Dalam samudera ajaran Islam yang luas, terdapat ayat-ayat yang memiliki kedalaman makna dan relevansi abadi bagi kehidupan umat manusia. Salah satu ayat yang sering menjadi sorotan dan perenungan adalah Surat An Nisa ayat 51. Ayat ini, meskipun ringkas, sarat dengan pesan moral, etika, dan keyakinan yang fundamental. Memahami An Nisa ayat 51 bukan sekadar mengetahui teksnya, melainkan menyelami esensi dari peringatan dan bimbingan yang terkandung di dalamnya.
Mari kita simak terlebih dahulu lafaz ayat beserta terjemahannya agar pemahaman kita lebih akurat.
Dalam terjemahan ini, kita menemukan dua istilah kunci yang perlu digali lebih dalam maknanya: Jibt dan Thaghut. Kedua istilah ini seringkali merujuk pada segala bentuk penyembahan atau kepatuhan yang menyimpang dari ajaran tauhid, yaitu keyakinan akan keesaan Allah SWT.
Para ulama dan mufasir memiliki beragam penafsiran mengenai makna Jibt dan Thaghut, namun benang merahnya adalah segala sesuatu yang disembah selain Allah, atau segala bentuk kesesatan yang menjauhkan manusia dari kebenaran.
Umumnya, Jibt diartikan sebagai sihir, guna-guna, atau benda-benda keramat yang dipercaya memiliki kekuatan gaib atau mendatangkan keberuntungan dan kesialan. Ini bisa berupa jimat, ramalan bintang, atau praktik-praktik perdukunan yang mengabaikan kekuasaan mutlak Allah. Keyakinan pada Jibt berarti menggantungkan harapan dan ketakutan pada sesuatu yang tidak memiliki kekuatan hakiki selain yang diizinkan Allah. Ini adalah bentuk syirik kecil yang bisa berujung pada syirik akbar jika dijadikan tumpuan utama.
Thaghut lebih luas cakupannya. Ia mencakup segala sesuatu yang disembah selain Allah, baik itu berhala, patung, para pemimpin yang zalim, hakim yang tidak adil, atau bahkan hawa nafsu yang menyesatkan. Thaghut adalah segala bentuk penentangan terhadap kebenaran Allah, segala upaya untuk mengganti hukum-hukum-Nya dengan hukum buatan manusia yang menyimpang. Ketika seseorang tunduk pada kehendak Thaghut, ia telah keluar dari lingkaran ibadah kepada Allah.
Ayat An Nisa 51 ini secara spesifik menyoroti perilaku sebagian dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani pada masa itu) yang telah diberikan sebagian dari wahyu ilahi, namun justru mereka terjerumus dalam kesesatan. Mereka beriman pada Jibt dan Thaghut, serta lebih mengutamakan keyakinan orang-orang kafir musyrik ketimbang keyakinan orang-orang beriman. Ini adalah ironi yang tajam, di mana cahaya pengetahuan ilahi justru membawa mereka kepada kegelapan perbuatan syirik.
Pesan dalam An Nisa ayat 51 tidak hanya berlaku pada konteks historisnya, tetapi memiliki relevansi yang kuat di era modern ini. Di tengah derasnya arus informasi dan godaan duniawi, kita perlu senantiasa introspeksi diri. Apakah kita telah terjerumus pada bentuk-bentuk Jibt dan Thaghut masa kini?
Bentuk-bentuk modern Jibt bisa jadi adalah kecanduan pada takhayul, percaya pada ramalan nasib yang menyesatkan, atau menggantungkan nasib pada benda-benda yang dianggap keramat tanpa mengaitkannya dengan kekuasaan Allah. Sementara Thaghut modern dapat berupa sistem ekonomi, politik, atau sosial yang secara terang-terangan menolak syariat Allah, mengikuti hawa nafsu pemimpin yang zalim, atau bahkan mengagungkan materi dan kesenangan duniawi di atas segalanya.
Ayat ini juga mengingatkan kita untuk tidak pernah membandingkan kebenaran ilahi dengan kesesatan manusia. Mengatakan bahwa jalan orang kafir lebih baik daripada jalan orang beriman adalah bentuk penolakan terhadap risalah Allah dan pengkhianatan terhadap nikmat iman. Kita diajak untuk teguh berpegang pada ajaran Al-Qur'an dan Sunnah, serta menjadikan keduanya sebagai panduan utama dalam setiap aspek kehidupan.
An Nisa ayat 51 mengajarkan kita beberapa pelajaran penting:
Dengan memahami dan merenungkan An Nisa ayat 51, diharapkan kita senantiasa berada dalam naungan rahmat dan hidayah Allah SWT, terhindar dari jurang kesesatan, dan senantiasa teguh di jalan kebenaran. Ayat ini adalah pengingat abadi agar akal dan hati kita selalu tertuju kepada Sang Pencipta, bukan kepada ilusi Jibt maupun cengkeraman Thaghut.