Surah An-Nisa, yang berarti "Para Wanita", merupakan surah Madaniyah yang kaya akan ajaran dan tuntunan, terutama berkaitan dengan hubungan sosial, hukum keluarga, dan prinsip-prinsip keadilan dalam masyarakat. Di antara ayat-ayat penting yang terkandung di dalamnya, rentang ayat 60 hingga 65 memiliki makna mendalam yang relevan bagi setiap Muslim dalam menjalani kehidupan. Ayat-ayat ini mengingatkan kita tentang pentingnya patuh kepada Allah dan Rasul-Nya, menjauhi kemunafikan, serta bagaimana bersikap dalam menghadapi perselisihan dan keputusan hukum.
Ayat 60 dari Surah An-Nisa berbunyi:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
"Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku beriman pada apa yang diturunkan kepadamu dan sebelummu? Mereka hendak menjadikan taghut (semacam berhala atau pemimpin yang jahat) sebagai hukum; padahal sesungguhnya mereka telah diperintahkan untuk mengingkarinya. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka sejauh-jauhnya."
Ayat ini secara tegas mengecam sikap orang-orang yang mengaku beriman, namun dalam praktiknya lebih memilih hukum selain hukum Allah dan Rasul-Nya. 'Taghut' di sini dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang disembah selain Allah, atau sistem hukum dan aturan yang bertentangan dengan syariat Islam. Perintah untuk mengingkari taghut menunjukkan bahwa keimanan yang sejati mensyaratkan penolakan total terhadap segala bentuk kesesatan dan ketidakadilan. Mengacu pada selain Allah dalam penyelesaian masalah adalah bentuk dari kemunafikan dan jebakan setan yang bertujuan menjauhkan manusia dari kebenaran.
Selanjutnya, ayat 61 menjelaskan konsekuensi dari sikap tersebut:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
"Dan apabila dikatakan kepada mereka: 'Marilah (kembali) kepada apa (hukum) yang Allah telah turunkan dan kepada Rasul,' niscaya engkau (Muhammad) lihat orang-orang munafik menahan diri dengan keras darimu."
Ayat ini melukiskan perilaku orang munafik ketika diajak kembali kepada aturan Allah dan ajaran Rasul. Mereka menunjukkan penolakan yang kuat, enggan tunduk pada tuntunan Ilahi. Sikap ini adalah manifestasi dari keraguan dan keengganan mereka untuk sepenuhnya berkomitmen pada Islam. Ajakan untuk kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah panggilan untuk menegakkan keadilan, kebenaran, dan ketertiban yang bersumber dari Yang Maha Pencipta.
Ayat 62 dan 63 menyoroti bagaimana orang-orang munafik bereaksi ketika melihat sesuatu yang membawa mereka pada kesulitan akibat perbuatan mereka:
فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَاءُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا إِحْسَانًا وَتَوْفِيقًا
"Maka bagaimanakah (keadaan) mereka apabila mereka ditimpa musibah disebabkan apa yang telah mereka perbuat, kemudian mereka datang kepadamu (Muhammad) dengan bersumpah, 'Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain kebaikan dan perdamaian.'"
Ketika musibah menimpa akibat kesalahan mereka, orang-orang munafik datang dengan berbagai alasan dan sumpah palsu. Mereka mengklaim niat baik dan keinginan untuk mendamaikan, padahal sebenarnya mereka hanya ingin menyelamatkan diri dari konsekuensi perbuatan mereka. Ayat ini mengingatkan kita untuk tidak mudah tertipu oleh ucapan manis dan sumpah, melainkan melihat pada perbuatan nyata.
Ayat 64 dan 65 menutup rentetan ini dengan penegasan dan harapan:
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلًا بَلِيغًا
"Mereka itulah orang-orang yang Allah Maha Mengetahui apa yang ada dalam hati mereka. Maka dari itu, berpalinglah engkau (Muhammad) dari mereka, berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwa mereka."
Ayat 64 menggarisbawahi bahwa Allah Maha Mengetahui isi hati setiap hamba-Nya. Manusia hanya bisa menilai lahiriah, namun Allah menilai ketulusan dan niat yang tersembunyi. Kepada orang-orang seperti itu, Rasulullah diperintahkan untuk bersikap bijak: berpaling dari keburukan mereka tanpa membalasnya, memberikan nasihat yang mendidik, dan menyampaikan perkataan yang dapat menyentuh hati mereka.
Ayat 65 menambahkan:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. Dan sekiranya mereka ketika menganiaya diri sendiri datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan bagi mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang."
Ayat ini menegaskan bahwa ketaatan kepada Rasul adalah perintah Allah, dan Rasul diutus untuk memimpin umat manusia kepada jalan kebenaran. Bagi siapa pun yang telah berbuat salah atau zalim terhadap diri sendiri, pintu taubat selalu terbuka. Caranya adalah dengan kembali kepada Allah, memohon ampunan, dan Rasulullah sebagai penengah yang akan memohonkan ampunan bagi mereka. Ini adalah rahmat dan kasih sayang Allah yang tak terhingga, yang senantiasa membuka peluang bagi hamba-Nya untuk kembali ke jalan yang benar.
Surah An-Nisa ayat 60-65 memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya menjadikan hukum Allah sebagai pedoman hidup. Ayat-ayat ini mengingatkan kita untuk waspada terhadap kemunafikan, menolak segala bentuk ketidakadilan, dan selalu berusaha taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Di samping itu, ayat-ayat ini juga membuka harapan melalui pintu taubat yang selalu tersedia bagi mereka yang sadar akan kesalahannya dan kembali memohon ampunan kepada Allah, dengan perantaraan doa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Memahami dan merenungkan ayat-ayat ini adalah langkah awal untuk mengokohkan keimanan dan menjalani kehidupan sesuai tuntunan Ilahi.