Dalam lautan Al-Qur'an yang penuh dengan petunjuk ilahi, terdapat ayat-ayat yang senantiasa relevan untuk direnungkan dan diamalkan oleh setiap mukmin. Salah satunya adalah Surah An-Nisa ayat 114. Ayat ini bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah panduan praktis mengenai bagaimana seharusnya umat Islam berinteraksi, tidak hanya dalam kebaikan, tetapi juga dalam menghadapi potensi penyimpangan dan konflik. Keindahan dan kedalaman maknanya seringkali mengundang tafsir dan perenungan yang mendalam dari para ulama dan kaum Muslimin sepanjang zaman.
Ayat An-Nisa 114 berbunyi, "La khaira fi katsirin min najwahum illa man amara bisadaqatin au ma'rufin au islahin bainannas. Wa man yaf'al dhalika ibtigha'a mardatillahi fa saunutihi ajran adzima."
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۗ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
"Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan orang yang menyuruh (berbuat) sedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Siapa yang berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar."
Secara ringkas, ayat ini menegaskan bahwa sebagian besar percakapan rahasia atau obrolan pribadi seringkali tidak memiliki nilai kebaikan. Namun, ada pengecualian yang sangat penting: yaitu percakapan yang mengarah pada tiga hal mulia: sedekah, perbuatan baik (makruf), atau mendamaikan perselisihan di antara manusia. Lebih lanjut, ayat ini memberikan motivasi spiritual yang kuat dengan menjanjikan pahala yang besar bagi siapa saja yang melakukan hal-hal tersebut semata-mata karena mengharapkan keridaan Allah SWT.
Dalam konteks sosial dan interaksi manusia, percakapan adalah sarana utama komunikasi. Namun, tidak semua percakapan bernilai sama. An-Nisa 114 menyoroti dualitas ini. Di satu sisi, ia memperingatkan kita agar tidak terjebak dalam obrolan sia-sia yang tidak membangun. Percakapan semacam ini bisa jadi hanya berisi gosip, fitnah, keluhan yang tidak produktif, atau rencana yang merugikan. Di sisi lain, ayat ini memberikan cetak biru tentang bagaimana percakapan dapat menjadi sumber kebaikan yang luar biasa, jika diarahkan dengan benar.
Fokus pada "najwahum" (pembicaraan rahasia mereka) menunjukkan bahwa bahkan dalam komunikasi yang bersifat personal atau tertutup, etika dan tujuan yang mulia tetap harus dijaga. Ini mengajarkan bahwa tidak ada celah bagi umat Islam untuk menyalahgunakan privasi percakapan demi tujuan yang tidak baik. Sebaliknya, privasi justru bisa dimanfaatkan untuk merencanakan kebaikan yang lebih terarah.
Ayat ini secara spesifik menyebutkan tiga area di mana percakapan dapat membawa kebaikan yang signifikan:
Puncak dari anjuran ini adalah penegasan bahwa keutamaan dari tindakan-tindakan tersebut akan semakin sempurna jika dilakukan semata-mata karena "ibtigha'a mardatillah" (mencari keridaan Allah). Ini adalah inti dari keikhlasan. Ketika niat seseorang lurus hanya untuk mendapatkan ridha Sang Pencipta, maka setiap langkah kebaikan yang ia lakukan, sekecil apapun, akan bernilai sangat tinggi di sisi-Nya. Janji "fa saunutihi ajran adzima" (kelak Kami akan memberinya pahala yang besar) adalah sebuah jaminan ilahi yang tak ternilai harganya.
Bagi umat Islam, An-Nisa ayat 114 memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana menggunakan lisan dan kemampuan berkomunikasi untuk kebaikan. Ini adalah pengingat bahwa percakapan kita sehari-hari memiliki potensi besar, baik untuk kebaikan maupun keburukan. Dengan mengarahkan percakapan pada sedekah, perbuatan baik, dan perdamaian, serta menjaga niat agar tetap ikhlas karena Allah, kita tidak hanya berkontribusi pada kebaikan individu dan masyarakat, tetapi juga berinvestasi untuk mendapatkan pahala yang berlimpah di akhirat.