Ilustrasi visual dari ayat-ayat Al-Qur'an
Surat An Nisa, yang berarti "Perempuan", adalah salah satu surat Madaniyah yang diturunkan di Madinah. Surat ini memiliki banyak sekali kandungan hukum, ajaran moral, dan panduan hidup bagi umat Muslim. Salah satu ayat penting yang terkandung di dalamnya adalah ayat ke-161, yang memberikan peringatan dan pedoman tegas terkait berbagai larangan dan perintah Allah SWT. Memahami makna mendalam dari surat An Nisa ayat 161 sangat krusial untuk membentuk pribadi Muslim yang taat dan bijak.
وَاَخْذِهِمُ الرِّبٰوا وَقَدْ نُهُوْا عَنْهُ وَاَكْلِهِمْ اَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۗ وَاَعْتَدْنَا لِلْكٰفِرِيْنَ مِنْهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًا
dan disebabkan mereka mengambil riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang mengambilnya, dan disebabkan mereka memakan harta orang lain dengan cara yang batil (tidak benar). Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang pedih.
Ayat 161 Surat An Nisa secara eksplisit menyebutkan dua hal utama yang menjadi sumber dosa dan azab Allah SWT. Pertama adalah praktik riba. Riba adalah pengambilan atau penambahan harta secara tidak sah, yang seringkali berarti bunga bank atau praktik serupa yang mengeksploitasi kesulitan ekonomi orang lain. Islam sangat keras dalam melarang riba karena dianggap sebagai bentuk penzaliman dan cara cepat mendapatkan kekayaan tanpa berkontribusi pada produktivitas nyata. Riba menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi, serta dapat menimbulkan ketidakadilan yang merusak.
Allah SWT telah memberikan pedoman yang jelas dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW mengenai larangan ini. Mengambil riba tidak hanya merugikan orang yang terjerat hutang dengan bunga, tetapi juga menciptakan budaya materialistis yang berlebihan dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan serta keadilan. Ayat ini menjadi pengingat kuat bagi umat Muslim untuk menjauhi segala bentuk transaksi yang mengandung unsur riba, baik sebagai pihak yang mengambil maupun yang memberikan, demi menjaga kemurnian harta dan menghindari murka Allah.
Selanjutnya, ayat ini juga menekankan larangan memakan harta orang lain dengan cara batil. Kata "batil" mencakup berbagai cara mendapatkan harta secara tidak sah dan tidak benar. Ini bisa berupa penipuan, pencurian, korupsi, suap, penggelapan, mengambil hak orang lain, persaksian palsu yang merugikan, bahkan praktik-praktik dagang yang curang. Intinya, segala bentuk cara mendapatkan kekayaan yang melanggar hukum syariat dan merugikan pihak lain adalah termasuk dalam kategori "batil".
Prinsip ini mengajarkan pentingnya etika dalam mencari rezeki. Harta yang diperoleh haruslah halal dan thayyib (baik). Islam mendorong umatnya untuk bekerja keras dan jujur dalam mencari nafkah. Memakan harta dengan cara batil bukan hanya dosa yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat, tetapi juga dapat menimbulkan kerusakan di dunia, merusak tatanan sosial, dan menumbuhkan benih kebencian serta permusuhan antar sesama. Allah SWT menjanjikan azab yang pedih bagi orang-orang kafir yang melakukan pelanggaran-pelanggaran ini, namun peringatan ini juga berlaku bagi setiap individu yang melanggarnya, terlepas dari keyakinannya, karena ini adalah prinsip keadilan universal.
Surat An Nisa ayat 161 memberikan dua peringatan keras yang saling berkaitan. Pertama, mengenai harta yang didapatkan melalui praktik eksploitatif seperti riba. Kedua, mengenai cara-cara ilegal dan tidak adil dalam memperoleh harta. Kedua hal ini adalah akar dari banyak masalah sosial dan ekonomi yang dihadapi manusia.
Dalam konteks kehidupan modern, ayat ini sangat relevan. Sistem keuangan global yang banyak beroperasi dengan bunga menjadi tantangan tersendiri bagi umat Muslim. Maka, pemahaman dan penerapan nilai-nilai syariah dalam transaksi keuangan menjadi sangat penting. Selain itu, praktik korupsi, penipuan, dan berbagai bentuk kejahatan ekonomi lainnya yang marak terjadi di berbagai belahan dunia, semuanya tercakup dalam larangan memakan harta dengan cara batil.
Ayat ini mengajarkan bahwa keimanan seseorang tidak akan sempurna jika praktik ibadahnya tidak diimbangi dengan muamalah (interaksi sosial dan ekonomi) yang benar dan adil. Ketaatan kepada Allah tidak hanya terbatas pada ritual ibadah seperti shalat, puasa, dan zakat, tetapi juga mencakup bagaimana kita berinteraksi dengan sesama, terutama dalam urusan harta.
Dengan merenungkan surat An Nisa ayat 161, seorang Muslim diajak untuk senantiasa introspeksi diri. Apakah harta yang dimilikinya berasal dari jalan yang halal? Apakah ia pernah terlibat dalam praktik riba atau cara-cara batil lainnya? Peringatan ini adalah bentuk kasih sayang Allah agar umat-Nya terhindar dari dosa dan siksa yang tidak perlu. Dengan menjauhi riba dan segala bentuk cara batil dalam mencari rezeki, seorang Muslim tidak hanya akan mendapatkan ketenangan batin dan ridha Allah, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang adil, sejahtera, dan penuh berkah.