Dalam Al-Qur'an, Surah An Nisa (Wanita) memuat banyak ayat yang mengatur hubungan antarmanusia, khususnya dalam lingkup keluarga. Di antara rentetan ayat-ayat tersebut, bagian yang dimulai dari ayat ke-20 hingga ayat ke-30 memiliki makna mendalam yang menjadi landasan penting dalam pemahaman hukum perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, serta bagaimana menjaga keharmonisan rumah tangga dalam perspektif Islam.
Ayat ke-20 dari Surah An Nisa membuka diskusi dengan mengingatkan tentang konsekuensi dari sebuah pernikahan. Allah SWT berfirman:
Ayat ini secara tegas melarang seorang suami mengambil kembali mahar yang telah diberikan kepada istrinya, meskipun ia berniat untuk mengganti istrinya dengan wanita lain. Mahar adalah hak mutlak istri yang diberikan oleh suami sebagai tanda kesungguhan dan penghargaan. Mengambilnya kembali setelah diserahkan, kecuali dengan kerelaan istri, adalah perbuatan yang tidak dibenarkan dan termasuk dosa besar. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga amanah dan hak-hak yang telah ditetapkan dalam akad nikah.
Selanjutnya, ayat 21 dan 22 dari Surah An Nisa menjelaskan siapa saja wanita yang haram dinikahi. Allah berfirman:
Ayat 21 menggarisbawahi kesakralan hubungan suami istri yang telah terjalin, memperkuat larangan mengambil kembali mahar. Sementara itu, ayat 22 secara eksplisit melarang pernikahan dengan wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah atau kakek (mahram dari pihak ayah), yang termasuk dalam kategori mahram karena pernikahan. Ini adalah bagian dari tatanan sosial dan moral yang dijaga oleh Islam untuk mencegah kerusakan dan menjaga kemurnian nasab serta hubungan kekerabatan.
Ayat-ayat berikutnya, yaitu 23 hingga 25, memperluas daftar wanita yang haram dinikahi. Ini mencakup:
Ayat 23 merinci hukum ini, sementara ayat 24 dan 25 memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai pernikahan dengan budak perempuan dan hukum mengenai budak serta perempuan ahli kitab. Penjelasan ini menunjukkan betapa komprehensifnya ajaran Islam dalam mengatur kehidupan, termasuk larangan pernikahan yang bertujuan untuk menjaga kemaslahatan individu dan masyarakat.
Allah berfirman dalam ayat 26-28:
Ayat 26 menegaskan bahwa hukum-hukum ini diturunkan untuk menjelaskan dan mempermudah umat manusia, serta membuka pintu taubat bagi mereka yang pernah berbuat salah. Ayat 27 memperingatkan adanya godaan dari hawa nafsu yang bisa menjerumuskan manusia ke jalan yang salah. Sementara itu, ayat 28 menjadi penyejuk hati dengan menyatakan bahwa Allah menurunkan syariat ini untuk memberikan keringanan, karena manusia diciptakan dalam keadaan lemah dan membutuhkan kemudahan. Ini termasuk keringanan dalam masalah pernikahan, seperti izin untuk menikahi budak perempuan (ayat 25) dalam kondisi tertentu, atau aturan mengenai talak dan iddah.
Bagian akhir dari rentetan ayat ini, yaitu ayat 29 dan 30, beralih pada larangan memakan harta secara batil atau tidak benar. Allah berfirman:
Meskipun tidak secara langsung terkait dengan pernikahan, larangan ini sangat relevan dalam konteks rumah tangga. Memakan harta pasangan secara batil, misalnya melalui penipuan, kecurangan, atau eksploitasi, adalah perbuatan dosa besar. Islam sangat menjunjung tinggi keadilan dan kejujuran dalam setiap muamalah, termasuk dalam urusan harta di antara suami istri. Ayat ini menekankan pentingnya mencari rezeki yang halal dan berusaha menjaga hak-hak finansial sesama, serta ancaman siksa neraka bagi pelanggar aturan ini.
Surah An Nisa ayat 20-30 memberikan panduan yang sangat berharga mengenai berbagai aspek pernikahan dan hubungan finansial dalam Islam. Ayat-ayat ini tidak hanya mengatur hak dan kewajiban, tetapi juga mengajarkan tentang pentingnya menjaga amanah, menghormati pasangan, menjauhi segala bentuk kemaksiatan, dan senantiasa mencari keridhaan Allah dalam setiap langkah kehidupan berumah tangga. Pemahaman yang mendalam terhadap ayat-ayat ini diharapkan dapat membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, serta menjadi pribadi yang bertakwa dan adil.