Surah An Nisa, yang berarti "Para Wanita", merupakan salah satu surah terpanjang dalam Al-Qur'an dan kaya akan ajaran mengenai tatanan sosial, keluarga, dan hak-hak individu. Di antara ayat-ayat penting dalam surah ini, ayat 3 hingga 5 memiliki kedudukan krusial karena membahas secara mendalam prinsip keadilan, tanggung jawab, dan pengaturan waris. Ayat-ayat ini tidak hanya berlaku untuk konteks zaman nabi, tetapi juga relevan sepanjang masa sebagai panduan moral dan hukum.
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim, maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat agar kamu tidak berbuat aniaya." (QS. An Nisa: 3)
Ayat ketiga Surah An Nisa ini seringkali menjadi sorotan utama ketika membahas pernikahan dalam Islam, terutama terkait praktik poligami. Namun, pemahaman yang utuh terhadap ayat ini haruslah berakar pada penekanan utama yang diberikan oleh Allah SWT: keadilan. Ayat ini secara tegas menyatakan bahwa jika seseorang merasa tidak mampu berlaku adil terhadap perempuan yatim, maka sebaiknya ia hanya menikahi satu orang wanita saja. Jika pun memilih untuk berpoligami, yaitu menikah dengan dua, tiga, atau empat wanita, syarat mutlaknya adalah kemampuan untuk berlaku adil terhadap mereka. Keadilan di sini mencakup berbagai aspek, mulai dari nafkah lahir dan batin, pembagian waktu, hingga perlakuan yang setara.
Ayat ini muncul dalam konteks pasca-perang Uhud, di mana banyak perempuan menjadi janda dan anak-anak menjadi yatim. Islam hadir untuk memberikan solusi yang menjaga kehormatan dan kelangsungan hidup mereka. Namun, kebolehan poligami bukanlah dorongan, melainkan sebuah keringanan dengan syarat yang sangat berat. Ketidakmampuan untuk berlaku adil akan berujung pada kesewenang-wenangan dan ketidakadilan, yang oleh Allah digambarkan sebagai tindakan yang lebih mendekatkan diri pada aniaya. Oleh karena itu, ayat ini menegaskan bahwa menikahi seorang saja atau membatasi diri dengan jumlah yang mampu diurus secara adil adalah pilihan yang lebih bijak dan terhindar dari dosa.
"Dan berikanlah kepada perempuan-perempuan mahar (maskawin) mereka sebagai suatu pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka terimalah dan makanlah (ambillah) pengambilan yang halal lagi baik." (QS. An Nisa: 4, sebagian)
Melanjutkan pembahasan mengenai perempuan, ayat keempat secara eksplisit menegaskan kewajiban seorang suami untuk memberikan mahar atau maskawin kepada istrinya. Mahar adalah hak perempuan yang diberikan oleh calon suami sebagai tanda kesungguhan dan penghargaan. Pemberian mahar ini adalah sebuah kewajiban yang tidak bisa ditawar, dan harus diserahkan sepenuhnya kepada istri.
Lebih lanjut, ayat ini juga membuka pintu bagi istri untuk dengan sukarela memberikan kembali sebagian atau seluruh maharnya kepada suami, jika ia berkenan. Ini menunjukkan adanya kebebasan dan kemandirian perempuan dalam mengelola hartanya, serta pentingnya kerelaan dalam setiap urusan finansial keluarga. Ketentuan ini membantah anggapan bahwa harta istri adalah milik suami secara otomatis, melainkan sebagai hak yang harus dihormati dan jika diserahkan kembali, haruslah atas dasar kerelaan yang tulus. Ayat ini juga merupakan pengantar bagi ayat selanjutnya yang membahas pembagian warisan.
"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (yang ada dalam) lingkungan kekuasaanmu yang dijadikan Allah bagimu sebagai pokok kesejahteraan. Dan pakanilah dan berpakaianlah mereka dari (hasil) harta itu dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik." (QS. An Nisa: 5, sebagian)
Ayat kelima melengkapi pesan ayat sebelumnya dengan memberikan perhatian khusus pada perlindungan anak yatim dan pengaturan harta mereka. Allah SWT memerintahkan agar harta anak yatim tidak diserahkan kepada orang yang belum mampu mengelolanya secara bijak, yaitu orang yang belum dewasa secara akal. Harta yang dimaksud adalah harta yang dijadikan Allah sebagai sumber kehidupan dan kesejahteraan.
Ini adalah sebuah amanah besar yang Allah titipkan kepada wali atau pengasuh anak yatim. Tugasnya bukan hanya menjaga harta agar tidak hilang atau disia-siakan, tetapi juga untuk mengelolanya agar berkembang dan memberikan manfaat. Ayat ini juga menekankan kewajiban untuk memberi makan dan pakaian yang layak bagi anak yatim dari harta tersebut, serta berkomunikasi dengan mereka melalui perkataan yang baik dan mendidik. Tujuannya adalah agar anak yatim tumbuh dengan baik, merasa aman, dan tidak terbebani oleh masalah ekonomi.
Selain itu, bagian lain dari ayat 5 ini sebenarnya juga melanjutkan tentang pembagian warisan yang lebih rinci, termasuk bagi perempuan dan anak-anak. Islam menetapkan aturan waris yang adil, di mana hak-hak setiap ahli waris diperhitungkan sesuai kedudukan mereka. Ayat-ayat ini secara keseluruhan membentuk sebuah sistem yang kuat untuk menjaga keadilan, memberikan perlindungan, dan menumbuhkan tanggung jawab dalam struktur keluarga dan masyarakat. Memahami dan mengamalkan ajaran dalam an Nisa ayat 3-5 adalah langkah penting untuk mewujudkan tatanan yang harmonis dan penuh berkah.
Inti dari an Nisa ayat 3-5 adalah tentang keadilan, perlindungan, dan tanggung jawab. Keadilan dalam pernikahan, baik bagi istri maupun potensi poligami; perlindungan hak-hak perempuan, termasuk mahar dan warisan; serta tanggung jawab penuh dalam mengelola dan mengembangkan harta anak yatim. Ayat-ayat ini merupakan panduan ilahi yang abadi untuk membangun keluarga yang kokoh dan masyarakat yang berkeadilan.