Kurikulum Merdeka, dengan semangat otonomi dan fleksibilitasnya, telah membawa angin segar—dan terkadang sedikit kebingungan—ke dunia pendidikan Indonesia. Filosofi "merdeka belajar" yang digalakkan memang terdengar indah di atas kertas, namun implementasinya di lapangan seringkali memunculkan anekdot-anekdot yang menggelitik sekaligus reflektif. Anekdot-anekdot ini adalah cerminan jujur dari adaptasi yang sedang berlangsung, di mana guru dan siswa berusaha keras menavigasi lautan kebebasan yang baru.
Salah satu ciri khas Kurikulum Merdeka adalah adanya P5, yang menuntut siswa menerapkan nilai-nilai Pancasila melalui proyek kolaboratif. Awalnya, guru berharap siswa akan memilih topik yang mendalam dan relevan. Namun, kenyataan seringkali menggelitik.
Di sebuah sekolah menengah pertama, seorang guru koordinator P5 kebingungan. "Bu, kami bingung, mau proyek gotong royong, tapi topiknya apa?" tanya seorang siswa dengan serius. Setelah berdiskusi panjang, akhirnya muncul ide: "Bagaimana kalau proyek kita 'Mengoptimalkan Tempat Sampah di Kantin'?" Guru tersebut sempat menahan tawa. Topik yang sederhana itu ternyata menjadi ajang pertama siswa belajar tentang manajemen sampah, kolaborasi, hingga presentasi hasil kerja. Meskipun awalnya terasa sepele, guru tersebut menyadari bahwa kesederhanaan topik justru membebaskan siswa dari tekanan harus membahas isu global, dan fokus pada dampak nyata di sekitar mereka.
Anekdot ini menunjukkan bahwa konsep "merdeka dalam memilih" kadang butuh sedikit bimbingan agar tidak jatuh pada hal yang terlalu mudah, namun penting untuk menghargai inisiatif awal siswa, sekecil apapun itu.
Kurikulum Merdeka memberikan keleluasaan bagi guru untuk mengatur alokasi waktu, tidak lagi terpaku kaku per jam pelajaran 35 menit. Ini memungkinkan pembelajaran mendalam (deep learning). Namun, hal ini juga memunculkan tantangan logistik.
Pernah terjadi di salah satu sekolah dasar yang menerapkan pembelajaran berbasis eksplorasi lingkungan. Kelas Sains yang seharusnya hanya dua jam dialokasikan menjadi satu sesi penuh sore hari karena mereka sedang melakukan observasi serangga di taman sekolah. Sang guru lupa memberitahu bahwa sesi tersebut akan diperpanjang. Ketika lonceng akhir sekolah berbunyi, beberapa siswa yang baru menyadari waktu sudah sore langsung panik.
"Bu Guru, sepatu saya sudah bau lumpur semua ini! Ibu tidak bilang kita akan jadi 'peneliti lapangan' sampai maghrib!" seru seorang siswa sambil tertawa. Meskipun sedikit kacau, eksplorasi mendalam itu memberikan kesan yang jauh lebih permanen daripada sekadar membaca teks di buku.
Penekanan pada asesmen formatif—penilaian yang bertujuan memperbaiki proses belajar, bukan hanya memberi nilai akhir—adalah perubahan besar. Guru kini didorong untuk memberikan umpan balik yang spesifik dan membangun.
Ada cerita seorang guru Bahasa Indonesia yang merasa lelah setelah menganalisis puluhan esai siswa. Daripada menulis nilai di kertas, ia memutuskan untuk merekam dirinya selama tiga menit, menjelaskan secara umum kelebihan dan kekurangan tulisan di kelas itu, lalu mengirimkan rekaman audio tersebut kepada siswa. Keesokan harinya, seorang siswa bertanya dengan bingung: "Bu, nilai saya hilang, diganti dengan suara Ibu yang lagi curhat?" Guru itu tersenyum. "Itu bukan nilai, Nak. Itu adalah panduan agar tulisanmu tahun depan lebih hebat."
Anekdot-anekdot di atas, meskipun ringan, menunjukkan bahwa Kurikulum Merdeka adalah sebuah proses adaptif yang membutuhkan kesabaran, kreativitas, dan sedikit humor. Kebebasan yang ditawarkan menuntut guru dan siswa untuk lebih proaktif, mandiri, dan bertanggung jawab atas proses belajar mereka. Pada akhirnya, keberhasilan implementasi kurikulum ini tidak hanya diukur dari dokumen, tetapi dari seberapa banyak tawa, diskusi, dan pengalaman nyata yang tercipta di ruang kelas—tepat seperti semangat merdeka itu sendiri. Proses ini mungkin masih diwarnai kebingungan sesekali, namun optimisme dan semangat untuk menciptakan pembelajaran yang lebih bermakna tetap menyala terang.