Al-Qur'an, kitab suci agama Islam, merupakan sumber hukum dan panduan hidup bagi umat Muslim. Di dalamnya terdapat ayat-ayat yang mengatur berbagai aspek kehidupan, termasuk pernikahan. Salah satu ayat penting yang membahas larangan pernikahan adalah Surat An-Nisa ayat 24. Ayat ini menegaskan batasan-batasan hubungan yang diperbolehkan dan dilarang dalam konteks pernikahan, terutama terkait dengan hubungan mahram. Memahami ayat ini secara mendalam sangatlah krusial untuk menjaga kemurnian ajaran Islam dan mencegah terjadinya pelanggaran yang dapat merusak tatanan sosial dan moral.
Ayat ini secara eksplisit melarang seorang laki-laki untuk menikahi wanita yang sebelumnya telah dinikahi oleh ayahnya. Larangan ini berlaku universal dan mencakup semua tingkat hubungan mahram karena keturunan maupun karena hubungan pernikahan. Inti dari larangan ini adalah untuk menjaga kesucian garis keturunan, mencegah kebingungan nasab, dan memelihara kehormatan keluarga.
Ayat "وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ" secara harfiah berarti "Dan janganlah kamu menikahi apa yang telah dinikahi oleh bapak-bapakmu dari kalangan wanita". Ungkapan "apa yang telah dinikahi oleh bapak-bapakmu" merujuk pada wanita-wanita yang pernah menjadi istri dari ayah. Larangan ini mencakup ibu tiri, nenek tiri (dari pihak ayah maupun ibu), dan wanita lain yang pernah dinikahi oleh ayah, kecuali jika hubungan tersebut telah terputus sebelum adanya larangan atau memang bukan pernikahan yang sah.
Pernyataan "إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ" (kecuali yang telah terjadi pada masa lalu) merujuk pada kasus-kasus yang terjadi sebelum turunnya ayat ini, di mana praktik pernikahan dengan ibu tiri mungkin masih ada di kalangan masyarakat Arab pada masa jahiliyah. Islam hadir untuk membersihkan dan memperbaiki praktik-praktik tersebut.
Selanjutnya, Allah menegaskan konsekuensi dari pelanggaran ini dengan firman-Nya "إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا". Kata "فاحشة" (fahsya'ah) berarti perbuatan yang sangat keji, melampaui batas kesusilaan. Kata "مقت" (maqtan) berarti kebencian yang mendalam, baik dari Allah maupun dari manusia. Dan "ساء سبيلا" (sa'a sabbila) berarti jalan yang sangat buruk. Kombinasi ungkapan ini menunjukkan betapa buruk, keji, dan dibenci oleh Allah serta manusia adalah perbuatan menikahi wanita yang telah dinikahi oleh ayah.
QS. An-Nisa ayat 24 adalah salah satu contoh konkret dari pentingnya konsep mahram dalam Islam. Mahram adalah orang yang haram dinikahi karena hubungan nasab (keturunan), mushaharah (perkawinan), atau radha'ah (persusuan). Ayat ini secara spesifik melarang pernikahan dengan wanita yang masuk kategori mahram karena mushaharah, yaitu ibu tiri dan wanita lain yang pernah menjadi istri sah ayah.
Secara umum, daftar wanita yang haram dinikahi antara lain:
Larangan ini memiliki hikmah yang sangat besar dalam menjaga martabat manusia, tatanan keluarga, dan kemurnian keturunan. Pernikahan adalah sebuah institusi suci yang memiliki batas-batasnya. Allah SWT menetapkan batasan-batasan ini bukan untuk menyulitkan, melainkan untuk kebaikan umat manusia.
Memahami QS. An-Nisa ayat 24 mengajarkan kita tentang beberapa hal penting:
Dalam konteks sosial saat ini, pemahaman terhadap ayat ini tetap relevan. Ajaran Islam tentang batasan pernikahan adalah prinsip universal yang harus dijaga. Melalui pemahaman yang benar terhadap QS. An-Nisa ayat 24, diharapkan umat Muslim dapat menjalankan kehidupan rumah tangga sesuai dengan tuntunan agama, menjaga kehormatan keluarga, dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan.