Surah An Nisa, yang berarti "Wanita", adalah salah satu surah terpanjang dalam Al-Qur'an, yang membahas berbagai aspek kehidupan sosial, hukum, dan spiritual umat Islam. Di antara ayat-ayatnya yang kaya akan makna, rentang ayat 36 hingga 40 memegang peranan penting dalam membentuk pemahaman tentang hubungan, tanggung jawab, dan etika dalam masyarakat. Ayat-ayat ini memberikan panduan yang mendalam mengenai perlakuan terhadap keluarga, tetangga, dan sesama manusia, menekankan pentingnya keadilan, kebaikan, dan penghormatan.
Ayat 36 surah An Nisa menjadi fondasi yang kuat bagi seluruh ajaran yang dibahas setelahnya. Ayat ini secara tegas memerintahkan umat manusia untuk menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun. Ini adalah inti dari tauhid, pengakuan keesaan Tuhan, yang menjadi pilar utama dalam Islam. Namun, ayat ini tidak berhenti hanya pada ibadah vertikal kepada Tuhan, melainkan juga menekankan ibadah horizontal kepada sesama manusia.
Perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil (musafir), dan budak-budak yang kamu miliki, menunjukkan betapa komprehensif ajaran Islam dalam mengatur hubungan antarmanusia. Kebaikan yang diajarkan di sini mencakup tindakan nyata, perkataan yang lembut, dan sikap yang penuh kasih. Ini adalah pengingat bahwa keimanan sejati tercermin dalam perilaku sehari-hari, terutama terhadap mereka yang paling dekat dengan kita. Kebaikan bukan hanya sekadar memberi, tetapi juga menghargai, melindungi, dan mendatangkan kebaikan bagi orang lain.
Selanjutnya, ayat 37 dari An Nisa memberikan klarifikasi penting, membantah persepsi yang mungkin muncul di kalangan masyarakat pada masa itu, bahkan hingga kini, tentang siapa yang berhak mendapatkan kebaikan. Ayat ini menegaskan bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. Kebaikan yang dilakukan seharusnya tidak disertai dengan kesombongan atau keinginan untuk dipuji.
Ayat ini juga mengingatkan bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang kikir dan menyuruh orang lain untuk berbuat kikir. Ini adalah kritik terhadap sikap egois dan tidak mau berbagi rezeki. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, termasuk niat hati yang tersembunyi. Oleh karena itu, kebaikan yang tulus, yang didorong oleh rasa syukur dan kepedulian, akan mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari-Nya, sementara kesombongan dan kekikiran akan menjauhkan seseorang dari rahmat-Nya. Memahami ayat ini membantu kita untuk introspeksi diri, membersihkan niat dalam setiap perbuatan baik yang kita lakukan, dan menjauhi sifat-sifat tercela yang dapat merusak pahala.
Ayat 38 surah An Nisa menggambarkan ciri-ciri orang munafik yang tidak beriman dengan tulus. Mereka membelanjakan harta mereka karena riya' (ingin dipamerkan orang) dan tidak beriman kepada Allah serta tidak beriman kepada hari kemudian. Akibatnya, mereka tidak mendapatkan kebaikan dari apa yang mereka belanjakan, dan amal perbuatan mereka tidak bernilai di sisi Allah.
Ayat ini sangat penting untuk membedakan antara ibadah dan perbuatan baik yang ikhlas karena Allah dengan perbuatan yang dilakukan hanya untuk mendapatkan pujian atau pengakuan dari manusia. Orang munafik melakukan kebaikan bukan karena dorongan iman, melainkan karena ingin dilihat, ingin dipuji, atau memiliki motif tersembunyi lainnya. Keadaan mereka seperti orang yang beribadah namun hatinya kosong dari keimanan. Kehancuran moral yang disebabkan oleh kemunafikan akan membawa mereka pada penyesalan yang mendalam di akhirat kelak. Ayat ini menjadi peringatan keras agar kita senantiasa menjaga kemurnian niat dalam setiap ibadah dan amal kebaikan.
Selanjutnya, ayat 39 dari An Nisa memberikan panduan yang lebih jelas mengenai harapan seorang mukmin. Orang mukmin yang tulus akan membelanjakan hartanya di jalan Allah dan tidak merasa rugi atas apa yang telah mereka sedekahkan. Mereka tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya, dan mereka tidak mengharapkan balasan atau pujian dari manusia.
Perbedaan mendasar antara orang mukmin dan orang munafik terletak pada tujuan mereka dalam beramal. Mukmin beramal semata-mata mengharapkan ridha Allah dan pahala dari-Nya. Mereka memahami bahwa hanya Allah yang memiliki kekuasaan untuk memberi balasan yang sempurna. Oleh karena itu, ketika mereka berinfak atau beramal saleh, hati mereka lapang dan tidak merasa kehilangan harta, karena mereka yakin harta itu akan kembali kepada mereka dalam bentuk yang lebih baik di dunia dan akhirat. Ayat ini mengajarkan pentingnya ikhlas dan tawakkal kepada Allah, serta melepaskan diri dari ketergantungan pada penilaian manusia.
Menutup rentang ayat-ayat penting ini, ayat 40 surah An Nisa menegaskan prinsip keadilan Allah yang mutlak. Allah tidak pernah menzalimi siapa pun, sekecil apa pun amal perbuatan, baik itu kebaikan maupun keburukan. Jika kebaikan itu setara dengan sebutir zarah, Allah akan melipatgandakannya dan memberikan pahala yang besar.
Sebaliknya, jika keburukan yang dilakukan, Allah akan membalasnya. Namun, ada kalanya Allah mengampuni dosa-dosa hamba-Nya. Penegasan ini memberikan rasa optimisme dan harapan bagi orang-orang yang beriman, sekaligus peringatan keras bagi mereka yang lalai. Keadilan Allah memastikan bahwa setiap usaha baik akan dihargai, dan setiap kesalahan akan dimintai pertanggungjawaban. Namun, keadilan ini juga diiringi dengan rahmat dan ampunan-Nya yang luas. Ayat ini mengajarkan kita untuk terus berbuat kebaikan, sekecil apa pun, karena di mata Allah, tidak ada kebaikan yang sia-sia.