Ilustrasi Keseimbangan dan Kehidupan
Surah An-Nahl, yang berarti "Lebah", merupakan surat yang kaya akan pelajaran tentang kebesaran ciptaan Allah SWT, termasuk hikmah di balik proses lebah menghasilkan madu. Namun, di tengah pembahasan tentang rezeki dan anugerah ilahi, terselip ayat penting yang menjadi panduan moral dan hukum, yaitu **An Nahl ayat 115**. Ayat ini secara spesifik mengatur batasan-batasan bagi umat manusia dalam memilih apa yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi, serta dampaknya terhadap kesucian diri.
QS. An Nahl (16): 115
"Sesungguhnya Dia hanyalah mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
An Nahl 115 adalah salah satu pilar utama dalam hukum Islam (syariat) mengenai makanan dan minuman. Ayat ini menegaskan prinsip dasar bahwa segala sesuatu pada dasarnya dihalalkan kecuali yang secara eksplisit diharamkan oleh Allah SWT. Penetapan larangan ini bukan semata-mata tanpa alasan, melainkan mengandung dimensi kesehatan, kebersihan, dan yang terpenting, dimensi spiritualitas dan ketaatan.
Empat poin utama yang ditekankan dalam ayat ini adalah:
Aspek yang sangat membumi dan menunjukkan kasih sayang Allah SWT tercermin pada bagian akhir ayat tersebut. Islam bukanlah agama yang memberatkan, melainkan agama yang memberi kemudahan (Yusr) bagi umatnya. Frasa "Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)" adalah pengecualian vital.
Ketika seseorang berada dalam situasi terdesak (ancaman kelaparan yang membahayakan nyawa), larangan-larangan di atas dapat dikesampingkan. Namun, keringanan ini memiliki dua batasan ketat yang harus dipatuhi: tidak menginginkannya (artinya dilakukan murni karena kebutuhan mendesak, bukan karena nafsu) dan tidak melampaui batas (hanya sebatas yang diperlukan untuk mempertahankan hidup, tidak boleh berlebihan).
Keringanan ini menegaskan bahwa tujuan utama syariat adalah menjaga kehidupan (hifzh an-nafs). Ketika nyawa terancam, hukum yang bersifat preventif (pencegahan) dapat digantikan oleh hukum yang bersifat kuratif (penyelamatan). Setelah keadaan darurat berlalu, seorang Muslim harus segera kembali kepada batasan-batasan yang telah ditetapkan.
Memahami **An Nahl 115** lebih dari sekadar daftar barang yang dilarang. Ini adalah latihan kesadaran bahwa setiap pilihan konsumsi adalah sebuah ibadah atau bentuk pembangkangan terhadap ketetapan ilahi. Dalam konteks modern, ayat ini juga mendorong umat Islam untuk selalu memilih makanan yang thayyib (baik, bersih, dan bermanfaat).
Ketaatan pada batasan halal dan haram membangun disiplin diri yang kuat. Ketika seseorang mampu menahan diri dari hal-hal yang jelas-jelas dilarang, integritas spiritualnya akan terbangun, mempersiapkan hati untuk menerima petunjuk ilahi yang lebih besar, sebagaimana yang juga ditekankan dalam keseluruhan Surah An-Nahl tentang kebesaran Sang Pencipta. Ayat ini, dengan keringanan yang ditawarkannya, pada akhirnya menegaskan bahwa di balik setiap aturan, terdapat rahmat dan pengampunan dari Allah SWT yang Maha Luas.