Dalam Al-Qur'an, terdapat banyak ayat yang memberikan panduan moral, hukum, dan sosial bagi umat Islam. Salah satu ayat yang memiliki makna mendalam dan sering menjadi rujukan terkait pengasuhan anak yatim dan pengelolaan harta adalah Surah An-Nisa ayat ke-6. Ayat ini bukan sekadar instruksi, melainkan sebuah amanah besar yang menuntut kejujuran, kehati-hatian, dan tanggung jawab penuh dari para wali atau orang yang dipercayakan mengurus anak yatim beserta harta peninggalannya.
Ayat ini menguraikan beberapa aspek krusial dalam pengelolaan harta anak yatim, yang mencakup:
Frasa "وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ" (Dan ujilah anak-anak yatim itu) menekankan pentingnya proses pengujian dan pengawasan terhadap kemampuan anak yatim dalam mengelola harta. Ujian ini dilakukan hingga mereka mencapai usia yang matang dan siap menikah ("حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ"). Usia ini menjadi indikator kematangan mental dan emosional untuk dapat dipercayakan mengurus harta. Pengujian ini bukan semata-mata menunggu usia, tetapi juga melihat indikator kecerdasan dan kematangan mereka dalam memandang dan mengurus keuangan.
Syarat utama penyerahan harta adalah ketika wali atau pengasuh "آنَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْدًا" (menurut penilaianmu mereka telah cerdas/pandai mengurus). Kata "rusydan" di sini merujuk pada kecerdasan, kedewasaan, dan kemampuan untuk bertindak bijak dalam mengelola urusan duniawi, termasuk harta. Ini adalah penilaian subjektif namun harus dilandasi oleh observasi yang objektif dan jujur dari sang wali. Jika anak yatim belum menunjukkan tanda-tanda kedewasaan dalam mengelola harta, maka harta tersebut tetap berada di bawah pengawasan wali.
Ayat ini secara tegas melarang para wali untuk memakan harta anak yatim "إِسْرَافًا وَبَدَرًا أَن يَكْبَرُوا" (berlebih-lebihan dan tergesa-gesa karena takut mereka akan dewasa). "Israf" berarti melampaui batas kewajaran, boros, dan menghambur-hamburkan. "Badaran" berarti tergesa-gesa atau mengambil sebelum waktunya. Ini menunjukkan larangan untuk menyalahgunakan harta anak yatim demi kepentingan pribadi, apalagi dengan cara yang tidak jujur.
Ayat ini memberikan pedoman yang adil bagi wali yang mengurus harta anak yatim. Bagi wali yang "كَانَ غَنِيًّا" (kaya), ia diperintahkan untuk "فَلْيَسْتَعْفِفْ" (menahan diri dari memakannya). Ini berarti wali yang berkecukupan tidak diperbolehkan mengambil bagian dari harta anak yatim kecuali untuk menutupi biaya pengelolaan yang wajar dan diperlukan. Sebaliknya, bagi wali yang "كَانَ فَقِيرًا" (fakir), ia boleh memakan harta tersebut "بِالْمَعْرُوفِ" (dengan cara yang baik/patut). Makna "bi al-ma'ruf" adalah mengambil secukupnya sesuai dengan kebutuhan dan usaha yang dilakukan dalam mengurus harta tersebut, bukan untuk menimbun kekayaan pribadi. Tujuannya adalah agar harta anak yatim tetap terjaga dan dapat dikembalikan sepenuhnya saat mereka dewasa.
Saat menyerahkan harta kepada anak yatim yang telah dianggap mampu, Allah memerintahkan untuk "فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ" (adakan saksi terhadap mereka). Ini adalah langkah penting untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan harta. Keberadaan saksi bertujuan untuk melindungi kedua belah pihak, baik anak yatim dari kemungkinan penyalahgunaan di masa depan maupun wali dari tuduhan yang tidak berdasar. Saksi dapat berupa dua orang laki-laki muslim yang adil, atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan muslimah yang adil, sesuai dengan prinsip kesaksian dalam Islam.
Kalimat penutup "وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبًا" (Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas) mengingatkan bahwa segala tindakan, baik yang terlihat maupun tersembunyi, akan diperhitungkan oleh Allah SWT. Pengingat ini sangat penting untuk menumbuhkan rasa takut kepada Allah dan kejujuran dalam menjalankan amanah yang besar ini.
An Nisa ayat 6 mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga hak-hak anak yatim. Ini bukan hanya masalah hukum waris, tetapi juga tanggung jawab sosial dan moral yang diemban oleh komunitas. Allah SWT telah menciptakan mekanisme yang adil untuk melindungi anak-anak yang kehilangan orang tua, memastikan bahwa mereka tidak ditelantarkan atau hartanya disalahgunakan.
Ayat ini juga menggarisbawahi prinsip kehati-hatian dan keadilan dalam Islam. Pengelolaan harta harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab, integritas, dan selalu dalam kerangka syariat. Kematangan dalam mengelola harta adalah syarat mutlak sebelum harta tersebut diserahkan. Hal ini untuk mencegah kerugian yang bisa timbul akibat ketidakmampuan anak yatim dalam mengelola kekayaan yang tiba-tiba diterimanya.
Lebih dari itu, ayat ini adalah pengingat bagi setiap individu yang memegang amanah untuk senantiasa bermuhasabah diri dan menyadari bahwa setiap tindakan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Sang Pencipta. Dengan memahami dan mengamalkan An Nisa ayat 6, kita turut membangun masyarakat yang peduli terhadap kaum lemah dan memastikan keadilan ditegakkan bagi semua.