Surah An-Nisa, yang berarti "Wanita", adalah surah Madaniyyah yang memiliki kedalaman makna dan menjadi sumber hukum penting dalam Islam. Di antara ayat-ayat yang sangat krusial dalam surah ini adalah ayat ketiga dan keempat. Ayat-ayat ini tidak hanya mengatur aspek pernikahan dan keluarga, tetapi juga menekankan pentingnya keadilan dan amanah, terutama dalam konteks relasi antara laki-laki dan perempuan, serta anak yatim. Memahami kandungan ayat ini secara mendalam adalah kunci untuk membangun masyarakat yang harmonis dan adil.
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
"Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Itulah yang lebih dekat agar kamu tidak berbuat aniaya."
Ayat ketiga Surah An-Nisa ini seringkali menjadi sorotan dan kadang disalahpahami. Ayat ini memberikan izin kepada laki-laki untuk berpoligami hingga empat orang istri. Namun, izin ini tidak bersifat mutlak dan datang dengan sebuah syarat yang sangat berat: kemampuan untuk berlaku adil. Keadilan di sini mencakup aspek lahiriah dan batiniah, seperti pemberian nafkah yang setara, pembagian waktu yang adil, perlakuan yang sama, dan tidak membeda-bedakan kasih sayang.
Penting untuk dicatat bahwa ayat ini turun dalam konteks sosial masyarakat Arab saat itu yang memiliki kebiasaan berpoligami tanpa batasan dan seringkali tanpa memperhatikan hak-hak wanita. Islam, melalui ayat ini, datang untuk mengatur dan membatasi praktik tersebut, sekaligus menegaskan prinsip keadilan sebagai syarat mutlak. Jika seorang laki-laki merasa tidak mampu memenuhi tuntutan keadilan yang ketat ini, maka pilihan terbaik adalah menikahi satu orang wanita saja atau bahkan tidak menikah jika kondisi tidak memungkinkan untuk berlaku adil. Ayat ini sejatinya adalah sebuah peringatan keras tentang tanggung jawab besar dalam sebuah pernikahan, apalagi jika memiliki lebih dari satu istri.
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
"Dan berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai suatu pemberian yang wajib dari Allah, kemudian jika sebagian dari mahar itu mereka berikan kepadamu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) dengan sedap dan baik."
Melanjutkan pada ayat keempat, Allah SWT memerintahkan agar mahar (maskawin) diberikan kepada para wanita sebagai pemberian yang wajib dan merupakan hak mereka. Mahar adalah simbol penghargaan dan tanda keseriusan dalam pernikahan. Pemberian mahar ini adalah suatu kewajiban yang tidak bisa ditawar, sebagai bentuk penghormatan Islam terhadap kaum wanita.
Ayat ini juga memberikan pengecualian. Jika sang istri dengan rela hati memberikan sebagian atau seluruh maharnya kembali kepada suaminya, maka suami diperbolehkan untuk menerimanya dengan senang hati. Ini menunjukkan adanya fleksibilitas dalam hubungan suami istri, di mana kerelaan dan keikhlasan pihak perempuan dihargai. Namun, esensi dari ayat ini adalah penegasan bahwa mahar adalah hak mutlak istri yang harus diberikan oleh suami pada saat pernikahan.
Lebih luas lagi, ayat-ayat ini secara keseluruhan menyoroti pentingnya membangun keluarga yang kokoh di atas prinsip keadilan dan saling menghormati. Islam tidak hanya mengatur aspek ibadah ritual, tetapi juga aspek muamalah (hubungan antarmanusia), termasuk dalam urusan rumah tangga. An-Nisa ayat 3 dan 4 adalah bukti nyata bagaimana Al-Qur'an memberikan panduan yang komprehensif untuk menciptakan keharmonisan dalam keluarga dan masyarakat.
Dalam konteks modern, pemahaman terhadap ayat-ayat ini mengajak kita untuk melihat kembali praktik-praktik pernikahan. Prinsip keadilan yang ditekankan dalam ayat ketiga harus menjadi landasan utama bagi setiap keputusan terkait pernikahan, baik monogami maupun poligami. Sementara itu, kewajiban memberikan mahar seperti yang diatur dalam ayat keempat mengingatkan kita akan pentingnya penghargaan terhadap perempuan sebagai mitra hidup yang setara. Kedua ayat ini secara bersama-sama memberikan kerangka etika dan hukum yang kuat untuk membangun institusi pernikahan yang bermartabat dan penuh keberkahan.