An-Nisa Ayat 2-3: Landasan Keadilan dan Tanggung Jawab dalam Keluarga dan Masyarakat

Keadilan & Tanggung Jawab Surat An-Nisa: Ayat 2 & 3

Ilustrasi konsep keadilan dan tanggung jawab.

Surat An-Nisa, ayat 2 dan 3, merupakan pilar fundamental dalam ajaran Islam yang mengatur berbagai aspek kehidupan, terutama yang berkaitan dengan keluarga, anak yatim, dan harta benda. Ayat-ayat ini tidak hanya memberikan pedoman praktis, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral luhur seperti keadilan, kasih sayang, dan tanggung jawab. Memahami dan mengamalkan kandungan ayat-ayat ini adalah kunci untuk membangun tatanan sosial yang harmonis dan adil.

Ayat 2: Perintah Menjaga Harta Anak Yatim

"Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, dan jangan kamu menukarkan yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya, siapa yang berbuat demikian itu, adalah dosa yang besar."

Ayat kedua dari Surat An-Nisa ini secara tegas memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk memperlakukan harta anak yatim dengan penuh kehati-hatian dan kejujuran. Kata "yatim" merujuk pada anak yang ayahnya telah meninggal dunia sebelum ia mencapai usia baligh. Dalam konteks sosial pada masa turunnya ayat ini, anak yatim seringkali berada dalam posisi rentan, baik secara emosional maupun finansial.

Perintah dalam ayat ini memiliki beberapa tingkatan makna. Pertama, perintah untuk "memberikan kepada anak-anak yatim harta mereka". Ini berarti harta yang dimiliki oleh anak yatim, baik warisan maupun pemberian, harus diserahkan sepenuhnya ketika mereka sudah mampu mengelolanya, atau dikelola oleh wali mereka dengan cara yang paling menguntungkan bagi sang yatim. Kedua, larangan untuk "menukarkan yang baik dengan yang buruk". Maksudnya adalah dilarang mengganti harta anak yatim yang berkualitas baik dengan harta yang berkualitas buruk. Ini mencakup segala bentuk penipuan atau kecurangan dalam pengelolaan harta. Ketiga, larangan untuk "memakan harta mereka bersama hartamu". Ini menekankan pentingnya memisahkan harta anak yatim dari harta pribadi sang wali. Jika terpaksa mencampurkan, maka harus dengan cara yang adil dan dicatat dengan baik, tanpa mengambil keuntungan sepihak atas penderitaan yatim.

Penegasan bahwa tindakan tersebut merupakan "dosa yang besar" menunjukkan betapa seriusnya Allah SWT memandang pelanggaran terhadap hak-hak anak yatim. Kezaliman terhadap mereka akan berakibat pada dosa yang besar. Ayat ini menjadi pengingat abadi akan pentingnya melindungi kaum yang lemah dan memastikan bahwa mereka tidak dieksploitasi.

Ayat 3: Keadilan dalam Pernikahan dan Perwalian

"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan, maka nikahilah dua, tiga atau empat perempuan yang kamu senangi; tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (pilihlah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."

Ayat ketiga melanjutkan pembahasan mengenai tanggung jawab, kali ini fokus pada domain keluarga, khususnya terkait pernikahan. Ayat ini memberikan izin untuk berpoligami, namun dengan syarat yang sangat ketat: keadilan. Allah SWT berfirman bahwa jika seorang pria merasa tidak mampu berlaku adil terhadap hak-hak perempuan, maka hendaknya ia cukup menikah dengan satu perempuan saja. Keadilan yang dimaksud di sini mencakup berbagai aspek, mulai dari nafkah, giliran bermalam, perlakuan fisik dan emosional, hingga pembagian kasih sayang.

Konteks turunnya ayat ini sering dikaitkan dengan kondisi sosial pasca-perang, di mana banyak perempuan menjadi janda dan membutuhkan perlindungan serta nafkah. Poligami di sini bukanlah sekadar kebebasan tanpa batas, melainkan sebuah solusi yang diatur untuk memenuhi kebutuhan sosial, dengan penekanan utama pada kemampuan untuk berlaku adil. Jika ketidakadilan itu pasti terjadi, maka Islam mengarahkan untuk memilih jalan yang lebih aman dari aniaya, yaitu monogami.

Bahkan, ayat ini menyebutkan lebih lanjut: "atau budak-budak yang kamu miliki". Dalam konteks sejarah, ini merujuk pada tawanan perang yang berstatus budak atau hamba sahaya. Namun, dalam perkembangannya, Islam mengarahkan untuk membebaskan budak sebagai bentuk penyucian diri dan ketaatan. Ayat ini menegaskan kembali bahwa tujuan utamanya adalah menghindari aniaya dan menjaga kemaslahatan semua pihak.

Implikasi dan Relevansi

An-Nisa ayat 2 dan 3 memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana Islam memandang tanggung jawab individu dan kolektif. Ayat kedua mengajarkan pentingnya melindungi kaum rentan, seperti anak yatim, dan menegakkan amanah dalam pengelolaan harta. Ini adalah fondasi untuk membangun masyarakat yang peduli dan melindungi anggotanya yang paling membutuhkan.

Sementara itu, ayat ketiga menggarisbawahi betapa pentingnya keadilan dalam hubungan keluarga, terutama dalam pernikahan. Islam tidak hanya mengatur hak dan kewajiban, tetapi juga menetapkan batasan-batasan agar keadilan senantiasa terjaga. Konsep keadilan yang diajarkan dalam Islam sangat komprehensif, mencakup aspek materi dan non-materi.

Di era modern ini, pemahaman terhadap kedua ayat ini tetap relevan. Perhatian terhadap anak yatim dan dhuafa' harus menjadi prioritas masyarakat. Begitu pula dengan pernikahan, prinsip keadilan dan tanggung jawab harus selalu dipegang teguh, baik dalam pernikahan monogami maupun poligami (yang sejatinya sangat sulit dilakukan dengan adil). Kedua ayat ini mengajak kita untuk senantiasa merefleksikan diri, apakah kita sudah menjalankan amanah dengan baik, berlaku adil dalam setiap interaksi, dan melindungi hak-hak orang lain, khususnya mereka yang berada dalam posisi lebih lemah.

🏠 Homepage