Konsep perubahan sal (salinitas) seringkali dikaitkan erat dengan dinamika lautan dan es kutub. Salinitas, atau kadar garam terlarut dalam air, adalah parameter oseanografi fundamental yang mempengaruhi densitas air laut, arus global, dan, pada akhirnya, iklim planet kita. Dalam konteks pemanasan global, perubahan pada siklus air—penguapan yang lebih tinggi di beberapa wilayah dan pencairan es di wilayah lain—secara langsung memodifikasi distribusi salinitas di berbagai cekungan laut.
Salah satu pendorong utama perubahan salinitas saat ini adalah kontribusi masif dari mencairnya lapisan es di Greenland dan Antartika. Ketika gletser dan lapisan es daratan ini mencair, mereka melepaskan volume besar air tawar ke dalam lautan. Air tawar ini secara signifikan mengurangi salinitas permukaan di area yang terkena dampaknya. Meskipun terdengar sederhana, penurunan salinitas ini dapat memiliki efek domino yang merusak.
Laut adalah sistem peredaran global yang kompleks yang didorong oleh perbedaan suhu (termo) dan salinitas (halin)—dikenal sebagai Sirkulasi Termohalin atau Sabuk Konveyor Samudra Global. Sirkulasi ini sangat penting karena bertanggung jawab untuk mendistribusikan panas, karbon, dan nutrisi ke seluruh planet. Di wilayah tertentu, seperti Atlantik Utara, air yang dingin dan sangat asin menjadi padat dan tenggelam, memulai sirkulasi vertikal yang kuat.
Namun, jika air permukaan menjadi kurang asin karena input air tawar dari es yang mencair, densitasnya berkurang. Air yang kurang padat ini cenderung tetap berada di permukaan, menghambat proses tenggelam (konveksi dalam). Jika proses pembentukan air laut dalam melambat atau terhenti akibat perubahan sal, seluruh kecepatan Sabuk Konveyor dapat terganggu. Implikasinya termasuk perubahan pola cuaca regional yang ekstrem, seperti pendinginan di Eropa Utara yang ironisnya disebabkan oleh pemanasan global yang masif.
Perubahan sal tidak seragam di seluruh dunia. Di daerah subtropis yang mengalami peningkatan penguapan akibat suhu yang lebih hangat, permukaan laut justru menjadi lebih asin karena air menguap namun garam tertinggal. Sementara itu, di dekat kutub, terjadi penurunan salinitas yang tajam. Variasi lokal ini menciptakan stres lingkungan bagi organisme laut.
Banyak spesies laut, terutama yang hidup di dekat permukaan atau di zona estuari, sangat sensitif terhadap perubahan salinitas. Mereka harus menghabiskan energi ekstra untuk mengatur keseimbangan osmotik mereka (proses menjaga kadar garam internal tubuh). Perubahan mendadak dalam salinitas dapat mengganggu siklus reproduksi, pertumbuhan, dan kelangsungan hidup spesies penting seperti kerang, beberapa jenis plankton, dan ikan muda. Jika perubahan sal melebihi toleransi mereka, migrasi atau kepunahan lokal dapat terjadi.
Samudra adalah penyerap karbon terbesar di dunia. Proses penyerapan karbon di atmosfer oleh lautan sebagian besar dibantu oleh sirkulasi laut yang efisien. Air yang tenggelam membawa karbon terlarut dari permukaan ke kedalaman samudra untuk penyimpanan jangka panjang. Perlambatan dalam sirkulasi yang disebabkan oleh perubahan sal dapat mengurangi efisiensi "pompa biologis" dan "pompa fisik" ini, yang berarti lebih sedikit karbon yang diserap oleh laut dan lebih banyak yang tetap berada di atmosfer, sehingga mempercepat pemanasan global.
Mengamati dan memodelkan perubahan sal menjadi krusial. Para ilmuwan kini menggunakan satelit dan sensor bawah laut untuk memetakan distribusi salinitas global dengan resolusi yang belum pernah ada sebelumnya. Data ini membantu memvalidasi model iklim dan memberikan peringatan dini tentang potensi gangguan besar pada sistem laut yang menopang kehidupan di Bumi. Mengurangi emisi gas rumah kaca adalah langkah paling mendasar untuk menstabilkan suhu global dan, secara tidak langsung, menjaga keseimbangan salinitas yang dibutuhkan oleh planet ini.