Dalam perjalanan kehidupan seorang Muslim, keluarga memegang peranan sentral. Ia adalah benteng pertama, pusat kasih sayang, dan ladang amal yang utama. Al-Qur'an, sebagai kitab suci yang menjadi pedoman hidup, tentu saja memberikan panduan komprehensif mengenai berbagai aspek kehidupan, termasuk pernikahan dan pembentukan keluarga. Salah satu bagian penting yang mengupas hal ini termaktub dalam Surah An-Nisa, ayat 24 hingga 26.
"Dan (diharamkan) wanita-wanita yang berzina di antara perempuan-perempuanmu, lalu jika mereka berzina, maka merdekakanlah seorang budak laki-laki atau perempuan. Yang demikian itu adalah suatu peraturan bagi kamu yang tetap. Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian itu, supaya kamu mencari (harta benda) dengan hartamu pada jalan yang baik, bukan untuk berzina. Maka perempuan mana saja yang kamu nikmati (percampuran) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya, sebagai suatu kewajiban. Dan tidak ada dosa bagimu tentang apa yang kamu sepakati sesudah kewajiban (membayar mahar). Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ayat ini secara tegas mengharamkan perzinahan, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Konteksnya adalah pelarangan terhadap wanita-wanita yang telah berzina untuk dinikahi oleh laki-laki mukmin, kecuali jika mereka membebaskan seorang budak sebagai penebus dosanya. Hal ini menunjukkan betapa Islam sangat menjaga kesucian hubungan dan institusi pernikahan. Pernikahan dalam Islam bukanlah sekadar pemuas nafsu, melainkan sebuah ikatan suci yang didasari oleh prinsip-prinsip moral dan etika. Kewajiban memberikan mahar juga ditekankan, yang merupakan simbol penghargaan terhadap perempuan dan kesungguhan laki-laki dalam meminang.
"Dan siapa di antara kamu yang tidak mempunyai kemampuan untuk kawin, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu adalah perisai baginya. Dan siapa yang tidak mampu, maka (hendaklah ia berpuasa) karena itu lebih baginya."
Selanjutnya, ayat 25 memberikan solusi bagi mereka yang belum mampu untuk menikah secara materiil. Islam tidak membebani umatnya dengan sesuatu yang di luar kemampuan. Bagi yang belum siap secara finansial untuk menanggung biaya pernikahan dan nafkah, dianjurkan untuk berpuasa. Puasa berfungsi sebagai tameng atau benteng diri dari perbuatan maksiat, termasuk dorongan seksual yang tidak tersalurkan secara halal. Ini adalah bentuk hikmah dan kemudahan dari Allah SWT, yang mengajarkan bahwa menjaga diri dari dosa adalah prioritas, bahkan jika harus menunda pernikahan.
"Allah hendak menerangkan (syariat-Nya) kepadamu, dan menunjukkan kepadamu jalan orang-orang yang sebelum kamu, dan menerima taubatmu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Ayat pamungkas dari rangkaian ini, ayat 26, menegaskan bahwa seluruh aturan dan syariat yang diturunkan oleh Allah SWT adalah demi kebaikan umat manusia. Allah ingin menjelaskan, menerangi jalan, dan memberikan kemudahan bagi hamba-Nya untuk bertaubat dan kembali kepada jalan yang benar. Seluruh ketentuan dalam pernikahan, pembatasan, dan anjuran yang ada bertujuan untuk menjaga kemaslahatan individu dan masyarakat. Di balik setiap aturan syariat terdapat hikmah yang mendalam, yang mungkin tidak selalu dapat langsung dipahami oleh akal manusia, namun pasti membawa kebaikan.
Rangkaian ayat An-Nisa 24-26 ini memberikan gambaran utuh mengenai pentingnya pernikahan yang suci, larangan keras terhadap perzinahan, serta solusi dan hikmah di balik setiap ketetapan. Islam mengajarkan untuk membentuk keluarga yang kokoh, sakinah, mawaddah, warahmah, dengan landasan moral dan spiritual yang kuat. Memahami dan mengamalkan ayat-ayat ini adalah langkah awal untuk membangun rumah tangga yang diridhai oleh Allah SWT dan membawa kebahagiaan di dunia maupun akhirat.