Ilustrasi simbol kebijaksanaan dan panduan.
Dalam lautan ayat-ayat suci Al-Qur'an, terdapat permata-permata hikmah yang tak terhitung nilainya. Salah satu di antaranya adalah surah An Nisa ayat 107, sebuah ayat yang seringkali menjadi fokus perenungan mendalam bagi umat Islam. Ayat ini bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah pedoman hidup yang mengajarkan tentang keadilan, kejujuran, dan konsekuensi dari perbuatan kita. Memahami makna di balik An Nisa 107 memberikan perspektif baru dalam menjalani kehidupan, terutama dalam berinteraksi dengan sesama dan mempertanggungjawabkan segala tindakan di hadapan Allah SWT.
Surah An Nisa, yang berarti "Wanita", secara umum membahas berbagai aspek hukum dan etika yang berkaitan dengan keluarga, hak-hak wanita, serta perlakuan terhadap anak yatim. Dalam konteks ini, ayat 107 hadir sebagai peringatan tegas terkait perlakuan terhadap orang yang berkhianat atau melakukan kecurangan, khususnya dalam urusan harta benda. Ayat ini secara gamblang menggambarkan bagaimana orang-orang yang berusaha membela atau membenarkan tindakan pengkhianatan orang lain, dengan maksud untuk menutupi kesalahan, akan berhadapan dengan murka Allah.
Ayat tersebut berbunyi: "Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati diri mereka sendiri. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa." (QS. An Nisa: 107).
Penafsiran mengenai "mengkhianati diri mereka sendiri" dalam ayat ini sangat luas. Secara umum, ini merujuk pada perbuatan dosa yang dilakukan seseorang, baik itu yang berkaitan dengan hak Allah maupun hak sesama manusia. Ketika seseorang berbuat dosa, sejatinya ia sedang mengkhianati amanah dan tujuan penciptaannya. Lebih spesifik lagi, ayat ini seringkali dikaitkan dengan kasus-kasus di mana seseorang berusaha membela atau menutupi kejahatan orang lain, padahal ia tahu bahwa orang tersebut telah melakukan kesalahan atau kezaliman. Upaya membela kebatilan ini justru akan membawa pelakunya terperosok lebih dalam ke dalam dosa.
Pelajaran yang dapat dipetik dari An Nisa 107 sangatlah relevan untuk kehidupan modern yang penuh tantangan. Beberapa poin penting yang dapat digarisbawahi antara lain:
Di era digital ini, di mana informasi menyebar begitu cepat dan opini publik dapat dibentuk dengan mudah, ajaran dalam An Nisa 107 menjadi semakin penting. Berita palsu (hoax), penipuan daring, atau penyebaran fitnah adalah beberapa contoh bentuk "pengkhianatan diri" yang marak terjadi. Ketika kita melihat seseorang atau bahkan diri kita sendiri terdorong untuk membela atau bahkan menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya, maka ayat ini menjadi pengingat yang kuat.
Korupsi, suap, kolusi, dan berbagai bentuk kecurangan lainnya dalam ranah pekerjaan maupun kehidupan sosial adalah cerminan nyata dari pengkhianatan yang disebutkan dalam ayat ini. Menerapkan nilai-nilai kejujuran dan keadilan yang diajarkan oleh An Nisa 107 dalam setiap aspek kehidupan dapat membantu menciptakan masyarakat yang lebih baik dan terhindar dari kehancuran moral.
Selain itu, ayat ini juga mengajarkan pentingnya introspeksi diri. Daripada sibuk mencari-cari kesalahan orang lain atau membela mereka, alangkah lebih baik jika kita fokus pada perbaikan diri sendiri. Menyadari bahwa Allah tidak menyukai orang yang berkhianat dan bergelimang dosa seharusnya menjadi motivasi terbesar bagi kita untuk senantiasa berusaha menjauhi larangan-Nya dan mendekat pada keridaan-Nya.
Dengan merenungkan dan mengamalkan ajaran dalam An Nisa 107, kita diharapkan dapat menjadi pribadi yang lebih berintegritas, jujur, dan adil, serta senantiasa waspada terhadap segala bentuk kebatilan yang dapat menjerumuskan diri kita sendiri dan orang lain. Ini adalah panggilan untuk menjadi agen kebenaran di tengah berbagai godaan dan tantangan zaman.