembuatannya membutuhkan ketelitian tinggi.
Setiap Angklung biasanya memiliki dua atau lebih tabung bunyi yang saling terikat. Untuk menciptakan melodi atau harmoni yang kompleks, para pemain biasanya memegang beberapa set Angklung yang menghasilkan nada-nada berbeda.
Cara paling umum memainkan Angklung adalah dengan menggoyangkannya. Pemain akan memegang bagian atas bingkai Angklung dan menggetarkannya ke kiri dan ke kanan. Gerakan ini menyebabkan tabung-tabung bunyi saling berbenturan, menghasilkan suara yang diinginkan.
Ada beberapa teknik dasar yang digunakan:
Keindahan dan keunikan Angklung tidak hanya diapresiasi di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia. Pada tahun 2010, UNESCO telah mengakui Angklung sebagai Warisan Budaya Takbenda Manusia dari Indonesia, sebuah pengakuan yang menegaskan statusnya sebagai aset budaya dunia. Kini, Angklung sering dimainkan dalam berbagai acara internasional, festival budaya, hingga konser musik. Banyak sekolah dan komunitas di luar negeri yang juga mempelajari dan memainkan Angklung, menunjukkan daya tarik universal dari alat musik bambu sederhana ini.
Angklung adalah bukti nyata bagaimana kesederhanaan bahan dan kearifan lokal dapat menghasilkan sebuah mahakarya seni yang mendunia. Sebagai sebuah idiophone yang mempesona, Angklung terus mengalunkan nada-nada keindahan dan melestarikan kekayaan budaya Nusantara.