"Dan bersabarlah (hai Muhammad) dan kesabaranmu itu tidak lain (dapat terpelihara) melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu berduka cita terhadap mereka, dan janganlah kamu merasa sempit hati terhadap apa yang mereka tipu dayakan." (QS. An-Nahl: 128)
Inti Ajaran Kesabaran dalam Ayat
An-Nahl ayat ke-128 adalah salah satu ayat pendek namun padat makna yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, sekaligus menjadi pedoman universal bagi seluruh umat Islam yang menghadapi kesulitan, ujian, atau makar dari orang lain. Ayat ini mengandung tiga perintah utama yang saling berkaitan: perintah untuk bersabar, penegasan sumber kekuatan kesabaran, dan larangan untuk berputus asa atau sedih berlebihan.
1. Perintah Sabar yang Mutlak (وَٱصْبِرْ)
Perintah "bersabarlah" (إصبر) diletakkan di awal, menandakan prioritas utama dalam menghadapi tantangan dakwah dan permusuhan kaum kafir. Sabar dalam konteks ini bukan sekadar pasrah, melainkan sikap tegar, konsisten dalam memegang prinsip, dan terus melanjutkan perjuangan meskipun hasilnya belum terlihat sesuai harapan. Bagi seorang Rasul yang dibebani risalah agung, ujian berupa penolakan, hinaan, hingga upaya pengkhianatan adalah keniscayaan.
2. Kesabaran Bersumber dari Allah (وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِٱللَّهِ)
Poin krusial dari ayat ini adalah penegasan bahwa kesabaran manusia, bahkan kesabaran seorang Nabi sekalipun, bukanlah kekuatan inheren dari dirinya sendiri. Kesabaran itu hanya bisa terwujud dan terpelihara atas izin dan pertolongan Allah SWT. Penggalan ini menanamkan prinsip tauhid dalam praktik ibadah. Ketika kita lelah atau hampir menyerah, pengingat ini memotivasi kita untuk selalu menggantungkan harapan dan meminta kekuatan kepada sumber daya yang tak terbatas, yaitu Allah. Tanpa pertolongan-Nya, kesabaran hanyalah ketahanan fisik sesaat, bukan keteguhan spiritual yang berkelanjutan.
3. Larangan Berduka dan Merasa Sempit Hati (وَلَا تَحْزَنْ... وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ)
Ayat ini juga membebaskan jiwa dari beban emosional yang berlebihan. Allah melarang Rasul-Nya untuk berduka cita mendalam (حزن) atas ketidakmauan kaumnya menerima kebenaran. Kesedihan berlebihan dapat melemahkan fokus dan energi untuk berdakwah.
Lebih lanjut, dilarang merasa "sempit hati" (ضَيْقٍ) akibat tipu daya (مَّا يَمْكُرُونَ) yang dilakukan oleh musuh-musuh dakwah. Makna dari "merasa sempit hati" adalah merasa terpojok, terdesak, atau terancam oleh strategi jahat mereka. Larangan ini menegaskan bahwa rencana buruk manusia adalah terbatas dan fana, sedangkan kekuasaan serta pengetahuan Allah Maha Luas. Seorang mukmin tidak boleh membiarkan tipu daya musuh membatasi pandangannya terhadap rahmat dan pertolongan Allah yang lebih besar.
Pelajaran Praktis untuk Kehidupan Kontemporer
An-Nahl 128 adalah manual manajemen stres dan keteguhan spiritual. Dalam konteks modern, ayat ini relevan ketika kita menghadapi:
* **Tekanan Pekerjaan atau Bisnis:** Ketika upaya keras kita tidak dihargai atau dikhianati oleh kolega, kita diperintahkan untuk sabar dan mengembalikan kekuatan kita kepada Allah.
* **Ujian Keluarga atau Sosial:** Menghadapi konflik atau cemoohan dari lingkungan yang tidak sejalan dengan prinsip kita.
* **Penyebaran Informasi Keliru (Hoaks/Fitnah):** Ketika berhadapan dengan upaya memutarbalikkan fakta atau fitnah, kita diingatkan agar tidak terjebak dalam kesempitan hati dan kepanikan. Fokuslah pada tugas kita (memberi peringatan dan petunjuk) dengan dukungan ilahi, bukan fokus pada bagaimana cara melawan setiap makar mereka.
Kesimpulannya, An-Nahl ayat 128 mengajarkan bahwa jalan kebenaran pasti penuh dengan batu sandungan. Kunci untuk melaluinya adalah mengikatkan setiap langkah kita pada kesabaran yang bersumber langsung dari Allah, sambil senantiasa menjaga optimisme dan keluasan hati, karena di atas tipu daya manusia, ada perencanaan Ilahi yang Maha Sempurna.