Simbol Keadilan dan Ketetapan Ilahi
Al-Qur'an, sebagai pedoman hidup umat Islam, mengandung ayat-ayat yang berbicara tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk keadilan sosial, hak-hak, dan respons terhadap perlakuan zalim. Salah satu ayat penting yang menyoroti prinsip keadilan reparatif dan ketetapan ilahi adalah Surah An-Nahl ayat ke-60.
"Dan orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan kezaliman, mereka membela diri."
(Kutipan terjemahan berdasarkan makna umum ayat)Surah An-Nahl, yang berarti Lebah, adalah surah ke-16 dalam Al-Qur'an. Ayat 60 ini terletak dalam konteks yang lebih luas yang membahas konsekuensi dari kekafiran dan keteguhan hati orang-orang yang beriman. Secara spesifik, ayat ini memberikan izin dan justifikasi teologis bagi orang-orang yang dizalimi untuk melakukan pembelaan diri.
Dalam konteks historis awal Islam, umat Muslim sering kali menghadapi penindasan dan kekerasan fisik dari kaum musyrikin di Mekkah. Ayat ini menjadi penegasan bahwa keimanan tidak berarti pasif dalam menghadapi kezaliman yang terang-terangan. Keadaan ini berbeda dengan ayat-ayat sebelumnya yang memerintahkan kesabaran (sabar) dan menahan diri dari permusuhan saat lemah, menunjukkan adanya tahapan dalam penetapan hukum berdasarkan kondisi umat.
Kata kunci dalam ayat ini adalah "membela diri" (yastaṭīʿūnā). Ini bukan sekadar izin untuk membalas dendam atau memulai agresi. Para ulama tafsir sepakat bahwa pembelaan diri yang dimaksud harus memenuhi kriteria tertentu agar tetap berada dalam koridor syariat.
Pertama, **pembelaan diri ini hanya berlaku ketika kezaliman (ẓulm) telah terjadi atau sedang terjadi**. Ini adalah respons reaktif terhadap agresi, bukan tindakan proaktif yang didorong oleh niat jahat atau permusuhan pribadi yang tidak beralasan.
Kedua, **pembelaan harus seimbang (proporsional)**. Prinsip keadilan Islam sangat menekankan bahwa pembalasan tidak boleh melebihi batas kerugian yang diderita. Allah SWT berfirman dalam ayat lain bahwa memaafkan jauh lebih mulia, namun ketika pembelaan diri adalah satu-satunya jalan untuk menghentikan kezaliman, maka hal itu dibolehkan, asalkan tidak melampaui batas yang diperlukan untuk menghentikan penindasan tersebut.
Signifikansi An-Nahl ayat 60 melampaui isu peperangan atau konflik fisik. Dalam konteks modern, ayat ini dapat diinterpretasikan sebagai dorongan untuk membela hak-hak yang terampas, melawan ketidakadilan struktural, dan menegakkan kebenaran ketika posisi seseorang atau komunitas dilemahkan secara tidak adil.
Ini mengajarkan bahwa diam ketika melihat ketidakadilan yang menimpa diri sendiri atau orang lain yang berada di bawah perlindungan kita adalah bentuk kelalaian. Seorang Muslim didorong untuk bersuara, menggunakan hak hukum, dan melawan diskriminasi, asalkan metode yang digunakan tetap berpegang pada etika tertinggi. Ayat ini menegaskan bahwa pasifisme yang mengorbankan prinsip keadilan bukanlah ajaran Islam.
Untuk memahami kedalaman ayat ini, perlu dibandingkan dengan ayat-ayat lain mengenai konflik. Misalnya, dalam ayat-ayat awal periode Mekkah, perintahnya adalah menahan amarah dan bersabar (seperti dalam An-Nahl ayat 126: "Dan jika kamu memberikan balasan, balaslah dengan ganti yang setimpal dengan penderitaan yang diderita..."). Namun, ketika kondisi komunitas Muslim telah memungkinkan untuk pembelaan yang terstruktur dan terorganisir, izin untuk membela diri diperkuat.
Ayat ini, bersama dengan ayat-ayat jihad, menetapkan kerangka kerja bahwa kekerasan atau perlawanan hanyalah jalan terakhir, sebagai respons defensif terhadap agresi yang tidak mau berhenti. Ini menempatkan tanggung jawab awal penindasan sepenuhnya pada pihak yang melakukan kezaliman.
Secara spiritual, memiliki izin untuk membela diri memberikan ketenangan batin. Mengetahui bahwa Allah SWT membenarkan tindakan membela diri dari penindasan menghilangkan beban rasa bersalah bagi korban yang terpaksa melawan untuk bertahan hidup atau melindungi kehormatan. Ini adalah pengakuan ilahi bahwa integritas diri perlu dijaga dari kerusakan luar.
Kesimpulannya, An-Nahl ayat 60 adalah pilar penting dalam teologi keadilan Islam. Ayat ini menggarisbawahi prinsip bahwa meskipun kesabaran dan pengampunan adalah kebajikan tertinggi, hak untuk membela diri secara adil dan proporsional ketika menghadapi kezaliman adalah hak yang dijamin oleh syariat. Prinsip ini relevan sepanjang masa, baik dalam skala pribadi maupun sosial, sebagai benteng pertahanan terhadap penindasan.