Surah An Nisa Ayat 14: Keadilan dan Rahmat Allah

Representasi visual bertema keilahian dan ketenangan.

لَا يُحِبُّ ٱللَّهُ ٱلْجَهْرَ بِٱلسُّوٓءِ مِنَ ٱلْقَوْلِ إِلَّا مَن ظُلِمَ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
Allah tidak menyukai penyebutan buruk, kecuali oleh orang yang dizalimi. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Surah An-Nisa, ayat ke-14, merupakan salah satu ayat yang memiliki kedalaman makna dan implikasi sosial yang luas dalam ajaran Islam. Ayat ini secara ringkas menyatakan, "Allah tidak menyukai penyebutan buruk, kecuali oleh orang yang dizalimi. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." Kata "penyebutan buruk" atau al-su' min al-qawl dalam bahasa Arab merujuk pada perkataan yang jahat, memfitnah, mengumpat, mencela, atau menyebarkan aib orang lain.

Pada intinya, ayat ini mengajarkan prinsip penting tentang menjaga lisan dan kehormatan sesama. Islam sangat menekankan pentingnya menjaga perkataan agar tidak menyakiti, merendahkan, atau merusak nama baik orang lain. Bergosip, memfitnah, menjelek-jelekkan di belakang, atau menyebarkan keburukan tanpa dasar yang kuat adalah perbuatan yang dibenci oleh Allah SWT. Mengapa demikian? Karena ucapan yang buruk dapat menimbulkan permusuhan, perpecahan, dan luka batin yang mendalam di antara individu maupun masyarakat.

Namun, ayat ini juga memberikan pengecualian yang krusial: kecuali oleh orang yang dizalimi. Pengecualian ini memberikan hak kepada seseorang yang telah menjadi korban ketidakadilan atau kezaliman untuk bersuara, melaporkan, atau membela diri dari perbuatan buruk yang menimpanya. Dalam konteks ini, "penyebutan buruk" yang dilakukan oleh orang yang dizalimi bukanlah bentuk kezaliman baru, melainkan upaya untuk menegakkan keadilan, melaporkan pelanggaran, atau sekadar mengungkapkan rasa sakit dan ketidakadilan yang dideritanya. Hal ini sejalan dengan prinsip keadilan yang diajarkan dalam Al-Qur'an, di mana setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari kezaliman.

Penting untuk dipahami bahwa pengecualian ini tidak bersifat umum. Ia terbatas pada situasi ketika seseorang benar-benar dizalimi. Artinya, seseorang tidak boleh menjadikan ayat ini sebagai alasan untuk memulai keburukan atau mencari-cari kesalahan orang lain. Pengecualian ini adalah sebuah mekanisme pertahanan diri dan penegakan kebenaran, bukan lisensi untuk berbuat buruk.

Bagian akhir ayat, "Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui," menegaskan bahwa setiap ucapan dan tindakan, termasuk penyebutan buruk dan pembelaan diri orang yang dizalimi, sepenuhnya diketahui oleh Allah SWT. Allah mendengar segala doa, keluhan, dan perkataan kita. Dia juga mengetahui niat di balik setiap ucapan. Dengan pengetahuan yang sempurna ini, Allah akan memberikan balasan yang setimpal. Bagi mereka yang suka menyebarkan keburukan, ancaman siksa menanti. Sementara bagi orang yang dizalimi dan bersabar serta berupaya menegakkan keadilan, Allah akan memberikan pertolongan dan ganjaran.

Implikasi dari Surah An-Nisa ayat 14 ini sangat relevan dalam kehidupan modern. Di era digital, penyebaran informasi, baik yang benar maupun yang salah, menjadi begitu cepat. Ujaran kebencian, fitnah, dan perundungan siber (cyberbullying) adalah bentuk-bentuk "penyebutan buruk" yang dapat merusak kehidupan seseorang. Ayat ini mengingatkan kita untuk senantiasa berhati-hati dalam berbicara dan berkomentar, serta untuk tidak ikut serta dalam menyebarkan keburukan, kecuali dalam keadaan terpaksa untuk membela diri dari kezaliman.

Lebih jauh lagi, ayat ini mengajarkan pentingnya empati dan kehati-hatian dalam menilai perkataan orang lain. Ketika mendengar seseorang berbicara buruk tentang orang lain, kita perlu bertanya: apakah ia berbicara buruk karena kezaliman yang menimpanya, atau sekadar mencari-cari kesalahan? Pengetahuan bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui seharusnya mendorong kita untuk menjadi pribadi yang lebih bertanggung jawab atas ucapan kita dan lebih bijaksana dalam menyikapi perkataan orang lain.

Surah An-Nisa ayat 14 bukan sekadar larangan, melainkan juga sebuah panduan etika berkomunikasi yang berakar pada keadilan dan kebijaksanaan ilahi. Ia mengajak umat Muslim untuk menjadi penjaga lisan, pembela kebenaran, dan korban kezaliman yang berhak bersuara demi tegaknya keadilan, seraya menyadari sepenuhnya bahwa setiap perbuatan akan diperhitungkan oleh Allah SWT.

"Oleh karena itu, marilah kita renungkan makna ayat ini dalam setiap interaksi kita, agar lisan kita menjadi sumber kebaikan, bukan malapetaka."
🏠 Homepage