النساء 4

Ilustrasi: Simbol Keutuhan Keluarga dan Petunjuk Ilahi

Surat An Nisa Ayat 1-10: Fondasi Kehidupan Berkeluarga dan Keadilan

Surat An Nisa', yang berarti "Wanita", adalah salah satu surat terpanjang dalam Al-Qur'an. Surat ini memiliki kedalaman makna yang luar biasa, menyentuh berbagai aspek kehidupan, mulai dari tatanan keluarga, hak-hak individu, hingga prinsip-prinsip keadilan dalam masyarakat. Ayat-ayat awal, khususnya dari ayat 1 hingga 10, memegang peranan penting sebagai pondasi ajaran Islam mengenai pentingnya menjaga hubungan kekerabatan, mengelola harta warisan, serta memberikan perhatian khusus kepada kaum yang rentan.

Ayat 1: Panggilan untuk Bertakwa dan Menjaga Hubungan Kekerabatan

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءً ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

(1) Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

Ayat pertama ini adalah panggilan universal kepada seluruh umat manusia untuk senantiasa bertakwa kepada Allah SWT. Penekanan diberikan pada kesadaran bahwa semua manusia berasal dari satu sumber, yaitu Adam dan Hawa. Hal ini menunjukkan prinsip kesetaraan dan pentingnya menjaga hubungan silaturahmi (ikatan kekeluargaan). Allah mengingatkan untuk tidak hanya bertakwa kepada-Nya, tetapi juga memelihara hubungan dengan kerabat, karena Allah Maha Mengawasi setiap perbuatan.

Ayat 2-3: Pengelolaan Harta Anak Yatim dan Perkawinan

وَاتُوْا الْيَتٰمٰٓا اَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيْثَ بِالطَّيِّبِ ۖ وَلَا تَاْكُلُوْٓا اَمْوَالَهُمْ اِلٰٓى اَمْوَالِكُمْ ۚ اِنَّهٗ كَانَ حُوْبًا كَبِيْرًا

(2) Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (orang-orang yang sudah balig) harta mereka, janganlah kamu menukartukarkan yang baik dengan yang buruk dan janganlah kamu memakan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan demikian itu adalah dosa yang besar.

Ayat kedua melanjutkan fokus pada perlindungan terhadap kaum yang lemah, yaitu anak yatim. Ajaran ini menekankan kewajiban untuk menyerahkan harta warisan mereka secara penuh ketika mereka telah dewasa. Dilarang keras untuk menukar harta baik anak yatim dengan harta buruk milik orang lain, atau menggabungkan harta mereka dengan harta sendiri. Ini adalah bentuk penegasan keadilan dan amanah yang harus dijaga.

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْا

(3) Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan, maka nikahilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat agar kamu tidak berbuat aniaya.

Ayat ketiga memberikan panduan mengenai perkawinan, khususnya dalam konteks keadilan bagi perempuan. Ayat ini mengizinkan poligami (menikahi hingga empat istri) dengan syarat mutlak mampu berlaku adil. Namun, jika ada kekhawatiran tidak mampu berlaku adil, maka dianjurkan untuk menikah cukup dengan satu istri saja. Ini adalah penegasan bahwa keadilan adalah pondasi utama dalam rumah tangga, dan bila tidak mampu, pilihan terbaik adalah monogami untuk menghindari ketidakadilan.

Ayat 4-5: Larangan Memakan Harta Anak Yatim dan Aturan Pengelolaan Harta

وَاٰتُوْا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نُفْلًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا

(4) Dan berikanlah mahar kepada wanita (sebagai) anugerah. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka terimalah dan makanlah (ambillah) itu sebagai makanan yang sedap lagi baik.

Ayat keempat membahas tentang mahar (maskawin). Mahar adalah hak perempuan yang harus diberikan oleh suami sebagai tanda kesungguhan dalam pernikahan. Jika istri dengan sukarela menghibahkan sebagian atau seluruh maharnya kepada suami, maka suami diperbolehkan menerimanya. Ini menunjukkan pentingnya kerelaan dan kesepakatan dalam urusan harta dalam pernikahan.

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاۤءَ اَمْوَالَكُمُ الَّتِيْ جَعَلَ اللّٰهُ لَكُمْ قِيٰمًا وَّارْزُقُوْهُمْ فِيْهَا وَاكْسُوْهُمْ وَقُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوْفًا

(5) Dan janganlah kamu berikan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, sebagian dari harta (mereka) yang ada di bawah pengawasanmu, yang kamu jadikan (sebagai) penopang kehidupan, tetapi berilah mereka belanja dan pakaian dari (harta itu) dan katakanlah kepada mereka perkataan yang baik.

Ayat kelima memberikan peringatan agar tidak memberikan harta yang dikelola kepada orang yang belum cakap secara akal (sufaha'). Harta ini adalah penopang kehidupan yang harus dijaga. Namun, tetap diperintahkan untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada mereka, serta berbicara dengan perkataan yang baik. Ini menekankan pentingnya menjaga harta sekaligus memberikan perlindungan dan kasih sayang kepada mereka yang rentan.

Ayat 6-10: Pedoman Uji Coba dan Kewajiban Finansial

وَابْتَلُوا الْيَتٰمٰى حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ ۚ فَاِنْ اٰنَسْتُمْ مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوْٓا اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ ۗ وَلَا تَاْكُلُوْهَآ اِسْرَافًا وَّبِدَارًا اَنْ يَّكْبَرُوْا ۗ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۗ وَمَنْ كَانَ فَقِيْرًا فَلْيَاْكُلْ بِالْمَعْرُوْفِ ۗ فَاِذَا دَفَعْتُمْ اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ فَاَشْهِدُوْا عَلَيْهِمْ ۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ حَسِيْبًا

(6) Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah; kemudian jika menurut pendapatmu mereka sudah cerdas (cakap) mengurus harta, maka serahkanlah kepada mereka harta mereka. Dan janganlah kamu memakan harta anak yatim itu melampaui batas kewajaran dan (jangan pula) tergesa-gesa (mengambilnya) sebelum mereka dewasa. Siapa yang kaya, hendaknya menjaga diri (dari memakannya); dan siapa yang miskin, hendaknya memakannya dengan cara yang baik (sesuai). Apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka bersaksilah kamu dengan mereka. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas hisab.

Ayat keenam memberikan pedoman yang lebih rinci mengenai pengelolaan harta anak yatim. Mereka harus diuji kemampuannya dalam mengelola harta hingga mencapai usia dewasa. Setelah terbukti cakap, harta tersebut harus diserahkan sepenuhnya. Dilarang memakan harta yatim secara boros atau tergesa-gesa sebelum mereka dewasa. Bagi pengelola yang kaya, hendaknya menahan diri dari memakannya, sementara yang miskin boleh memakannya secukupnya dengan cara yang baik. Penting juga untuk mengadakan saksi ketika menyerahkan harta tersebut.

لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَ ۖ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَ ۗ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ اَوْ كَثُرَ ۗ نَصِيْبًا مَّفْرُوْضًا

(7) Bagi orang laki-laki ada bahagian daripada harta peninggalan ibu-bapa dan kerabat, dan bagi orang perempuan ada bahagian pula dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabat, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.

Ayat ketujuh menegaskan tentang hak waris. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak atas harta peninggalan orang tua dan kerabat. Besar kecilnya bagian warisan ditentukan oleh Allah. Ini adalah penegasan keadilan dalam pembagian harta warisan, yang sebelumnya sering kali hanya diberikan kepada kaum laki-laki.

وَاِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ اُولُوْا الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنُ فَارْزُقُوْهُمْ مِّنْهُ وَقُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوْفًا

(8) Dan apabila kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin hadir ketika pembagian warisan, maka berikanlah mereka dari harta itu (sedikit) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.

Ayat kedelapan memberikan adab dalam pembagian warisan. Jika ada kerabat yang tidak berhak menerima warisan, anak yatim, atau orang miskin yang hadir saat pembagian, maka dianjurkan untuk memberikan sebagian kecil dari harta warisan tersebut kepada mereka dan menyertai dengan perkataan yang baik. Ini menunjukkan pentingnya berbagi dan bersikap murah hati.

وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا

(9) Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya mereka meninggalkan belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatirkan keadaan mereka (khawatirkan nasib anak-anak itu). Maka hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.

Ayat kesembilan adalah pengingat bagi setiap individu. Hendaknya mereka memikirkan nasib keturunan mereka kelak, terutama jika mereka meninggalkan anak-anak yang lemah. Ketakutan akan masa depan anak-anak ini seharusnya mendorong mereka untuk bertakwa kepada Allah dan berbicara dengan perkataan yang benar serta bijaksana demi kebaikan generasi mendatang.

اِنَّ الَّذِيْنَ يَاْكُلُوْنَ اَمْوَالَ الْيَتٰمٰى ظُلْمًا اِنَّمَا يَاْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًا ۗ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا

(10) Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka menelan api ke dalam perut mereka dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).

Ayat kesepuluh memberikan ancaman keras bagi mereka yang memakan harta anak yatim secara zalim. Perbuatan ini diibaratkan seperti menelan api neraka, yang akan membawa mereka kepada siksaan yang pedih di akhirat. Ini adalah peringatan tegas agar tidak sekali-kali menyalahgunakan amanah harta anak yatim, karena balasannya sangat mengerikan.

Kesepuluh ayat pertama dari Surat An Nisa ini secara kolektif membangun sebuah kerangka ajaran yang fundamental. Dimulai dengan kesadaran akan asal-usul kemanusiaan, surat ini kemudian merinci pentingnya menjaga amanah harta, berlaku adil dalam perkawinan, menghormati hak-hak perempuan dan anak yatim, serta bagaimana seharusnya harta warisan dikelola. Pesan-pesan ini bukan hanya sekadar aturan, tetapi merupakan cerminan dari nilai-nilai keadilan, kasih sayang, dan tanggung jawab yang harus tertanam dalam setiap individu dan masyarakat.

🏠 Homepage