Dalam kekayaan khazanah budaya nusantara, terdapat satu sistem penulisan yang memadukan keindahan aksara Arab dengan kekhasan bahasa Melayu, yaitu tulisan Arab Melayu. Lebih dari sekadar alat komunikasi, tulisan ini merupakan cerminan peradaban, ilmu pengetahuan, dan seni yang pernah berkembang pesat di berbagai wilayah yang berbahasa Melayu. Artikel ini akan mengupas lebih dalam tentang tulisan Arab Melayu, termasuk peran penting angka di dalamnya, serta bagaimana warisan ini masih relevan di era digital saat ini.
Tulisan Arab Melayu, yang juga dikenal dengan sebutan Jawi, lahir dari evolusi aksara Arab yang diperkenalkan ke wilayah Melayu melalui penyebaran agama Islam. Para pedagang, ulama, dan cendekiawan dari dunia Arab membawa serta bahasa dan sistem penulisan mereka. Seiring waktu, aksara Arab ini disesuaikan agar mampu merepresentasikan bunyi-bunyi khas dalam bahasa Melayu yang tidak ada dalam bahasa Arab murni. Penambahan beberapa titik atau perubahan bentuk huruf menjadi ciri khas utama penyesuaian ini, sehingga melahirkan aksara Jawi yang unik.
Perkembangan tulisan Arab Melayu sangat pesat pada masa Kesultanan Melayu. Naskah-naskah kuno, kitab-kitab agama, undang-undang, hikayat, syair, dan catatan sejarah banyak ditulis menggunakan aksara Jawi. Keberadaannya tidak hanya terbatas di wilayah Semenanjung Malaya (Malaysia), tetapi juga meluas ke wilayah Indonesia seperti Sumatera, Kalimantan, dan beberapa daerah di Jawa, serta sebagian Thailand bagian selatan dan Brunei Darussalam. Ini menunjukkan betapa sentralnya peran tulisan Arab Melayu sebagai medium transmisi ilmu dan budaya di kawasan ini.
Dalam sistem penulisan Arab Melayu, angka memegang peranan yang sama pentingnya dengan huruf. Sama seperti aksara huruf yang disesuaikan dari aksara Arab, angka yang digunakan dalam tulisan Arab Melayu pun mengadopsi sistem angka Arab yang kita kenal, namun dengan penulisan dan tampilan yang khas. Angka-angka ini digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari penomoran ayat suci Al-Qur'an, penulisan tanggal, perhitungan dalam transaksi perdagangan, hingga pencatatan dalam karya ilmiah dan sastra.
Angka Arab Melayu (atau angka Jawi) secara umum mengikuti sistem angka Hindu-Arab (0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9). Namun, perbedaannya terletak pada cara penulisan atau visualisasi beberapa angkanya. Misalnya, angka nol (0) mungkin ditulis dengan sedikit berbeda, begitu pula dengan angka-angka lainnya yang terkadang memiliki lekukan atau bentuk yang sedikit unik tergantung pada tradisi penulisannya di daerah tertentu. Sebagai contoh, angka 5 dalam tulisan Arab Melayu bisa terlihat seperti sebuah lengkungan sederhana, sedangkan angka 7 mungkin memiliki bentuk yang lebih tegak. Penting untuk dicatat bahwa variasi ini sering kali bergantung pada sekolah atau tradisi kaligrafi yang diikuti oleh penulis.
Dalam konteks penulisan teks Arab Melayu, angka-angka ini terintegrasi secara harmonis. Misalnya, ketika sebuah undang-undang menyebutkan pasal 10, maka akan ditulis menggunakan angka Jawi yang sesuai. Jika sebuah syair menceritakan kejadian pada tahun 1945, angka tersebut akan divisualisasikan dalam bentuk Jawi. Dalam catatan sejarah atau silsilah, penomoran generasi atau penanda waktu juga sangat mengandalkan penggunaan angka. Bahkan dalam naskah-naskah medis atau astronomi kuno, perhitungan yang akurat sangat bergantung pada penguasaan dan penggunaan angka-angka Jawi ini.
Keberadaan angka dalam tulisan Arab Melayu menegaskan fungsinya yang multifaset, bukan hanya sebagai sistem penulisan bahasa, tetapi juga sebagai fondasi penting dalam pencatatan dan transmisi pengetahuan numerik. Tanpa penguasaan angka Jawi, pemahaman terhadap banyak naskah kuno akan menjadi tidak lengkap atau bahkan mustahil.
Seiring dengan perkembangan zaman dan adopsi aksara Latin secara luas sebagai aksara resmi di banyak negara berbahasa Melayu, penggunaan tulisan Arab Melayu kini memang tidak lagi dominan. Di Malaysia, misalnya, pelajaran Jawi masih diajarkan di sekolah-sekolah, namun frekuensi penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari semakin berkurang. Hal serupa terjadi di Indonesia, di mana aksara Latin telah sepenuhnya menggantikan aksara Jawi dalam fungsi administratif dan pendidikan formal.
Meskipun demikian, semangat pelestarian tulisan Arab Melayu terus dijaga. Komunitas-komunitas pemerhati budaya, akademisi, dan seniman masih aktif mempelajari, meneliti, dan mempromosikan aksara ini. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari penerbitan ulang naskah-naskah kuno, penyelenggaraan workshop, hingga pemanfaatan teknologi digital. Di era internet, muncul pula aplikasi, font, dan keyboard virtual yang memungkinkan pengetikan tulisan Arab Melayu, sehingga memudahkan generasi muda untuk mengenalnya.
Tantangan terbesar dalam melestarikan tulisan Arab Melayu adalah bagaimana menjadikannya relevan dan menarik bagi generasi muda. Tanpa pemahaman akan nilai sejarah, kekayaan budaya, dan keindahan estetisnya, aksara ini berisiko hanya menjadi catatan kaki dalam buku sejarah. Oleh karena itu, pendekatan yang inovatif diperlukan, seperti mengintegrasikannya ke dalam desain grafis modern, karya seni, atau bahkan permainan edukatif.
Tulisan Arab Melayu, dengan segala kerumitannya yang indah dan perannya yang krusial dalam sejarah, merupakan warisan tak ternilai. Penggunaan angka di dalamnya adalah bagian tak terpisahkan yang memperkaya fungsionalitasnya. Melalui upaya pelestarian yang berkelanjutan dan adaptasi yang cerdas, warisan budaya ini diharapkan dapat terus hidup dan memberikan inspirasi bagi generasi mendatang.