"Dan Allah menjadikan untukmu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri, dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu anak cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada kebatilan, dan mereka mengingkari nikmat Allah?"
Kontekstualisasi Ayat: Syukur di Tengah Pengingkaran
Surat An-Nahl, atau Lebah, memuat begitu banyak pelajaran tentang kebesaran dan rahmat Allah yang terwujud dalam ciptaan-Nya. Ayat ke-72 ini secara spesifik menyoroti tiga pilar utama nikmat yang seringkali dianggap remeh oleh manusia: institusi keluarga, kesinambungan keturunan, dan rezeki yang baik (tayyibat). Ayat ini bukan sekadar deskripsi faktual tentang bagaimana manusia bereproduksi, melainkan sebuah teguran keras yang dilontarkan kepada mereka yang, meskipun menikmati semua anugerah ini, masih memilih untuk mempercayai berhala atau konsep yang batil.
Ayat ini diawali dengan penegasan otoritas tunggal: "Dan Allah menjadikan untukmu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri." Ini adalah penegasan akan kesempurnaan rancangan ilahi; adanya pasangan hidup yang sepadan, berasal dari elemen yang sama, menjamin keharmonisan dan kesinambungan eksistensi manusia. Dalam konteks Mekah saat itu, banyak masyarakat yang mengagungkan dewa-dewi atau mengikuti tradisi nenek moyang yang tidak masuk akal. Allah mengingatkan mereka: bukankah sistem penciptaan yang paling mendasar—yaitu bagaimana kalian ada—datang sepenuhnya dari-Nya?
Kemudian, kenikmatan diperluas pada generasi penerus: "dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu anak cucu." Anak dan cucu adalah sumber kebahagiaan, pewaris nilai, dan bukti keberlangsungan rahmat Allah. Kesinambungan ini adalah janji ilahi yang terwujud nyata di hadapan mata mereka.
Pilar ketiga adalah rezeki yang baik (*ath-thayyibat*). Kata ini mencakup segala sesuatu yang bersih, halal, bermanfaat, dan menyenangkan untuk dikonsumsi, baik berupa makanan, minuman, maupun kenyamanan hidup lainnya. Dalam pandangan Qur'ani, rezeki yang baik harus dibedakan dari rezeki yang kotor atau syubhat.
Kritik Terhadap Keimanan yang Kontradiktif
Puncak dari ayat ini adalah pertanyaan retoris yang menusuk hati: "Maka mengapakah mereka beriman kepada kebatilan, dan mereka mengingkari nikmat Allah?" Kontradiksi ini adalah inti dari pengingkaran (kufur). Bagaimana mungkin seseorang yang secara empiris menyaksikan bagaimana pasangannya diciptakan, bagaimana anak cucunya lahir, dan bagaimana rezeki yang lezat mengalir setiap hari, namun tetap menisbatkan kekuatan kepada selain Allah?
Keimanan kepada kebatilan (seperti menyembah berhala atau mengikuti takhayul) adalah pengakuan bahwa ada kekuatan lain yang mengontrol nasib, padahal seluruh bukti empiris menunjukkan bahwa Allah adalah Al-Khalik (Yang Maha Pencipta) dan Ar-Razzaq (Yang Maha Memberi Rezeki). Ayat ini menuntut introspeksi mendalam. Bagi seorang Muslim, ayat ini menjadi pengingat konstan agar rasa syukur (*syukur*) selalu mendominasi setiap aspek kehidupan, mengakui bahwa setiap kenikmatan—dari nafas yang dihirup hingga hadirnya keluarga—adalah titipan dan karunia murni dari Tuhan Yang Maha Esa.
QS An-Nahl 72 memaksa kita untuk menilai kualitas iman kita. Apakah kenikmatan materi dan kasih sayang keluarga membuat kita semakin dekat kepada Allah, atau justru membuat kita terlena sehingga lupa bahwa sumber segala kebaikan itu tunggal adanya?
Implikasi Spiritual pada Kehidupan Modern
Dalam konteks kehidupan modern, "kebatilan" mungkin mengambil wujud baru: materialisme tanpa batas, ideologi yang mengabaikan nilai spiritual, atau ketergantungan total pada teknologi tanpa mengakui Penciptanya. Kita mungkin tidak lagi menyembah patung, tetapi ketergantungan kita pada sistem finansial atau kekuatan alam seolah-olah tidak ada campur tangan Ilahi adalah bentuk pengingkaran nikmat yang serupa.
Setiap kali kita memandang keluarga kita, setiap kali kita menikmati makanan yang lezat, ayat ini berbisik: Akui sumbernya. Rasa syukur bukan hanya sekadar ucapan "Alhamdulillah" di akhir santapan, tetapi juga implementasi nilai-nilai kebaikan yang diajarkan agama dalam mengelola rezeki tersebut, dan memelihara ikatan suci dalam keluarga sebagai amanah dari Yang Maha Kuasa. Memahami QS An-Nahl ayat 72 berarti memilih untuk hidup dalam kesadaran penuh atas karunia dan keesaan Allah SWT.