Peringatan Tegas Mengenai Kebenaran dan Kebatilan
"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, 'Ini halal dan ini haram,' untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung." (QS. An-Nahl: 116)
Surat An-Nahl (Lebah) ayat 116 adalah sebuah peringatan keras dari Allah SWT yang ditujukan kepada umat manusia secara umum, namun konteks historisnya sering dikaitkan dengan praktik yang dilakukan oleh kaum musyrikin di Mekah. Pada masa jahiliyah, banyak orang yang tanpa dasar ilmu, hanya berdasarkan hawa nafsu atau tradisi nenek moyang, menghalalkan dan mengharamkan sesuatu atas nama agama. Mereka mengklaim pengetahuan tentang syariat padahal itu hanyalah rekaan lisan mereka sendiri.
Ayat ini menyoroti bahaya fatal dari "mengatasnamakan Tuhan" dalam menetapkan hukum agama tanpa wahyu atau landasan yang sahih. Ini bukan sekadar masalah teknis dalam fikih, melainkan inti dari tauhid—pengakuan bahwa hanya Allah (Al-Haqq) yang berhak menetapkan batasan antara yang halal (diizinkan) dan yang haram (dilarang). Ketika manusia mengambil peran ini, mereka telah melakukan persekutuan dalam penetapan hukum, yang merupakan bentuk persekutuan (syirik) dalam kedaulatan ilahiyah.
Puncak ancaman dalam An-Nahl 116 terletak pada konsekuensi akhir: "Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung." Kata "beruntung" (yuflihun) di sini mencakup kegagalan total, baik di dunia maupun di akhirat.
Mengapa mengarang kebohongan terhadap Allah dianggap seburuk itu?
Ayat ini secara implisit menegaskan kewajiban umat Islam untuk senantiasa berpegang pada pemisahan yang jelas antara Al-Haqq (Kebenaran) dan Al-Bathil (Kebatilan). Kebenaran harus didasarkan pada dalil yang shahih (Al-Qur'an dan Sunnah), sementara kebatilan adalah segala sesuatu yang bertentangan dengan dalil tersebut atau diklaim tanpa dalil.
Dalam konteks modern, peringatan ini sangat relevan dalam menghadapi arus pemikiran sekulerisasi dan liberalisasi agama, di mana batasan-batasan syariat seringkali digeser atau diinterpretasikan ulang berdasarkan standar moralitas dan logika manusia semata, bukan berdasarkan teks wahyu yang otentik.
Seorang Muslim harus memiliki keberanian untuk berkata: "Saya tidak tahu," atau "Ini tidak ada dasarnya," daripada menciptakan dalil palsu demi memuaskan keinginan diri sendiri atau orang lain. Keberuntungan sejati di akhirat bergantung pada kepatuhan mutlak terhadap batasan yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta, bukan pada kepandaian kita dalam merekayasa pembenaran. Ayat ini adalah pengingat konstan bahwa integritas ajaran jauh lebih berharga daripada popularitas sesaat.
Pemisahan antara yang halal dan haram adalah tiang penyangga syariat. Jika garis ini kabur, maka seluruh bangunan agama akan rentan runtuh. An-Nahl 116 mengajarkan kita untuk selalu waspada terhadap bisikan yang mencoba meruntuhkan tembok pemisah tersebut, yang seringkali dibalut dengan istilah-istilah ilmiah atau progresif.
Ketaatan yang sejati memerlukan pengakuan kerendahan hati bahwa ilmu kita terbatas, dan oleh karena itu, kita harus merujuk kepada Sumber Ilmu Yang Tak Terbatas, yaitu Allah SWT. Setiap klaim kehalalan atau keharaman yang tidak berdasar pada Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah wahyu dan merupakan perbuatan yang menjanjikan kerugian abadi, bukan keuntungan duniawi.
Dengan demikian, ayat ini menjadi barometer keimanan: sejauh mana kita berani mempertahankan batasan yang Allah tetapkan, bahkan ketika menghadapi tekanan untuk melunak dan berkompromi dengan kebatilan atas nama kemudahan atau penerimaan sosial.