Dalam lautan hikmah dan petunjuk ilahi yang terkandung dalam Al-Qur'an, terdapat ayat-ayat yang senantiasa mengingatkan umat manusia akan pentingnya keimanan, ketakwaan, dan kesiapan menghadapi segala bentuk ujian. Salah satu ayat yang memberikan penekanan kuat pada aspek ini adalah Surat An Nisa ayat 73. Ayat ini bukan sekadar bacaan, melainkan sebuah panduan praktis yang mengarahkan kita untuk memahami hakikat pertolongan Allah dan konsekuensi dari pilihan hidup kita.
وَلَئِنْ أَصَابَكُمْ فَضْلٌ مِّنَ ٱللَّهِ لَيَقُولَنَّ يَـٰلَيْتَنِى كُنتُ مَعَهُمْ فَأَخُزُ فَوْزًا عَظِيمًا
"Dan sesungguhnya jika kamu ditimpa karunia (kemenangan, harta, atau kesuksesan) dari Allah, niscaya dia akan berkata sebagaimana yang belum pernah dia katakan, seolah-olah belum pernah ada persahabatan antara kamu dan dia, 'Mudah-mudahan aku bersama mereka, agar aku memperoleh keberuntungan yang besar'."
Surat An Nisa, yang berarti "Perempuan", adalah surat Madaniyyah yang banyak membahas hukum-hukum keluarga, hak-hak wanita, serta berbagai aspek sosial kemasyarakatan. Dalam konteks ayat 73 ini, Allah SWT sedang menjelaskan tentang realitas sebagian manusia yang memiliki sifat kemunafikan atau kelemahan iman. Mereka hanya menampakkan diri ketika ada keuntungan atau kesuksesan yang terlihat jelas. Ketika pertolongan Allah datang dalam bentuk kemenangan perang, harta rampasan, atau kesuksesan duniawi lainnya, mereka justru berharap ikut serta untuk meraih bagian.
Frasa "layaqoolanna yaa laitanī kuntu ma'ahum fa'akhuzá fawzan 'aẓīmā" menggambarkan sebuah penyesalan dan keinginan yang kuat untuk ikut serta dalam keberuntungan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa fokus perhatian mereka bukanlah pada keridaan Allah atau perjuangan di jalan-Nya, melainkan semata-mata pada hasil duniawi yang menggiurkan. Keberuntungan yang dimaksud di sini bukanlah sekadar kemenangan fisik, tetapi juga segala bentuk kesuksesan materi dan keduniawian yang membuat mereka merasa iri dan menyesal jika tidak terlibat.
Ayat ini secara implisit membandingkan sikap tersebut dengan sikap orang-orang yang beriman dan bertakwa sejati. Orang bertakwa tidak menjadikan keuntungan duniawi sebagai satu-satunya tujuan. Mereka berjuang di jalan Allah semata-mata karena perintah-Nya dan mengharapkan balasan dari-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Bagi mereka, kemenangan yang hakiki adalah ketika mereka dapat menjalankan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan meraih surga-Nya. Keberuntungan duniawi, meskipun diraih, hanyalah bonus semata dan tidak menjadi fokus utama.
Keutamaan bertakwa adalah meraih kedekatan dengan Allah SWT. Orang yang bertakwa senantiasa merasa diawasi oleh Allah dan berusaha untuk selalu berada dalam koridor syariat-Nya. Mereka tidak tergiur oleh kesenangan sesaat yang dapat menjauhkan mereka dari tujuan akhir. Kemenangan atau kesuksesan yang mereka raih adalah hasil dari perjuangan yang didasari keikhlasan dan niat yang tulus untuk mengabdi kepada Sang Pencipta.
Dalam ayat-ayat sebelumnya, Allah SWT memerintahkan kaum mukminin untuk berjihad di jalan-Nya. Perintah ini mengandung konsekuensi berupa risiko dan kesulitan. Namun, ayat 73 ini seolah memberikan gambaran tentang tipe manusia yang enggan mengambil risiko tersebut kecuali jika ia yakin akan mendapatkan keuntungan besar. Ini menjadi pengingat bagi kita untuk tidak hanya tergiur oleh hasil, tetapi juga siap menghadapi proses dan kesulitan demi meraih ridha Allah.
Penting bagi setiap Muslim untuk merenungkan makna ayat ini. Apakah motivasi kita dalam beribadah dan beramal sudah benar? Apakah kita mencari keridaan Allah semata, atau ada unsur keinginan untuk mendapatkan keuntungan duniawi yang dominan? Keberuntungan besar yang dijanjikan dalam ayat ini, jika ditelaah lebih dalam, adalah keberuntungan akhirat. Surga adalah puncak keberuntungan yang hakiki, dan untuk mencapainya, diperlukan perjuangan, kesabaran, dan ketakwaan yang teguh.
Ayat ini juga mengajarkan kepada kita pentingnya menjaga hubungan persaudaraan di antara sesama mukmin. Sikap iri dan keinginan untuk hanya ikut menikmati hasil tanpa ikut merasakan proses perjuangan justru dapat merusak hubungan tersebut. Seorang mukmin sejati akan selalu mendukung saudaranya, baik dalam suka maupun duka, baik dalam kemenangan maupun kekalahan.
Simbol cahaya yang menerangi jalan kebaikan dan keberuntungan hakiki.
Surat An Nisa ayat 73 mengingatkan kita untuk senantiasa mengoreksi niat dalam setiap amal perbuatan. Menghadapi berbagai situasi, baik yang penuh kemudahan maupun tantangan, hendaknya kita memposisikan diri sebagai hamba Allah yang taat, bukan sebagai pencari keuntungan semata. Ketakwaan yang tulus akan membawa keberuntungan yang hakiki, yaitu kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Jadikan ayat ini sebagai motivasi untuk terus berjuang di jalan Allah dengan ikhlas, bukan hanya mengharapkan apa yang tampak di depan mata, melainkan apa yang dijanjikan oleh Dzat Yang Maha Kuasa.