Surah An-Nahl, yang berarti "Lebah," adalah salah satu surah dalam Al-Qur'an yang kaya akan isyarat tentang keesaan Allah melalui pengamatan terhadap ciptaan-Nya. Salah satu ayat yang sering direnungkan adalah ayat ke-14. Ayat ini secara eksplisit menyoroti bagaimana Allah menjadikan alam semesta ini sebagai sarana yang memudahkan pergerakan dan kehidupan makhluk-Nya, sebuah bukti nyata dari kasih sayang dan kebijaksanaan ilahi.
"Dan Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang bisa dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu akan dibangkitkan." (QS. An-Nahl: 14)
Ayat ini dimulai dengan penegasan bahwa bumi ini telah dijadikan "mudah" (sayyarat - yang dapat dijelajahi atau ditundukkan) untuk manusia. Kata 'mudah' di sini mengandung makna yang sangat mendalam. Bumi tidak diciptakan dalam bentuk yang liar tak terjamah, melainkan dengan fitur-fitur yang memungkinkan manusia untuk bergerak, membangun peradaban, dan mencari penghidupan. Gunung-gunung yang tinggi seolah menjadi penanda, lautan yang luas menyediakan jalur perdagangan, dan tanah yang subur memungkinkan pertanian.
Tujuan dari kemudahan ini sangat jelas: untuk mendorong manusia agar aktif melakukan perjalanan. Penjelajahan ini bukan sekadar berpindah tempat tanpa tujuan. Dalam konteks ayat, perjalanan ini adalah sarana untuk mencari rezeki yang telah Allah sediakan. Sejarah peradaban manusia selalu erat kaitannya dengan penjelajahan—baik itu mencari sumber air, menemukan lahan baru, atau berinteraksi dengan peradaban lain. Setiap langkah kaki di permukaan bumi sejatinya adalah sebuah ibadah syukur atas fasilitas yang telah diberikan.
Poin kedua dari ayat ini adalah perintah untuk "makanlah sebahagian dari rezeki-Nya." Allah tidak membatasi sumber rezeki hanya pada satu tempat atau satu jenis makanan. Jika kita menelusuri sejarah, bangsa-bangsa besar tumbuh karena mereka mampu memanfaatkan sumber daya dari berbagai penjuru. Perintah ini mengajarkan fleksibilitas dan ketergantungan total kepada Sang Pencipta.
Dalam kehidupan modern, perintah ini diterjemahkan menjadi pentingnya diversifikasi usaha dan tidak berputus asa dalam mencari mata pencaharian yang halal. Rezeki bisa datang dari hasil kerja keras di kota metropolitan, hasil panen di desa, atau keuntungan dari perdagangan antar benua. Kunci utamanya adalah kesadaran bahwa semua itu berasal dari satu sumber, yaitu Allah SWT.
Setelah membahas tentang fasilitas hidup di dunia (menjelajah dan mencari rezeki), ayat An-Nahl 14 ditutup dengan sebuah pengingat fundamental: "Dan hanya kepada-Nyalah kamu akan dibangkitkan." Kontras antara kenikmatan sementara di bumi dan kepastian akhirat menciptakan keseimbangan dalam perspektif seorang Muslim.
Kemudahan hidup di dunia ini bersifat sementara dan hanyalah sebagai persiapan. Jalan-jalan yang kita jelajahi, hasil bumi yang kita nikmati, semuanya harus menjadi bekal untuk perjalanan yang sesungguhnya: kembali kepada Allah di Hari Kebangkitan. Oleh karena itu, setiap penjelajahan di bumi harus dibingkai dengan kesadaran tauhid—bahwa semua pergerakan dan usaha harus diarahkan untuk meraih keridhaan-Nya.
Bagi umat Islam saat ini, ayat ini relevan dalam konteks globalisasi dan kemajuan teknologi. Pesawat terbang, internet, dan transportasi modern adalah manifestasi nyata dari kemudahan yang Allah sediakan untuk kita jelajahi. Kita didorong untuk menjadi umat yang dinamis, inovatif, dan tidak pasif. Namun, dorongan untuk maju ini harus diimbangi dengan pengendalian diri dan kesadaran spiritual. Teknologi dan kekayaan yang didapat dari penjelajahan bumi harus digunakan untuk kemaslahatan umat dan bukan kesombongan duniawi.
Inti dari perenungan An-Nahl ayat 14 adalah bahwa Islam adalah agama yang mendorong aktivitas produktif dan eksplorasi positif terhadap alam semesta, sambil senantiasa menjaga fokus pada tujuan utama kehidupan, yaitu akhirat. Ketika kita berjalan di bumi, kita sebenarnya sedang berjalan menuju hadirat-Nya.